Tak Ada Lagi Dikotomi

Film-film yang laku keras biasanya temanya adalah kebaikan lawan kejahatan. Padahal dalam dunia nyata sungguh sulit membagi segala sesuatunya dalam dua kategori.

Minggu, 25 Agustus 2019 | 10:36 WIB
0
348
Tak Ada Lagi Dikotomi
Hans Rosling (Foto: Populationmatters.org)

Negara di dunia tidak bisa lagi dibagi menjadi dua bagian: kaya dan miskin. Pembagian secara biner itu sungguh sudah tidak layak lagi dipakai. Rosling merekomendasikan untuk berpikir tentang dunia yang dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan pendapatan warganya, yaitu dari Tingkatan 1 sampai dengan 4. Jadi kategori 'Negara Berkembang' dan 'Negara Maju' sudah sangat ketinggalan zaman.

Hans Rosling sendiri berkali-kali menjelaskan hal ini, dengan data tentunya, pada staf Bank Dunia. Tapi Bank Dunia butuh 17 tahun dan 14 kali ceramah Rosling baru mereka mau berubah.  Kini Bank Dunia telah mengubah kategori dunia dalam 4 tingkatan. Tapi PBB dan sebagian besar organisasi dunia lain BELUM BERUBAH. 

Mengapa susah sekali berubah? 

Karena kita punya naluri terhadap kesenjangan (gap instinct) yang kuat sekali. Kita memiliki naluri dramatis yang kuat untuk berpikir biner, sebuah dorongan mendasar untuk membagi segala sesuatu menjadi dua kelompok yang berbeda tanpa apa pun kecuali sebuah kesenjangan di antara keduanya.

Kita menyukai dikotomi: hitam dan putih, baik lawan buruk, pahlawan dan penjahat, muslim dan non muslim, negara kita dan negara lain, dst. Ini kecenderungan yang sederhana dan intuitif, selain dramatis karena menyiratkan konflik, dan kita selalu melakukannya tanpa berpikir.

Film-film yang laku keras biasanya temanya adalah kebaikan lawan kejahatan. Padahal dalam dunia nyata sungguh sulit membagi segala sesuatunya dalam dua kategori. 

Tingkat pendapatan warga dunia dibagi dalam empat kategori oleh Rosling. Tingkat 1 adalah orang dengan pendapatan 1 dolar perhari (Rp.450.000,- sebulan). Tingkat 2 adalah yang mampu melipatempatkan pendapatannya menjadi 4 dolar perhari (Rp.1.800.000,- sebulan). Tingkat 3 semakin melejit dengan 16 dolar sehari (Rp.7.200.000,- sebulan). Tingkat 4 dua kali lipat dari sebelumnya menjadi 32 dolar sehari (Rp.14.400.000,- sebulan).

Nah, menurut Anda negara kita berada di tingkat berapa dalam kategori ini? 

Menurut Rosling jika Anda membaca bukunya ini maka sudah jelas bahwa Anda berada di Tingkat 4. Ini artinya saya masuk di kategori ini bersama 1 milyar orang lainnya. Jadi saya tidak perlu terlalu berbangga diri. Sebaliknya ada 1 milyar orang yang berada di Tingkat 1.

Jadi antara orang yang berada di Tingkat 1 yang paling sedikit pendapatannya ternyata sama jumlahnya dengan orang yang berada di Tingkat 4 yang paling tinggi pendapatannya. Masing-masing satu milyar orang. Kita mungkin selama ini berpikir bahwa grafiknya berbentuk 'the tip of an iceberg' di mana orang kaya sangat sedikit sedangkan sisanya berada di kelompok orang miskin.

Ternyata tidak. Ada 5 milyar orang yang berada di antara dua kutub tersebut. Mereka berada di Tingkat 2 (sebanyak 3 milyar orang) dan Tingkat 3 (sebanyak 2 milyar orang). Padahal perbedaan pendapatan mereka adalah 4 kali lipat dalam setiap tingkatan.

Dunia Berubah Menjadi Lebih Baik

Satu tema Factfulness yang disampaikan berulang adalah gagasan bahwa dunia saat ini menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Banyak orang berpikir dunia menjadi semakin buruk padahal sebenarnya tidak. Survei di awal menyatakan bahwa dengan lebih dari 10.000 orang yang melakukan jajak pendapat, 80% responden tersebut salah dalam membuat penilaian.

Itu artinya mereka tidak tahu lebih banyak tentang dunia daripada simpanse, seandainya simpanse ini diminta untuk menebak.  Klaim ini, menurut penulis, menunjukkan bahwa media secara sistematis mengubah data, tren, dan menggunakan cerita selektif untuk membuat orang berpikir bahwa dunia semakin buruk.

Ambil contoh negara Brazil, salah satu negara paling tidak adil di dunia. Sepuluh persen kaum kaya di Brazil mendapatkan 41% pendapatan keseluruhan. Mengenaskan...! Kita langsung membayangkan sekelompok elit menjarah sumber daya dari semua warga yang lain dan media memperkuatnya. 

Faktanya, kebanyakan orang Brazil telah meninggalkan kemiskinan ekstrem. Sebagian besar warga mereka berada di Tingkat 3. Artinya, dalam realitas bahkan di salah satu negara yang paling tidak adil di dunia kesenjangan itu tidak ada. Sebagian besar orang berada di tengah dan hanya sedikit sekali di Tingkat 1.

Bagaimana dengan Indonesia...?! 

Saya rasa juga sama. Kita melihat pertumbuhan ekonomi yang nyata di depan mata kita. Sekarang masjid di kompleks perumahan saya pakai karpet tebal yang lembut, berpendingin ruangan, dan memberi makan berbuka gratis setiap Senin dan Kamis. Itu artinya warga kompleks saya semakin dermawan (karena pendapatan mereka semakin bertambah tentunya).

Binatang kurban di masjid kami tahun ini melonjak menjadi 77 ekor, 14 ekor sapi dan 63 ekor kambing. Saya sudah bertahun-tahun tidak berkurban di sini karena kami pikir orang di desa lebih pingin makan sate dan gule. 

Penjual di warung sebelah rumah saya dapat tiga bungkus pembagian sapi kurban pada hari pertama. Esoknya ia masih terima lagi padahal keluarganya tidak suka makan daging. 

Tapi kita memang tidak tertarik dengan narasi semacam ini. Kita selalu haus dengan narasi anak-anak sekolah yang terpaksa berjalan belasan kilometer ke sekolah tanpa sarapan karena orang tuanya tidak bisa memberikan sarapan baginya (Hey...! That's me when I was in junior high. Really...!). 

Kita juga tertarik dengan kisah anak-anak yang merayakan hari ulang tahun ke 17-nya yang dirayakan di tiga negara dengan penuh kemewahan sambil kita perbandingkan dengan anak yang harus berjualan nasi bungkus demi membeli obat bagi ibunya yang meringkuk sakit di rumahnya dan tidak mampu bekerja.

Kita memang penggemar sinetron.

***