Tertangkapnya Romahurmuziy, "Warning" buat Politisi Milenial

Jumat, 15 Maret 2019 | 19:15 WIB
0
569
Tertangkapnya Romahurmuziy, "Warning" buat Politisi Milenial
Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Gambar: tirto.id)

Menjelang berakhirnya periode pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sejak 2014 hingga sekarang, sudah dua orang politisi kelas kakap alias ketua umum partai politik yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Setya Novanto (mantan Ketua Umum Partai Golkar) dan yang terbaru hari ini Romahurmuziy (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan atau PPP).

Sepertinya para politisi enggan belajar dari kasus hukum terdahulu yang menimpa teman-temannya, penangkapan Romahurmuziy adalah bukti "setan" korupsi masih menggoda untuk dituruti. Siapa pun berpotensi dihinggapi virus korupsi. Semestinya pengalaman-pengalaman sebelumnya dijadikan sebagai "obat" untuk membentengi diri, namun ternyata tidak demikian.

Entah motif utama apa sehingga para politisi yang diketahui sesungguhnya hidupnya cukup mapan sampai-sampai harus mengkorupsi uang negara, yang jumlahnya terkadang jauh di bawah harta yang sudah dimiliki.

Rata-rata pelaku korupsi orang-orang berada, atau setidaknya hidup berkecukupan. Misalnya saja Setya Novanto, di mana per 2015, dari Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diserahkan ke KPK, total hartanya sebesar Rp114.769.292.837 dan US$49.150.

Selanjutnya Romahurmuziy, hartanya diketahui sejumlah Rp11.834.972.656, berdasarkan LHKPN 2010. Artinya kalau dihitung sampai sekarang yang sudah berselang delapan tahun, tentu kekayaannya bisa saja lebih dari  jumlah terakhir sesuai data.

Pasti ada pihak yang menilai bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh mereka yang berkecukupan tersebut tidak semuanya untuk menambah kekayaan pribadi, tetapi juga bisa digunakan untuk kepentingan lain, misalnya kebutuhan lembaga atau parpol. Namun apa pun alasan dan pertimbangannya, melakukan korupsi tetap salah. Sangat tidak mungkin aksi pencurian dilakukan oleh orang-orang berkecukupan dan mengemban amanah terhormat.

Patut diingat, selain sebagai ketua umum parpol, Setya Novanto juga adalah anggota sekaligus Ketua DPR RI. Pun Romahurmuziy, beliau adalah ketua umum parpol dan anggota DPR RI. Keduanya adalah orang terhormat yang semestinya jauh dari perilaku koruptif karena selayaknya jadi panutan bagi warga.

Terakhir, baik Setya Novanto maupun Romahurmuziy diketahui cukup dekat dengan sosok Presiden Jokowi. Sebelum bermasalah dengan hukum, mereka berdua merupakan orang-orang terdekat presiden. Apa tidak cukup memalukan ketika mereka yang sehari-harinya bergaul dengan orang sejujur Presiden Jokowi kemudian dinyatakan berurusan dengan kasus korupsi?

Kasus korupsi terbaru yang menimpa Romahurmuziy jelas mengecewakan orang-orang terdekatnya, keluarganya, kader parpolnya, teman pimpinan sekoalisi, serta Presiden Jokowi.

Apalagi bagi para kader PPP yang sedang giat-giatnya berjuang untuk memenangkan pertarungan memperebutkan kursi di parlemen. Mereka jelas merasa tertampar keras atas kasus Romahurmuziy ini. Kalau ditanya untuk dijawab secara jujur, label baru ketua umum parpol mereka merupakan sebuah musibah besar di siang bolong. Mereka tidak menyangka akan menelan pil pahit di musim politik yang kerap memanas ini.

Walaupun demikian, asas praduga tak bersalah sudah selayaknya dikedepankan pada kasus Romahurmuziy. Sebelum ada keputusan hukum tetap di pengadilan, publik dianjurkan untuk tidak memberi penghakiman terlalu cepat. Biarlah proses hukum berjalan, dan diharapkan tidak ada intervensi dari pihak mana pun.

Semoga kasus Romahurmuziy tidak melemahkan semangat para kader PPP, tidak memancing amarah teman-temannya di partai koalisi, serta tidak membuat Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat tertawa terbahak-bahak.

Lalu apa hubungan antara kasus Romahurmuziy dengan para politisi milenial?

Sudah dipaparkan di atas bahwa rata-rata pelaku korupsi selama ini adalah mereka yang sudah terhormat dan memiliki harta yang berkecukupan. Para politisi milenial wajib paham dan sadar akan hal ini. Tantangan dan godaan serupa bukan tidak mungkin akan menyasar para politisi muda yang masih jauh dari pengalaman, belum mengemban amanah, dan apalagi jika belum pula berpenghasilan memadai.

Semangat yang berkobar-kobar dan modal pengalaman yang sudah dimiliki tidak cukup ampuh menjadi benteng pertahanan kuat bagi para politisi milenial untuk tidak tergoda melakukan tindak pidana korupsi.

Para politisi milenial harus tetap mawas diri dan mau belajar dari pengalaman buruk para pendahulu mereka. Lobang jeratan yang kasat mata wajib jeli dipandang supaya tidak ikut terperangkap juga ke depan. Semoga saja.

***