Pilpres 2019 Ibaratnya Referendum, Pilih NKRI atau Khilafah?

Rakyat harus memilih pasangan yang bisa menyelamatkan bangsanya, yaitu pasangan yang tidak memberi tempat bagi berkembanganya paham radikalisme dan khilafah.

Jumat, 12 April 2019 | 17:51 WIB
0
301
Pilpres 2019 Ibaratnya Referendum, Pilih NKRI atau Khilafah?
Prabowo Subianto di kampanye akbar di Stadion Utama GBK, 7 April 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Benarkah Pilpres 2019 ini yang mempertemukan antara Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi bisa juga disebut sebagai ajang pertarungan  dua ideologi, yakni Pancasila dan Khilafah?

Tentu saja, kita semua meyakini, bukan tanpa alasan, analisa, dan juga pengamatan yang mendalam apabila Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengatakan hal demikian.

"Saya lihat sekarang ini pemilu beda dengan pemilu-pemilu yang pernah kita laksanakan sepanjang sejarah hidup bangsa kita. Pemilu kali ini yang berhadap-hadapan bukan saja hanya subjeknya, orang yang berhadapan, bukan hanya kubu, kubu dari Pak Jokowi dan kubu dari Pak prabowo, bukan, tapi ideologi," kata Hendropriyono.

"Dua ideologi ini sudah nyata kita lihat, kita jalan aja di luar kira-kira semua orang tuh dengan sepintas saja tidak perlu terlalu rumit, sudah tahu bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah. Tinggal pilih yang mana," sambung Hendro.

Sepertinya, kita juga tak perlu lagi menutup mata atau bahkan mencari-cari alasan untuk menyangkal bahwa Pilpres 2019 ini bukanlah pertarungan antara Pancasila dan Khilafah. Boleh-boleh saja, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai ucapan Mantan Pangdam Jaya AM Hendropriyono itu sebagai sebuah fitnah.

Namun, apa yang terjadi di Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 7 April 2019 lalu, bisa menjadi ajang show of force bahwa kekuatan khilafah benar-benar diberi angin segar oleh Prabowo-Sandi. Entahlah, siapa yang menunggangi  dan siapa yang ditunggangi. 

Intinya, kampanye akbar itu tidak memperlihatkan keragaman, bahkan cenderung eksklusif pada kekuatan tertentu. Hal ini pula, sepertinya  yang disesali Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Kenyataan dan  indikasinya, bahwa kubu Prabowo-Sandi ini sepertinya cenderung mengakomodasi dukungan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ormas yang sudah dibatalkan izin pendiriannya karena terindikasi bertentangan dengan ideologi negara  Pancasila.

HTI masuk dan mendukung Prabowo-Sandi melalui gagasan #2019GantiPresiden yang diinisiasi Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.  Kita pun memahami bahwa gagasan Ganti Presiden hakikatnya sama dengan gagasan mengubah sistem kenegaraan, dari Pemerintahan yang berbentuk Republik, dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, diubah menjadi negara dengan sistem Khilafah, dengan pimpinan tertinggi bukan lagi di tangan Presiden.

Kita pun percaya, HTI tentu tidak akan begitu saja menerima keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi HTI atas keputusan pembubaran ormas tersebut oleh pemerintah. Dan, peluang untuk kembali eksis bisa saja masih terbuka lebar jika Pilpres 2019 ini dimenangkan pasangan Prabowo-Sandi.

Bisa saja Prabowo mengatakan dirinya seorang nasionalis dan menolak paham khilafah. Namun, bagaimana jika secara politik, mayoritas anggota parlemen yang terpilih merupakan kumpulan orang-orang yang menghendaki Khilafah itu berdiri.  Keputusan politik itu ada di tangan DPR, karena Indonesia tak lagi memiliki lembaga tertinggi negara, seperti MPR di masa lalu. 

Melalui DPR inilah, keputusan politik bisa dibuat. Hal ini sesuai dengan ajakan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk menguasai DPR agar bisa dimulainya perumusan Syariat Islam, sehingga pada tahun 2020 Syariat Islam sudah bisa dijalankan di Indonesia, seperti harapan HRS.

"Jadi nggak mesti nunggu 20 tahun, nggak mesti 30 tahun, enggak. 2019 kalau kita bisa rebut secara konstitusional maka tahun 2020 Syariat Islam sudah bisa jalan di Indonesia," ujar Rizieq dengan berapi-api, seperti dikutip di laman Tagar.id (4/2/2019).

Namun, seperti yang dikatakan salah seorang penggagas media sosial Denny Siregar, yang mengatakan bahwa ketika HTI dibubarkan oleh Jokowi pada bulan Juli 2017, tidak terdengar sedikitpun suara dukungan dari Prabowo maupun partainya terhadap pembubaran kelompok pro khilafah itu. Bahkan menurut Denny, pada Mei 2018, Gerindra, PAN dan PKS justru mendukung HTI mengajukan banding atas pembubaran itu.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan Prabowo bahwa ia tidak mendukung khilafah, toh bukti di lapangan terlihat jelas partainya mendukung keberadaan HTI. Jika Prabowo memang berjiwa nasionalis, kenapa ia tidak melarang gerakan yang jelas-jelas ditunggangi HTI?
Soal pertarungan dua ideologi ini memang sudah tampak sejak jauh-jauh hari, dan semakin menguat menjelang pelaksanaan Pilpres 2019 ini. Oleh karena itu, semuanya bergantung pada rakyat yang akan menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019. 

Rakyat tentu saja harus  memilih pasangan yang bisa menyelamatkan bangsanya, yaitu pasangan yang jelas-jelas berideologi Pancasila, yang tidak memberikan sedikitpun tempat bagi berkembanganya paham radikalisme dan khilafah. 

Dengan kata lain, Pilpres 2019 ini bisa diibaratkan sebagai referendum atau ajang jajak pendapat bagi rakyat untuk menentukan pilihan politik, antara tetap menjunjung tinggi negara kebangsaan yang berideologikan Pancasila dan UUD 1945.

Atau, adanya keinginan memilih Pemerintahan yang memberikan peluang bangkitnya kekuatan Khilafah, seperti yang dicita-citakan HTI dan Hizbut Tahrir di seluruh Dunia. 

Salam dan terima kasih!

***                          

Sumber:

Detik.com (29/3/2019): "BPN Tepis Ucapan Hendropriyono soal Ideologi Pancasila Vs Khilafah di Pilpres"
Tagar.id (18/9/2018): "Prabowo dan Khilafah di Belakangnya"
Tagar.id (4/12/2019): "Rizieq Shihab: 2019 Kita Rebut DPR, 2020 Syariat Islam Bisa Jalan di Indonesia"