Saat Kasus Bunuh Diri Jadi Senjata Politik untuk Menyerang Lawan

Rabu, 16 Januari 2019 | 14:53 WIB
0
820
Saat Kasus Bunuh Diri Jadi Senjata Politik untuk Menyerang Lawan
Sebagai amunisi menyerang lawan politik, kejadian seperti ini memang sangat potensial untuk diangkat dan jadi bahan untuk menghantam lawan. Namun sangat disayangkan jika kejadian memilukan ini diangkat justru oleh seorang calon presiden. - Gbr: Usbdata.co

Kasus bunuh diri jadi senjata politik, jadi bahan untuk kepentingan politik, cukup menggambarkan kekejian. Inilah yang terbetik di benak saya saat salah satu calon presiden, Prabowo Subianto, tampil berbicara di JCC Senayan, Jakarta, Senin 14 Januari 2019.

Dalam pidato itu, Prabowo menyitir kisah tentang seorang warga bernama Hardi di Jawa Tengah, dan ia mengaitkannya dengan masalah utang pribadi warga tersebut. "Almarhum bunuh diri karena tidak bisa membayar utang, meninggalkan anak dan istri," kata Prabowo.

Sebagai amunisi menyerang lawan politik, kejadian seperti ini memang sangat potensial untuk diangkat dan jadi bahan untuk menghantam lawan. Namun sangat disayangkan jika kejadian memilukan ini diangkat justru oleh seorang calon presiden.

Apalagi ketika narasi politik berbahan kasus bunuh diri ini juga terangkat di berbagai media. Selain di stasiun TV, media daring pun turut merekam hal ini. Sebut saja Tempo.co, melansir isi pidato Prabowo tersebut lewat satu berita bertajuk Prabowo: Banyak Masyarakat Bunuh Diri karena Ekonomi Sulit.

Publik yang gemar mengikuti perkembangan politik sama-sama tahu, bahwa serangan terhadap masalah ekonomi memang jauh-jauh hari telah menjadi bahan yang terus-menerus diangkat pihak Prabowo.

Sepanjang mengangkat isu tersebut, terlihat hampir selalu yang dilakukan kubu capres ini melakukan blunder. Namun blunder-blunder sebelumnya, dari hoaks tempe setipis kartu ATM hingga angka kemiskinan yang tidak jelas sumbernya, mudah dipatahkan oleh pakar yang lebih memahami masalah ekonomi.

Sekarang, dengan mengangkat kasus bunuh diri untuk menguatkan narasi persoalan ekonomi di era Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Sebab, dari sebuah kasus bunuh diri, ada masalah duka yang teramat dalam dari sebuah keluarga yang merasa kehilangan. Apalagi ketika kasus tersebut diungkit oleh seorang tokoh yang, semua tahu, sedang berkontestasi di sebuah ajang politik bernama Pilpres 2019. 

Apalagi persoalan bunuh diri bukan cuma persoalan yang terjadi di Indonesia, melainkan memang telah menjadi persoalan dunia, dengan motif yang bisa sangat beragam. 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun masih memberikan perhatian khusus terhadap kasus tersebut. Menurut catatan WHO, diperkirakan ada satu kasus bunuh diri per 40 detik. Jika dikalkulasi, lebih kurang 800 ribu orang mati dengan cara bunuh diri dalam setiap tahunnya.

Merujuk laporan Centers for Disease Control (CDC) kasus bunuh diri terjadi sering juga lantaran masalah perundungan (bullying), kekerasan seksual, hingga pelecehan anak. 

Terutama di Indonesia, menurut catatan WHO, laki-laki memang lebih rentan bunuh diri dibandingkan perempuan. Prabowo, saat berbicara politik baru-baru ini, pun memberikan contoh dari kasus seorang warga dari kalangan kaum laki-laki. 

Kemudian, jika dilihat lagi, apakah bunuh diri benar-benar karena masalah yang terjadi sudah terlalu parah? Terbukti, angka bunuh diri terbilang jauh lebih kecil jika dibandingkan pada dekade lalu.

Catatan WHO menyebutkan jika pada 2005 ada 30 ribu kasus bunuh diri terjadi di Indonesia, belakangan semakin menyusut. Paling tidak sampai 2013, hanya ada 840 kasus. 

Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat setidaknya ada 812 kejadian bunuh diri pada 2015. Namun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka ini terbilang lebih baik dan menunjukkan ada perubahan signifikan.

Motif bunuh diri pun cenderung bukan karena persoalan ekonomi. Setidaknya jika mengacu penelitian psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Ronny T. Wirasto, dalam makalah Suicide Prevention in Indonesia: Providing Public Advocacy, menegaskan hal itu.

Di Indonesia, kebanyakan pelaku bunuh diri justru karena gangguan kesehatan mental, permasalahan keluarga, penyalahgunaan alkohol hingga obat-obatan terlarang sampai dengan hubungan sosial yang buruk.

Sayangnya, dalam kontestasi Pilpres ini, kasus bunuh diri yang sejatinya tidak pantas dijadikan senjata politik, justru kini dengan telanjang dipamerkan oleh seorang calon presiden. Miris!

Persoalannya lagi, mengangkat isu bunuh diri di depan publik secara terbuka, pun bisa membawa dampak buruk terhadap publik. Ada istilah yang dikenal dengan "Efek Werther" di dunia psikiatri. Di mana ketika sebuah kabar bunuh diri diangkat, itu bisa memicu pemikiran bagi orang lain untuk meniru langkah tersebut. Paling rentan adalah kalangan usia remaja.

Di dunia pers pun, persoalan bunuh diri kini semakin menjadi perhatian, agar dalam pemberitaan lebih peka terhadap korban dan dampak yang dapat terjadi ketika kasus ini diangkat.

Yosep Stanley Ady Prasetyo dari Dewan Pers, di banyak kesempatan bahkan menggarisbawahi supaya pers lebih berhati-hati ketika mengangkat kasus bunuh diri. Sebab menurut dia, ketika sebuah kasus bunuh diri diangkat, setelahnya hampir selalu berakibat pada terjadinya sederet kasus bunuh diri lainnya. Atau, dalam dunia kriminologi juga dikenal dengan "Copycat Suicide".

Sayangnya, di ranah politik, tampaknya belum ada aturan yang menegaskan persoalan ini. Setidaknya jika mengacu pada Pasal 69, dalam ayat 1, misalnya hanya mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang untuk mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat membahayakan keutuhan Negara. 

Kalaupun ada larangan lainnya, merujuk pasal itu, dalam kampanye juga dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Di samping juga ada larangan adu domba, ancaman kekerasan, perusakan alat kampanye dan pengunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, atau tempat pendidikan. Serta pelarangan pemberian uang atau materi lainnya.

Belum ada larangan khusus, bagaimana supaya kasus bunuh diri tidak sampai menjadi bahan atau amunisi untuk kepentingan politik.

Jadi, dalam kasus ini, sikap seorang calon presiden menjadikan kasus bunuh diri sebagai amunisi untuk kepentingan politik, menjadi sesuatu yang sangat pantas dikecam. Syukur-syukur jika kecaman ini dapat membuahkan sebuah aturan ketat, supaya tak ada lagi yang menjadikan masalah itu sebagai amunisi kepentingan politik.

Bukan lantaran keberpihakan pada capres tertentu, namun ini adalah urusan kemanusiaan. Di sini dibutuhkan sudut pandang selayaknya manusia, di mana empati jauh lebih penting dari sekadar pertarungan politik.

Semoga saja, siapa pun yang berkiprah dalam dunia politik, akan lebih bijak jika bertarung dan bersaing dengan cara-cara yang lebih humanis. Jangan lagi kasus bunuh diri dijadikan senjata politik. Sebab, langkah seperti ini jelas-jelas keji.

***