"Sontoloyo!" Benang Merah Joko Widodo dan Soekarno

Selasa, 13 November 2018 | 08:49 WIB
0
525
"Sontoloyo!" Benang Merah Joko Widodo dan Soekarno
Jokowi dan Soekarno [Kompasiana.com/tilariapadika]

"Hati-hati ... banyak politikus yang sontoloyo! ... politikus-politikus yang hanya untuk kepentingan sesaat, mengorbankan persatuan, persaudaraan, dan kerukunan kita."

Ini penggalan kata-kata Presiden Joko Widodo, dirangkum intinya, tentang politikus sontoloyo. Presiden Joko Widodo katakan itu saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Baru, Selasa (23/10/208).

Senang rasanya mendengar Presiden keluarkan pernyataan agak nakal, agak intimidatif, umpatan yang melonggarkan mampet hati oleh kesal.

Sesekali umpatan kesal seperti itu perlu. Dengan begitu kita tahu presiden masih manusia, sama seperti kita. Tak ada manusia yang tak marah, tak kesal, sekalipun ia tetap berusaha se-ja'im mungkin.

Sontoloyo. Saya pernah membaca dari artikel seseorang, kata ini aslinya berarti gembala itik, atau bebek, saya lupa persisnya. Pokoknya unggas. Entah bagaimana kisahnya, sontoloyo mengalami pergeseran makna cukup jauh. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sontoloyo adalah kata ragam cakapan alias tak baku, yang berarti "konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian)."

Sebelum Presiden Joko Widodo, Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia juga pernah menggunakan kata Sontoloyo. Bung Karno bahkan menggunakannya dalam artikel panjang yang kemudian menjadi buku. Sontoloyo menjadi kata dalam judul buku itu.

Jika mau direnungkan, meski beda masa dan beda objek, sebenarnya ada benang merah antara sontoloyo yang diucapkan Presiden Soekarno di masa lampau dengan sontoloyo versi Presiden Joko Widodo saat ini.

Bung Karno menggunakan istilah sontoloyo untuk menyebut perilaku beragama yang hanya simbol, cuma kulit, sebatas hal remeh-temeh, tidak berkutat pada hakikat. Model perilaku seperti ini kini kian sering kita temukan.

Ada bendera ormas terlarang dibakar, ramai-ramai orang ribut karena pada bendera itu tertera kalimat yang lekat eratnya dengan kepercayaan. Sebaliknya ketika ada politisi korup; ada rakyat terampas tanahnya; ada buruh tak diupah sesuai ketentuan; tak cukup ramai orang-orang di media sosial mempercakapkannya dengan penuh kemarahan. Sontoloyo!

Serupa itu Bung Karno memberi contoh. Banyak umat beragama yang marah jika seseorang melanggar pantangan remeh temeh. Sebaliknya cuma segelintir yang gusar kepada para koruptor, kepada orang-orang yang menindas kaum miskin.

Meski menyebut agama tertentu, sebenarnya kritik Bung Karno ini bersifat universal kepada setiap pemeluk agama yang merumitkan hal-hal yang cuma kulit, sebatas simbol (seperti bendera, tata cara ibadah, cara berpakaian, dll) bukan yang hakikat, yaitu pengamalan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandung agama itu.

Pesan serupa terkandung dalam kritik Joko Widodo kepada para politisi. Bagi Jokowi, politisi sontoloyo adalah politisi yang hanya peduli kepada kekuasaan, bukan kepada kepentingan rakyat.

Politik memang merupakan perpaduan kebijakan (gagasan tentang kehidupan publik) dan kekuasaan. Namun kebijakan adalah primer, sementara kekuasaan sekunder. Kebijakan atau gagasan adalah isi, kekuasaan kemasannya, wadahnya. Itu sebabnya disebut politik, bukan powertik.

Tanpa kekuasaan, gagasan-gagasan baik tentang kehidupan publik tidak dapat dijalankan. Sebaliknya lebih buruk, kekuasaan tanpa gagasan bagi kebaikan rakyat adalah kekuasaan yang sontoloyo, yang hanya kulit, hanya kemasan sebab tak ada isinya. Kemasan tanpa isi adalah sampah. Nasipnya berakhir di Bantargebang.

Maka politisi sontoloyo adalah politisi yang mengutamakan kekuasaan yang cuma kemasan itu dan melupakan gagasan kebaikan hidup rakyat.

Itulah sebabnya politisi sontoloyo rela mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa; berani bermain api dengan politik adu domba mengeksploitasi sentimen agama, hanya agar bisa berkuasa.

Politisi sontoloyo akan mengkritik semua kebijakan pemerintah, tanpa kecuali, sekalipun ia tahu itu kebijakan yang baik bagi rakyat. Tujuannya tentu saja agar ia bisa segera gantian berkuasa.  Politisi sontoloyo akan berusaha menghalang-halangi sebuah kebijakan jika kebijakan itu membuat lawannya mungkin terpilih kembali. Ia tak peduli kebijakan itu bermanfaat bagi rakyat.

Contoh terkini adalah bagaimana mereka meributkan rencana kebijakan dana kelurahan hanya karena dikeluarkan setahun menjelang pilpres dan potensial membuat capres petahana menang lagi.

Politisi sontoloyo menutup mata terhadap sisi positif, melalui program dana kelurahan orang kota bisa turut menikmati sukacita orang desa dalam 4 tahun terakhir ini.

Melalui dana desa, masyarakat di pedesaan bisa berpartisipasi langsung merencanakan, mengeksekusi, mengawasi dan mengontrol pembangunan yang bermanfaat bagi mereka. Hasilnya sangat terasa, pembangunan di desa sesuai apa yang dibutuhkan rakyat. Tentu masih banyak pula cacat-cela dalam praktik.

Rakyat desa kini bukan lagi objek pasif yang menerima begitu saja kebijakan yang dibuat orang-orang belakang meja di pemerintahan kabupaten, provinsi, dan pusat yang jauh dari mereka. Kini orang-orang desa berembug, memutuskan sendiri apa yang baik bagi mereka.

Tentu akan sangat baik jika orang-orang di kota merasakan hal serupa.

Masyarakat perkotaan ingin agar ketika mereka butuh taman kanak-kanak atau tempat bermain anak, atau taman kelurahan atau perpusatakaan lingkungan, tempat pembuangan sampah sementara atau pos ronda, tidak harus menunggu lama program dari pemerintahan kota.

Jika ada dana kelurahan yang bisa masyarakat kota dan lurah kelola sendiri, semua kebutuhan di atas dapat direncanakan, diputuskan, dan dijalankan dengan segera.

Inilah wujud pembangunan yang sungguh-sungguh melibatkan partisipasi rakyat. Rakyat bukan sekedar diminta suaranya, ditanya pendapatnya. Rakyat memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan.

Politisi sejati akan berpikir keras bagaimana agar program ini bisa cepat dijalankan sementara Undang-undangnya belum tersedia; memikirkan bagaimana bentuk kelembagaan pengelolaan dana kelurahan yang tentu berbeda  dengan desa. Desa adalah kesatuan wilayah pemerintahan beserta kedaulatannya, sementara kelurahan cuma satuan administratif tak berdaulat, perpanjangan tangan camat, seorang birokrat, administratur, yang menjalankan semua yang direncanakan dan diputuskan pemerintah (bupati/walikota).

Sebaliknya politisi sontoloyo hanya sibuk merumuskan argumentari agar program ini tak jadi dilaksanakan hanya karena akan menguntungkan lawan politiknya, capres petahana.

Begitulah kira-kira benang merah istilah sontoloyo yang digunakan Presiden Soekarno dan Presiden Joko Widodo. Setidaknya menurut saya demikian. Menurut Om-Tante bagaimana?

Sumber:

  1. Kompas.com (23/10/2018) "Jokowi: Hati-hati, Banyak Politikus Sontoloyo!"
  2. Kompas.com (24/10/2018) "Sebut Banyak Politisi Sontoloyo, Ini Penjelasan Jokowi"
  3. Kumparan.com (03/04/2018) "Sukarno dan Islam Sontoloyo."

Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika