Fadli Zon, Farisi-Yahudi, dan Keadaban Politik

Selasa, 12 Februari 2019 | 20:55 WIB
0
444
Fadli Zon, Farisi-Yahudi, dan Keadaban Politik
Fadli Zon dan Trump (Foto: Tribunnews.com)

 

Masih cukup banyak yang bereaksi atas puisi tidak patut seorang pimpinan dewan pada kyai sepuh. Kyai sepuh lain pun ada yang cukup duka, di dalam menyikapi puisi itu. miris memang melihat sepak terjang pimpinan dewan yang seolah tidak paham tugas dan kewenangannya yang katanya yang mulia itu.

Perbedaan politik itu wajar, biasa, sebagaimana bedanya selera dan pilihan di dalam melihat tayangan televisi mau menonton sinetron atau sepak bola. Itu saja, jangan kemudian yang memilih menyaksikan sepak bola merendahkan penonton sinetron. Atau penikmat sinetron mencela reputasi dan selera penyaksi bola yang naif wong 22 orang ngerubuti satu bola.

Aksi berpuisi ria FZ ini cukup menarik, jika dibandingkan prestasinya di dalam kinerja sebagai pimpinan dewan. Ulasan lebih lengkap bisa dilihat di https://www.kompasiana.com/paulodenoven/5c5ac143bde5754bee205798/fadli-zon-muisi-terus-kapan-kerja. Sederhana saja cukup membanggakan atau malah memilukan, itu.

Dalam artikel ini, cukup menjadi sebentuk sapaan agar makin mengenal diri, sebelum menuding pihak lain, apalagi tokoh yang dihormati, https://www.kompasiana.com/paulodenoven/5c5cc803aeebe128b60e6df3/puisi-fadli-zon-layar-lebar-dan-perlu-cermin-besar. Pantas saja jika kinerjanya minim, malah lebih banyak bicara di luar konteks tanggung jawabnya.

Farisi, itu sebuah kelompok, aliran keagamaan, kadang juga partai politik di dalam tradisi Yahudi lama. Kelompok ini salah satu yang paling taat akan azas dan aturan. Ortodoksi menjadi salah satu ciri baik mereka. Namun di balik itu mereka ini akan mengecam siapa saja yang tidak sesuai dengan pola pikir, aliran, dan kebiasaan mereka. Merekaa juga menuntut tinggi pada umat, namun sering lalai melakukan apa yang seharusnya dengan mengatasnamakan ortodoksi ajaran nenek moyang, atau kadang Taurat.

Sikap mereka sering ugal-ugalan, bahkan tidak jarang menggunakan hoax di dalam menyudutkan pihak lain dan mencoba menaikan eksistensi mereka. Dalam salah satu kisah, ada mukjizat pengusiran setan. Apa yang mereka lakukan? Eh malah mereka menuduh pengusiran setan itu dengan kekuasaan biang setan.

Mereka juga bisa berkolaborasi dengan siapa saja yang biasanya menjadi musuh mereka, demi menyingkirkan rival bagi mereka yang terlalu kuat. Perilaku mendua, main dua kaki, dan munafik sangat biasa bagi mereka. Atas nama ortodoksi dan agama leluhur mereka bisa juga menghianati apa yang yang hakiki dan sejati.

Melihat rekam jejak, perilaku, dan pilihan-pilihan FZ dan koalisi 02 kog tampaknya tidak jauh-jauh amat dengan Farisi ini. Bagaimana perilaku mereka yang ugal-ugalan di dalam menuding dan menunjuk namun lupa siapa mereka itu sejatinya. Tentu paling miris mereka menista ulama, padahal mereka juga menuding pemerintah melakukan kriminalisasi ulama.

Bukti tidak menghormati ulama paling tidak ada dua hal indikasi kuat. Menafikan rekomendasi para ulama, dengan mengandeng Sandi. Pertanggungjawaban mereka sama sekali tidak ada. Soal rumor yang tidak ada bantahan dan klarifisikasi soal memukul meja di hadapan para ulama menambah daftar sikap ini.

Terbaru jelas puisi dan tafsiran doa ala Fadli yang ugal-ugalan.  Bagaimana menyikapi kesalahan pribadi sepuh dengan bahasa demikian. sangat tidak elok. Pilihan pribadi dalam berpolitik itu biasa, jangan kemudian melupakan unggah-ungguh bangsa. Sekelas pimpinan dewan lagi. Namun ya memang itu kelasnya.

Farisi pernah menuding pengusiran setan karena kuasa biang setan. Identik, bagaimana mereka yang memilih biang kisruh selama 42 tahun bangsa ini. Mereka sendiri mengakui, hayo jangan ngeles kalau digoreng pihak lawan, pembangunan salah arah. Padahal yang ia tuding itu justru ada di dalam itu semua. Aada partai pimpinan Tommy dan pimpinan SBY, tidak perlu berpanjang kallebar, semua paham.

Menuding pengemplang pajak, hayo siapa yang masuk  dalam laporan-laporan bahkan luar negeri lho, jangan nanti menuding pemerintah takut kalah. Rilis dari media internasional, kedua kandidat utama mereka tercantum. Bagaimana bisa menuding ke mana-mana sedang mereka juga pelaku. Khas Farisi.

Tudingan pembangunan keliru ini jelas model pendekatan mendua yang sangat mengerikan bagi kerja sama politik. Mereka merengek tanda tangan dari para ketua umum untuk mendukung, namun ketika keadaan mendesak, dampratan dilakukan. Demokrat bisa saja sedikit merasa tenang ketika sudah diralat, bahwa keliru kecuali zaman SBY.

Cukup bisa menenangkan ketum tantrum-an ini. sedikit saja puja dna puji selesai. Namun secara umum bahwa apa yang dinyatakan itu jelas awalnya tidak ada kata, kecuali. Menggambarkan grusa-grusu dan tidak patut. Hanya demi menggaet pemilih dengan menjelek-jelekan siapa saja. Jelas kualitas buruk bagi calon pemimpin yang baik.

Berbeda dengan partai politik baru, yang dasarnya belum dan tidak tahu apa-apa, yang penting adalah menang dan ikut dalam gerbong kekuasaan. Sesederhana dan sesimpel itu  saja. Jadi tidak akan menjadi berkepanjangan, karena kepentingannya yang jauh lebih besar semata, dibandingkan pernyataan yang bisa dinafikan.

Mudahnya merevisi pernyataan yang telanjur diucapkan, lupa era modern, rekam jejak sangat mudah ditarik dan dilihat kembali. Hal yang di dalam elit mereka sangat biasa terjadi. bagaimana Amien Rais janji jalan Jakarta-Jogya, atau ada yang mau terjun dari Monas. Artinya memang mikir usai bicara, bukan mikir baru bicara. Apa ini calon pemimpin yang layak? Pantas visi-misi program nyapres saja direvisi.

Politik sering diklaim sebagai kepentingan yang menjadi panglima, lha memang demikian, namun ingat bagaimana kepentingan itu pun jangan abai akan etika dan kebaikan bersama. Bagaimana bisa menjadi pemimpin kalau menggunakan segala cara, membenarkan segala proses demi hasil semata. Hasil itu konsekuensi logis atas perjuangan, jangan dibalik.

Di sinilah peran keadaban politik para pemangku dan perilaku politik itu menjadi penting. Penghormatan akan siapapun baik rival dan teman. Ketika menuding dan mencela baik kawan atau lawan, ke mana tingkat adab mereka di dalam komunikasi, berpolitik, dan akhirnya bernegara? Jelas sangat penting. Ini bangsa beradab dan bermartabat, jangan dibawa kepada barbarisme kembali.

Bagaimana bisa mengaku demokratis, dulu banyak yang terlibat di dalam penggulingan rezim otoriter, eh kini romansa masa lalu mau dibangkitkan kembali. Jelas ini perilaku tidak wajar, namun menuding pihak lain sebagai tidak waras. Sudah berbahaya karena membedakan perilaku sendiri atau rival saja sudah tidak bisa.

Sangat mungkin berbohong, menebar ketakutan dan kecemasan sebagai sarana mendapatkan kekuasaan, karena sudah tidak lagi memiliki adab dan nurani yang jernih. Bagaimana memiliki nurani baik ketika tidak pernah diasah secara spiritual. Agama periode dekat pemilu saja dilakukan. Bagaimana bisa menjadi pemimpin yang baik. Tidak semata agama yang menjadi penting, namun perilaku beriman yang utama.

Pribadi beriman akan memilih jauh-jauh dari kebohongan, hoax, kekerasan, dan fitnah. Sajian setiap waktu sangat kuat model ini. Bagaimana peran hidup beriman di dalam negara yang beradab dan berdasar Pancasila bisa diyakini.

Dulu semua baik-baik saja kog. Semua berdampingan tanpa pernah melibatkan banyak label ini dan itu.  Mengapa kini terkoyak? Pelaku politik abai keadaban berpolitik. Kuasa dan kursi semata yang menjadi pijakan dan tujuan utama.

Pemimpin model demikian yang mau dipilih? Jelas tidak.

Salam...

***