Kritik dan Hoax yang Dialamatkan kepada KPU

Minggu, 13 Januari 2019 | 16:43 WIB
0
563
Kritik dan Hoax yang Dialamatkan kepada KPU
KPU (Foto: Suara Merdeka)

Dalam kurun setahun belakangan, menurut pengamatan saya, ada satu lembaga yang super-duper lelahnya. Lembaga tersebut bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu). Hal ini dikarenakan Indonesia dalam waktu yang dekat akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang sangat besar, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Legislatif.

Pertama dalam sejarah kepemiluan Indonesia, kedua pemilihan tersebut diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan. Kita sebagai warga negara, sudah sepatutnya mengapresiasi kinerja dari kedua lembaga tersebut. Karena pasti mereka sangat sibuk dalam menyiapkan kedua momentum tersebut.

Namun, alih-alih mengapresiasi, kinerja KPU-lah yang sering kali mendapatkan kritis yang sangat tajam. Bahkan bukan hanya kritik, tapi juga berita hoax yang disebarkan oleh beberapa politisi nasional.

Kasus terakhir yang sempat membuat gempar adalah adanya 7 kontainer yang sudah tercoblos pasangan calon nomor 01. Tentu kita dapat mengetahui, berita hoax itu datangnya bukan datang dari tim Jokowi-Ma’ruf. Masih ada beberapa juga beberapa kritik maupun hoax.

Tapi yang menjadi tanda tanya besar, kenapa harus KPU dan apa yang menjadi tujuannya ?

Kenapa Harus KPU dan Bawaslu?

Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa harus KPU yang menjadi objek kritik atau “penyerangan”, yang katanya, mewakili aspirasi atau kecurigaan masyarakat tersebut.

Pertama, menurut UUD Pasal 22 E ayat 5 maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (biasa dikenal dengan UU Kepemiluan)  pada Pasal 1 ayat 7 yang menyatakan bahwa terdapatnya sebuah lembaga yang mengurusi urusan kepemiluan yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan satu lagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Jadi ketiga lembaga tersebut memiliki concern yang berkitan dengan kepemiluan.

Namun secara teknis, KPU dan Bawaslu memiliki peran yang paling besar. Karena kedua lembaga tersebut yang mengatur secara konsep maupun teknis jalannya kontestasi 5 tahunan tersebut. Namun memang berbeda concern, KPU berkaitan pelaksanaan sedangkan Bawaslu berkaitan dengan pengawasan proses pelaksanaan yang diselenggarakan oleh KPU.

Kemudian untuk DKPP berfungsi sebagai pengawas kedua lembaga tersebut. Maka tidak mengherankan jika kritik selalu berdatangan ketika KPU mengeluarkan sebuah keputusan. Namun yang perlu diperhatikan, sejauh ini bukan hanya kritik yang datang kepada KPU maupun Bawaslu.

Akan tetapi ada juga berita hoax bahkan, menurut saya, pencorengan nama baik. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai paragraf ini, akan saya sampaikan pada bagian berikutnya.

Saya akan menjelaskan kembali alasan yang selanjutnya. Kedua, alasan kenapa harus KPU dan Bawaslu adalah masih tingginya kepercayaan publik kepada kedua lembaga negara tersebut.

Menurut laporan penelitian yang diterbitkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai tren persepsi korupsi, pada point tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara, KPU mendapatkan persetase sebesar 69% untuk sangat percaya maupun percaya, 11% untuk tidak percaya dan sangat tidak dipercaya, dan 20% untuk tidak tahu dan tidak mau menjawab.

Sementara untuk Bawaslu sendiri, berada di dua tingkat di bawah KPU, yaitu 67% untuk sangat percaya maupun percaya, 10% untuk tidak percaya dan sangat tidak dipercaya, dan 23% untuk tidak tahu dan tidak mau menjawab.

Menurut data yang sudah dipaparkan maka sudah jelas salah satu tujuan kritik atau penyebaran hoax tersebut adalah untuk menurunkan citra masyarakat terhadap kedua lembaga tersebut. Sekali lagi, itu hanya pendapat saya lho.

Pada bagian awal tulisan, saya sudah sampaikan bahwa sudah banyak kritik maupun berita hoax yang datang dari berbagai arah, namun penulis melihat kecondongan yang sering terjadi.

Kritik dan hoax yang bertebaran bak sakura di musim gugur itu datang dari kubu Prabowo. Pada bagian selanjutnya saya akan memaparkan apa saja yang sudah menjadi kritikan ataupun hoax yang sudah menyebar di kalangan masyarakat.

Namun pada kesempatan kali ini, penulis hanya akan membahas mengenai kritik dan berita hoax terhadap KPU.

Kritik dan Berita Hoax terhadap KPU

Mari kita mulai paragraf ini dengan menghitung mundur. Menurut saya, kritik KPU yang pertama datang ketika KPU menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Kritik ini muncul ketika KPU menetapkan DPS dengan jumlah sebanyak 186.379.878 pemilih. Kritik pun muncul yang menyatakan bahwa terdapat kurang lebih 25 juta pemilih yang ganda.

Menurut penulis, penetapan DPS itu sangatlah tidak mudah. Ada beberapa faktor saya liat, misalnya penduduk yang terus bergerak. Dalam artian, penduduk yang belum benar-benar menetap atau masih ngontrak. Faktor selanjutnya juga yang tidak kalah penting, sadar atau tidak, terkadang ada beberapa orang atau keluarga jika pindah tempat tinggal itu sangat malah untuk berurusan dengan masalah administrasi kepindahan. Sehingga membuat repot Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disducapil) di masing-masing provinsi dalam merapihkan data yang valid.

Kritik selanjutnya juga berkaitan dengan paragraf berikutnya, yaitu ketika KPU menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) se-Indonesia. Kritik kembali datang ke KPU, yang katanya ada beberapa orang yang belum terdaftar di DPT tersebut.

Kritik ini disampaikan oleh banyak pihak, baik itu lembaga pemerintahan maupun partai politikRespon dari KPU setelah mendapatkan kritik tersebut adalah membuka kembali bagi warga yang belum terdaftar selama 60 hari.

Namun apabila ada warga yang masih belum terdaftar juga, KPU memberikan 2 (dua) opsi. Pertama secara manual, yaitu datang ke PPD dan yang kedua secara online dengan cara menggunakan aplikasi yang dikembangkan KPU RI 2019 di Play Store untuk pengguna android. Sementara untuk pengguna Apple, saya tidak mengetahuinya, karena saya belum pernah menggunakan Apple. (hehehe :D)

Setelah selesai memberikan solusi masalah sebelumnya, muncul berita bahwa KPU memasukan orang gila pada DPT. Kritik ini disampaikan oleh kedua belah pihak paslon yang sudah mendaftarkannya. Kemudian Ketua KPU langsung menjelaskan yang dimaksudkan pada PKPU No. 11 Tahun 2018 disitu adalah orang yang sedang tidak terganggung jiwa dan ingatannya.

Dasar hukum dari peraturan tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XIII/2015, untuk lebih jelasnya pembaca bisa mengunduhnya disini . Namun ada hal yang perlu dijelaskan oleh saya, bahwa KPU hanya melindungi salah satu hak warga negara, yaitu memilih. Sekali lagi, itu berkedudukan sebagai hak bukan sebagai kewajiban, apabila tidak dikerjakan mendapatkan sanksi.

Mengenai lanjutannya, apabila seseorang yang masuk pada kategori tersebut ingin memilih, harus memiliki surat keterangan dokter kalau si pemilih bisa berpartisipasi. Bahkan partisipasi yang didorong ketika lahirnya peraturan ini adalah perlindungan kepada kaum difabel.

Selain itu, ada persyaratan tambahan jika seseorang yang memiliki gangguan jiwa boleh menyoblos setelah mendapatkan surat dari dokter kejiwaan.

Selanjutnya berkaitan dengan hoax dan bisa dikatakan juga sebagai kritik, mengenai kotak suara kardus. Kali ini yang merespon berlebihan bagi saya adalah kubu Prabowo-Sandi, bahkan sempat menjadi tranding topic di twitter berkaitan dengan isu ini.

Padahal pada saat itu, KPU baru mewacanakan dan belum benar-benar memperlihatkan kepada publik wujud dari kotak suara yang akan digunakan pada pemilihan 2019. Bahan kotak suara yang akan digunakan ini berbahan kertas karton yang kedap air. Beberapa pekan yang lalu, KPU langsung membuktikan di depan publik kekuatan dari kotak suara yang digunakan nanti dengan berbagai macam “atraksi”.

Sudah terverifikasi isu tersebut, muncul kembali hoax yang ditujukan kepada KPU, yaitu hoax bahwa Arief Budiman, selaku Ketua Komisioner KPU-RI adalah adik dari Alm. Soe Hok Gie. Saya yakin dari beberapa pembaca belum tahu siapa itu Soe Hok Gie. Saya sarankan pembaca untuk menonton film Soe Hok Gie deh.

Bahkan sampai dikaitkan kalau Arief Budiman memiliki nama dua nama dan diduga Komunis oleh beberapa pihak. Aduh mama sayangeee, pembaca yang budiman, anda harus memverifikasi dahulu sebelum menghakimi. Buktinya, Arief Budiman yang dimaksud adik dari Soe Hok Gie adalah dosen di salah satu kampus ternama di Indonesia dan sudah berusia 77 tahun.

Jadi mungkin anda salah orang. Nama yang sama, selalu mungkin terjadi. Tapi yang sudah saya sampaikan, lebih baik anda memverfikasi terlebih dahulu sebelum menghakimi kemudian menyebarkan berita tersebut. Kemudian langsung saja narasinya bertambah, kalau Ketua KPU itu komunis ketika belum ada verifikasi mengenai hal tersebut.

Kemudian hoax yang terakhir ini, bagi saya benar-benar menyita perhatian publik, yaitu berita 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos pasangan nomor 01 di Tanjung Priok. Setelah melakukan penyelidikan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu itu adalah hoax atau berita bohong. Baru beberapa hari kemarin tersangka penyebaran hoax tersebut ditangkap oleh Polisi.

Sebenarnya berita tersebut tidak akan booming seandainya para politisi tingkat nasional yang menyebarkan. Tokoh-tokoh yang terbukti menyebarkan kabar tersebut datang dari tim 02, yaitu Prabowo-Sandi. Misalnya Andi Arief, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Mustofa Nahrawardaya.

Keempat tokoh tersebut yang “dicolek” oleh tersangka ketika penyebaran hoax tersebut. Bahkan menurut tempo, tersangka mengaku pendukung dari paslon nomor 02. Meskipun ada bantahan, namun polisi sudah mengintrogasi dan mendapatkan info tersebut.

Melihat situasi tersebut, saya merasa iba dengan kondisi KPU yang terus-terusan dikritik bahkan disebarkan berita kebohongan. Padahal KPU itu lembaga mandiri, artinya lembaga ini berdiri sendiri atau bahasa kerennya independen. Saya pernah mendengarkan keluh-kesah teman saya ketika penyusunan DPT.

Dia bercerita sampai tidur selama 1 sampai 2 jam saja perhari, dan terus selama hampir seminggu. Bisa dibayangkan betapa lelahnya mereka seperti itu. Pasti ada dari para pembaca yang berpikir, itu resiko pekerjaan. Hei bro, dimana rasa manusiawi anda melihat kondisi tersebut ? Dia tetap seorang manusia yang punya titik lelah.

Maka hargai kinerja mereka dan bantu kinerja mereka dengan cara-cara yang mudah. Misalnya ketika pindah segera melapor ke pihak yang bersangkutan.

KPU dan Bawaslu bukanlah sebuah lembaga super power, dia memiliki banyak kekurangan dan kelebihan. Sekali lagi saya tekankan, KPU dan Bawaslu itu lembaga independen. Maka sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya membantu kinerja.

Bukan hanya mengkritik dan menyebarkan kabar bohong seperti yang sudah saya sampaikan pada bagian sebelumnya. Kalau memang anda merasa tidak percaya dan tidak puas dengan kinerja KPU, anda bisa membentuk lembaga baru, jika bisa.

Mungkin juga anda bisa mencoba mendaftarkan diri anda menjadi relawan di sana untuk mengetahui usaha-usaha mereka guna menyukseskan pagelaran pemilihan lima tahunan ini.

***

Sumber: 

https://m.detik.com/news/berita/4380498/polisi-guru-tersangka-hoax-mengaku-pendukung-paslon-02

http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2018/12/04/kpu-masukkan-nama-orang-gila-ke-dpt-sesuai-dengan-aturan-mahfud-md-hak-politik-wni-dihormati

https://m.merdeka.com/amp/politik/penjelasan-ketua-kpu-soal-orang-gangguan-jiwa-punya-hak-pilih-di-pemilu-2019.html

http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2019/01/08/ketua-kpu-arief-budiman-disebut-adik-soe-hok-gie-goenawan-mohamad-bongkar-sosok-soe-hok-djin-asli