Kemudian Apa Setelah Demo, Jokowi Jatuh?

Bagaimana bisa di parlemen terjadi kebrengsekan? Karena di sana banyak kepentingan. Itu semua karena sistem pemilu dan sistem politik kita yang elitis, yang melahirkan oligarki.

Rabu, 14 Oktober 2020 | 07:52 WIB
0
298
Kemudian Apa Setelah Demo, Jokowi Jatuh?
Presiden Joko Widodo melihat ternak bebek (Foto: tagar.id)

Sudah demo? Sudah merusuh? Sudah merusak? Menyolong? Sudah merasa menjalankan hak demokrasi? Puas? Dan hasilnya? Undang-undang (UU) itu tetap akan disahkan. Dan akan dikirim ke Presiden, untuk ditandatangani, dibuatkan Peraturan Pemerintah (PP) serta dikuatkan Mahkamah Konstitusi.

Pemerintah kemudian (harus) menjalankan UU itu, diawasi oleh DPR. Wakil Rakyat akan bekerja kembali sebagaimana adanya dan adatnya. Tetap digaji negara dengan baik, meski sekarang masuk masa reses. Bobo manis. Pemerintah jalan terus. Dan rakyat yang miskin juga sebagian besar tetap miskin.

Ada juga sih, yang kecipratan saat demo kemarin. Lumayanlah, ada yang dapat untuk bayar DP rumah. Lumayan, setengah milyar. Daripada kamu, setengah tahun nganggur. Sementara, sebagaimana dikutip dari lagu Rhoma Irama, yang kaya makin kaya. Atau setidaknya tetap kaya. Kecuali yang terpaksa berurusan dengan Menteri Keuangan, harus bayar utang ke negara. Atau berurusan dengan hakim tipikor, yang tidak mau kompromi dengan koruptor. Sayangnya, yang terakhir itu tak ada.

Ini berdasar catatan sejarah, dari sejak Sukarno hingga Jokowi. Bahwa ada presiden yang tersungkur seperti Sukarno, Soeharto, BJ Habibie dan Gus Dur, masing-masing punya latar belakang yang bisa ditelusur. Beda-beda dan kenapa. Tak bisa disamaratakan.

Bukan karena semata demo sebagaimana Soeharto turun. Sukarno, Habibie dan Gus Dur, bukan type orang kayak Din, Gatot, Rizal Ramli atau SBY, yang nafsuan kayak boneka Suzan itu.

Banyak faktor. Karena Soeharto jatuh juga bukan semata karena demo Angkatan 98. Ada banyak faktor, termasuk turbulensi ekonomi dan politik internasional. Dan banyak faktor itu, yang belum ditemu. Atau mungkin malah tak ada, dan susah diketemukan oleh Gatot Nurmantyo and his gang, termasuk Rizieq Shihab, Din, Didu, Asfinawati, Haris Azhar, Reffly Harun, apalagi Cuma PA212, Anarko, dan para SJW (Social Joker Warrior) yang lebih sebagai pasukan tempik-sorak, cheerleaders, yang hanya menjadikan demo sebagai ‘aksi’ pekerjaan, bukan karena ideologi atau konsepsi perjuangan semurninya dan semutunya.

Termasuk dalam barisan ini, kelompok komentator yang oportunis dan munafik. Kalau nggak dapet, dan di pinggiran marah, tapi kalau dapat bagian, diterima juga. Palingan Cuma komentar di medsos, tetapi tetep hanya mikirin karirnya sendiri.

Makanya yang terjadi hanyalah ‘aksi kebencian’, ‘ketidaksenangan’, ‘selera’, atau malah cuma ‘iri-dengki’, ‘kecemburuan’. Dan itu semua tidak cukup memenuhi syarat sebuah pergantian rezim yang sudah tersistem.
Bahkan, dengan adanya demo, pemerintah malah menjadi lebih senang.

Jokowi setidaknya bisa melihat, apa masalah sebenarnya bagi bangsa dan negara ini. Sama persis dengan Gus Dur ketika mesti menyampaikan salam pembuka. Untuk apa? Gus Dur, yang sudah mengalami gangguan penglihatan, hanya ingin tahu seberapa banyak yang datang menghadiri tausyiahnya.

Bagaimana ada jaminan pemerintahan tetap jalan, dan demo justeru menjadi penghias demokrasi, yang lebih meyakinkan investor (dalam dan asing), yang menjadikan Indonesia tetap mereka butuhkan?

Di sini ada 270-an juta manusia, sebuah captive market yang menggiurkan. Jualan permen di Indonesai saja, bisa pasang iklan di banyak stasiun televisi, dan iklannya disutradarai oleh TKA. UU Cipta Kerja akan lebih menjamin keamanan investasi, dan investasilah yang mesti disebut pertama, sebelum adanya buruh atau tenaga kerja. Dan bukan hanya Indonesia yang butuh investasi, semua negara di dunia ini butuh investasi.

Misi dan visi Jokowi yang tak terungkap (bahkan cenderung disembunyikan banyak pihak), ialah bagaimana terbangunnya sistem dan mekanisme produktivitas, perlindungan buruh dari perasan ormas buruh yang lebih kejam daripada investor. Juga bagaimana bisa menekan birokrasi yang korup atas nama perijinan, dan sebagainya.

Buktinya beberapa waktu setelah RUU Cipta Kerja dinyatakan sah oleh DPR, IHSG kita naik. Karena investasi memang butuh janji kepastian. Sementara kalau ada Gubernur bodoh seperti di Kaltim, yang mengaku bukan orang sekolahan makanya tidak paham UUCK, bagaimana dia bisa menjadi gubernur?

Di luar itu, institusionalisasi konflik, meski belum sempurna, atau belum konsisten, mulai menemukan jalan. Lagian, dari potret Pemilu dan Pilpres 2014 dan 2019, lebih banyak rakyat Indonesia yang jenuh dengan partai politik, intrik dan konflik. Itu salah satu rahasia, kenapa Jokowi mempunyai posisi lebih baik, dibanding para petualang yang mencoba melawannya.

Baca Juga: Menguji Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi?

Lagian, sebenarnya, cara berfikir model Asfinawati ketua LBH, ajakan melawan (pembahasan RUU yang dianggap inkonstitusional) dengan cara inkonstitusional pula, adalah tindakan anarkis. Sama dengan alasan Reffly Harun. Padal, RUU dibahas di DPR pastilah konstitusional. Kalau prosesnya brengsek, tidak memenuhi norma, bukan lumbungnya yang dibakar.

Kalau terbakar, apa gantinya? Pikiran anarkis yang lahir dari faham anarkisme, tentu tidak mempercayai pemerintah dan negara. Tapi apa konsep penggantinya? Membentuk pemerintahan atau negara baru? Gimana caranya? Kaya orang bagi-bagi kue sehabis ngobok-obok comberan?

Bahwa inisiatif RUU Cipta Kerja dari Presiden Jokowi, memang iya. Tetapi di parlemenlah rancangan itu mesti dikorek, diblejeti, dibedah, dibantai, bahkan ditolak. Salah sasaran kalau rakyat menekan Presiden. Secara konstitusional, Presiden sudah menyerahkannya pada DPR. DPRlah mestinya yang ditekan. Betapapun brengseknya kualitas pembahasan itu, memang disitulah persoalannya.

Di situ pusat permainan dan tawar-menawar kepentingan. Di situ pula elitisme politik kita bermain, karena tak sedikit anggota parlemen yang sebenarnya ngrangkep pengusaha. Kalau Dahlan Iskan bilang Jokowi adalah presiden terkuat dibanding presiden lainnya, karena Dahlan Iskan sudah semakin tua, jadi makin terlihat tidak bijak pandangannya. Karena vested interest.

Karena DPR adalah lembaga perwakiln rakyat, mestinya kesempatan rakyat untuk membicarakannya. Bukannya malah demo dan merusak fasum, ini jadi tidak nyambung logikanya. Jika pun itu terjadi, pasti karena ada tukang kompor yang mau memainkan kesempatan sebagai penumpang gelap. Omnibus Law RUU Cipta Kerja, menurut seorang senior, adalah sebuah bis yang bagus konstruksi dan aksesorisnya. Tetapi, katanya, di dalamnya ada banyak copet, maling, penumpang yang tak mau bayar, dan sebagainya.

Jika dibilang bahwa DPR hanya kepanjangan tangan Presiden, darimana teorinya? Jangan dibiaskan faktanya. Saya sih tidak percaya analisis Dahlan Iskan yang tidak valid karena tendensius itu. Presiden dikhianati DPR, kok dibilang presiden terkuat.

Bagaimana bisa di parlemen terjadi kebrengsekan? Karena di sana banyak kepentingan. Itu semua karena sistem pemilu dan sistem politik kita yang elitis, yang melahirkan oligarki. Tapi kenapa juga mereka bisa duduk di sana? Bagaimana rakyat memilihnya? Kayak lingkaran setan bukan? Yang bukan setan, pasti mengiyakan. Tidak sederhana masalahnya.

Memangnya sebagian besar rakyat tidak tahu, kalau Jokowi jatuh akan dengan mudah dapat gantinya? Bukan karena tidak ada gantinya, tetapi bagaimana caranya, mekanismenya? Rembugan sambil senyam-senyum bagi-bagi kekuasaan? Gatot dengan Din pun pasti akan eker-ekeran, atau bagi-bagi jatah preman setidaknya.

Terus siapa yang jadi Presidennya? Asfinawati? Haris Azhar? Dandy Laksono? Dahlan Iskan? Tommy Soeharto? Rizieq Shihab? Najwa Shihab? Dan itu mudah? Tidaklahyaw!

Tetap berpikir proporsional, marilah. Jangan mudah terhasut oleh sesiapa yang mengaku superhero baru. |

@sunardianwirodono

***