Akhir Tragis Karir Sang Profesor

Malam ini, Nurdin Abdullah mulai menghuni ruang tahanan KPK di kompleks polisi militer di kawasan Guntur, Jakarta Pusat. Dan itulah akhir karir sang profesor.

Minggu, 28 Februari 2021 | 07:27 WIB
0
1571
Akhir Tragis Karir Sang Profesor
Nurdin Abdullah (Foto: Kompas.com)

Dengan wajah setengah ditekuk, Profesor Nurdin Abdullah menatap ke arah dinding berpanel kayu ruang konferensi pers KPK, tengah malam tadi. Bersama ajudan dan seorang bawahannya, ia mengenakan rompi oranye bertuliskan Tahanan KPK.

Dan kita yang melihat rangkaian foto-foto sang gubernur semenjak kemarin pagi -- saat ia dijemput di Makassar, berjalan di bandara, tiba di gedung KPK Jakarta – rasanya sulit membayangkan apa gerangan yang berkecamuk di benak Nurdin sepanjang dua hari ini.

Kaget? Malu? Tak menyangka akan terjadi pada dirinya? Bisa iya, dan bisa juga tidak sama sekali. Bisa jadi, sang profesor mengira ini hanya soal giliran. Entahlah.

Melihat NA menekuri dinding di saat Ketua KPK menyampaikan pengumuman penetapan statusnya sebagai tersangka kasus korupsi tengah malam tadi, saya jadi mengenang pertemuan dengannya beberapa tahun silam, di sebuah gedung di Jakarta, saat ia masih jadi Bupati Bantaeng. Saat itu, ia sedang tenar-tenarnya sebagai bupati yang mengubah wajah Bantaeng lebih maju dan modern, dengan sederet puja dan puji.

Untuk ketenarannya itu, namanya moncer di perbincangan sebagai kandidat kuat Gubernur Sulawesi Selatan. Dan saya datang dengan bekal rasa kagum yang penuh.

Kami makan siang di meja panjang, bersama kawan Sapri Pamulu, Boge Rahman Farisi, juga Profesor Ryaas Rasyid. Dan perbincangan mengalir lepas. Kami sempat bergunjing tentang seorang bupati lain di Sulsel yang saya pun kenal baik. Nurdin bercerita, sang bupati bertanya kepadanya: bagaimana menghitung fee proyek dari seorang kontraktor?

“Saya juga bingung dengan R ini. Saya tidak pernah menghitung urusan begini-begini, apalagi sampai mematok fee sekian persen sebelum proyek dikerjakan.”

Sebelum dikerjakan? Bagaimana dengan sesudahnya? Lalu sebuah pernyataan dari sang profesor membentuk semacam keraguan di benak saya. Tapi tak perlu saya ungkap di sini.

Yang jelas, sepulang dari santap siang bersama Nurdin itu, saya merasakan kekaguman yang cuil di benak. Sedikit tapi mengganggu. Itu pula yang membuat saya tidak pernah menyatakan dukungan terbuka kepada sang profesor pada Pemilihan Gubernur Sulsel digelar tiga tahun lalu, beberapa bulan seusai obrolan di meja makan itu. Meski, suara saya toh tidak punya arti apa-apa hehe.

Begitulah. Tengah malam tadi, Nurdin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ia yang mengenakan rompi oranye dan tangan terborgol dijejer bertiga dengan membelakangi wartawan. Di meja panjang di belakangnya, sekoper uang yang diambil dari Operasi Tangkap Tangan di Kota Makassar turut dipamerkan oleh KPK.

Dengan gamblang, Ketua KPK Firli Bahuri menguraikan keterlibatannya yang sulit untuk dibantah. "Pada akhir tahun 2020, NA menerima uang sebesar Rp200 juta. Pertengahan Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 1 miliar. Awal Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar," kata Firli.

Duit-duit itu mengalir sebagai fee proyek infrastruktur kawasan wisata Pantai Bira di Kabupaten Bulukumba. Untuk proyek ini, kontraktor Agung Sucipto mendapat ruang yang begitu lapang berkat dukungan gubernur.

Hasil penyelidikan KPK menyebutkan, pada awal Februari lalu, Nurdin sendiri yang bertemu dengan Agung Sucipto bersama Edy Rahmat, Sekdis Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi Sulsel dan berbicara tentang duit-duit itu.

"NA menyampaikan pada ER bahwa kelanjutan proyek Wisata Bira akan kembali dikerjakan oleh AS. NA memerintahkan ER untuk segera mempercepat pembuatan dokumen DED (Detail Engineering Design) yang akan dilelang pada APBD TA 2022," kata Firli.

Lalu, pada akhir Februari 2021, kata Firli, Nurdin menyampaikan kepada Edy Rahmat agar “operasional kegiatan” Nurdin dibantu oleh Agung Sucipto.

Begitu terang benderang.

Malam ini, Nurdin Abdullah mulai menghuni ruang tahanan KPK di kompleks polisi militer di kawasan Guntur, Jakarta Pusat. Dan itulah akhir karir sang profesor. Nama baik yang terukir bertahun-tahun lamanya, hilang tersapu angin hanya dalam sekejap.

Begitulah kehidupan.

***