Korupsi Asabri: Duplik Heru Hidayat yang Tak Disorot Media

Putusan hakim dalam perkara kasus suap yang menyeret Ketua MK Akil Mochtar tersebut sudah dibatalkan di tingkat kasasi. Maka jelas, dalam kasus ini JPU sangat terkesan serampangan.

Kamis, 23 Desember 2021 | 17:47 WIB
0
156
Korupsi Asabri: Duplik Heru Hidayat yang Tak Disorot Media
ASABRI (Foto: katadata.co.id)

Persidangan kasus korupsi PT Asabri yang masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta akan memasuki garis finish. Ketika itu majelis hakim akan menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera.

Kasus Asabri: Duplik Heru Hidayat yang Tak Disorot Media

Dalam dupliknya yang dibacakan pada 20 Desember 2021, Heru menyoroti, salah satunya, tentang nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya.

Menurut Heru Hidayat, dalam dupliknya, Jaksa Penuntut Umum hanya mengulang-ulang kerugian negara senilai Rp 22,788 triliun atau tepatnya  Rp 22.788.566.482.083 berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Heru sendiri, menurut dakwaan JPU, dituduh telah menerima aliran dana sebesar Rp 12 triliun. Sebuah angka yang juga tidak kalah fantastiknya. 

Nilai kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun inilah yang menurut Heru Hidayat digaung-gaungkan oleh pihak kejaksaan. Bahkan sejak sebelum BPK mulai melakukan audit.

Dalam dupliknya juga Heru Hidayat kembali memaparkan bila selama periode 2012-2019 Asabri dan reksadana Asabri menerima Rp 10 triliun dari penjualan saham kepada Piter Rasiman. Bahkan, ditegaskan bila sampai saat ini pun PT Asabri masih memiliki saham yang dibeli dari Piter Rasiman.

Menariknya, dalam duplik yang dibacakan oleh Heru tersebut disebutkan bahwa jika nilai saham dan unit penyertaan PT Asabri ditotal, per 20 Desember, perusahaan asuransi plat merah tersebut justru mendapatkan keuntungan dari proses restrukturisasi. 

Dalam pledoi itu Heru Hidayat menyindir pihak JPU. Katanya, apabila cara menghitung keuangan seperti yang dilakukan oleh pihak JPU, maka semua perusahaan di seluruh dunia akan dicatat telah mengalami kerugian.

Karenanya, berdasarkan metode penghitungan keuangan ala JPU tersebut, Heru Hidayat mengatakan bahwa jumlah kerugian negara dalam kasus ini menjadi fantastis karena berdasarkan perhitungan yang menyesatkan.

Korupsi Asabri: Berapa Kerugian Negara yang Sebenarnya

Duplik yang dibacakan Heru Hidayat ini sangat menarik. Pasalnya, Heru mengajak publik untuk memutar otaknya sedikit lebih kencang dalam artian tidak hanya sekadar menerima informasi yang disuguhkan oleh media-media, baik itu media mainstream maupun media sosial.

Karena, jika selama periode 2012 sampai 2019 PT Asabri hanya menggelontorkan uangnya hingga mencapai Rp 22,7888 triliun yang pada ujungnya mengakibatkan kerugian, mengapa BPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melakukan tindakan sesuai kewenangannya. Begitu juga dengan Kementerian BUMN. Kenapa Kementerian BUMN juga mendiamkan saja dan baru dilaporkan pada 17 Oktober 2019 oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. 

Lebih lagi, petinggi-petinggi PT Asabri yang sebagian merupakan pensiunan perwira tinggi TNI-Polri pastilah tidak akan membiarkan bila perusahaan yang dikelolanya mengalami kerugian yang jumlahnya begitu fantastis.

Karena adanya kejanggalan-kejanggalan dalam aliran keuangan PT Asabri tersebut, dalam pledoinya Heru Hidayat mengatakan bahwa hasil penghitungan dengan metode yang digunakan BPK tidak konsisten.

Sementara itu, kerugian negara yang dituduhkan JPU berdasarkan LHP BPK RI tanggal 17 Mei 2021 masih bersifat potensial/unrealized sehingga tidak nyata dan pasti jumlahnya, serta tidak dapat membuktikan adanya kerugian negara dalam perkara ini.

Menariknya, tidak seperti dari sisi hukum yang banyak dikomentari sejumlah pakar hukum dan aktivis anti rasuah, sampai hari ini belum ada satu pun media yang mengangkat persoalan-persoalan dalam kasus ini dari sisi keuangan, khususnya perdagangan saham.

JPU Anggap Publik Malas Berpikir?

Jika membaca replik yang dibacakan JPU, di situ JPU mengambil kasus putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Nomor: 17/ PID.SUS/TPK/PN.JKT.PST, tanggal 23 Juni 2014 atas nama Susi Tur Andayani terkait perkara tindak pidana korupsi (suap) pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi sebagai yurisprudensi hakim memutus perkara di luar pasal yang didakwakan.

Padahal, putusan hakim dalam perkara kasus suap yang menyeret Ketua MK Akil Mochtar tersebut sudah dibatalkan di tingkat kasasi. Maka jelas, dalam kasus ini JPU sangat terkesan serampangan.

Keseramangan JPU sebenarnya sudah terlihat dengan jelas karena surat tuntutan terhadap Heru Hidayat berbeda atau menyimpang dari surat dakwaan. Saat mendakwa Heru selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera pada 16 Agustus 2021, JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dikenal dengan UU Tipikor.

***