Kembali kepada Perpres tentang miras hal itu murni keputusan negara bukan agama. Belajarlah kepada Malaysia yang haram dilabeli, kalau dilanggar dihukum berat.
Jokowi adalah presiden yang tak pernah sunyi dari tekanan, fitnah dan caci maki. Minggu ini dia dituduh membuat kerumunan masyarakat di NTT, dan di laporkan ke Bareskrim, saat ini dan terus ramai di medsos tentang Perpres miras di 4 wilayah.
Ada dari ketum Muhamaddiyah, ada yang atas nama guru, ada ketum NU, gak tau itu hoaks atau asli, tapi yang pasti semua bereaksi seolah kalau ada legalitas industri miras Indonesia jadi turun kelas dan yang muslim jadi murtad, atau apalah yang membuat kalap.
Pertama yang harus disadari bahwa Indonesia bukan negara Islam, pabrik miras pertama dan besar secara resmi adalah pabrik bir zaman kolonial yang dibangun tahun 1929 di Surabaya, dan kemudian menjadi perusahaan nasional tahun 1960.
Itulah cikal bakal pabrik bir yang sekarang ada 3 di Indonesia, Multi Bintang, Delta Jakarta dan Bali Hai, ketiganya punya kapasitas terpasang 2,5 juta hekto liter, atau 250 jt liter per tahun.
Itu baru pabrik bir, belum lagi pengolahan miras rakyat di daerah. Cap Tikus di Manado, Cap Kambing Putih di Sumut, dll. Jadi sejatinya sudah puluhan tahun produksi miras legal dan berdampingan dengan kita, semua fine-fine saja. Kalau soal mabuk mah biasa tergantung jenisnya, mabok agama, mabok kawin, mabok kelonan di Puncak, mabok nidurin santriwati, banyaklah.
Lebih merusak mana effeknya kepada bangsa antara orang mabuk di Mangga Dua sama Demo FPI yang berjilid di Monas.
Kalau soal alasan merusak, apa yang dirusak, lha buktinya saham Pemda DKI yang katanya mau dijual malah ditambah. 250 juta liter bir per tahun dan sudah puluhan tahun gak ada yang komplain, semua oke saja, dan pabriknya di Jakarta pula.
Ini karena kebetulan Jokowi yang menandatangi jadi seolah Jokowi salah dan tak islami. Digoreng lagi, dimaki-aki lagi, di fitnah lagi.
Nanti pasti ada yang nyocot, negara yang mayoritas Islam kok industri miras dibesarkan. Lho kita jangan lupa, bahwa industri korupsi kita juga luar biasa, apa ini juga sudah dikaji negara Islam terbesar kok korupsinya juga besar dan lateral.
Walau tak dilegalkan tapi produksinya besar dan lancar, kalau tidak mana bisa DPR jadi ranking 1 untuk urusan produk korupsi. Pabrik koruptor ini dampaknya lebih dahsyat dari orang mabuk karena minum miras. Dan pasti Tuhan tak suka itu.
Dilarangnya meminum miras di Islam karena sejarahnya orang shalat bisa gak sadarkan diri. Lebih munafik mana yang setiap hari shalat tapi dari mulai kain sarung, kopiah, baju taqwa, tasbih, nyemplungin koin ke kotak amal dari uang korupsi.
Emang Tuhan mau di kelabui. Apa manusia jenis ini lebih bisa dilegalkan dari pada pabrik miras. Kita paling suka melabeli haram halal, kita ini ibarat penulis buku kesetiaan tapi kita sendiri suka selingkuhan.
Kita kadang suka bicara tak proporsional, bicara negara ditarik ke agama, bicara presiden dibandingkan Rizieq, terus presidennya minta ditahan. Arjuna kok dipadankan dengan Durna.
Apa secara kebetulan kalau Indonesia yang dulu bernama Nusantara ini dihuni 713 suku dengan ragam budaya. Apa ini harus di seragamkan dengan hukum Islam, kok norak jadinya.
Pilihan mau minum miras atau tidak itu murni keputusan pribadi. Kalau memang patuh terhadap agama kan batasannya jelas, kalau haram jangan dilakukan, tapi kan gak bisa negara ngurusi orang perorang.
Kembali kepada Perpres tentang miras hal itu murni keputusan negara bukan agama. Belajarlah kepada Malaysia yang haram dilabeli, kalau dilanggar dihukum berat. Mereka punya kompleks judi di Genting, orang Islam Malaysia tidak boleh masuk, jadi jelas kemana arahnya. Kita ini tidak, banyak latahnya gak punya akar berfikir yang baik, agar bisa diliat yang dibahas apanya.
Jadi sebaiknya yang tidak puas dgn keputusan itu datangi saja Presiden, tidak usah nyerocos di medsos.
Tapi come with the data, bukan asal bicara dari sudut agama di mana ajarannya melarang mengkonsumsi benda haram itu. Terus negara yang beragam ini dipaksa seragam.
Malu aku.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews