Menyoal Pajak Transaksi Digital Luar Negeri

Jika semua celah potensi hilangnya penerimaan pajak telah diminimalisir, maka sasaran meningkatkan penerimaan pajak adalah niscaya.

Kamis, 6 Agustus 2020 | 19:07 WIB
0
376
Menyoal Pajak Transaksi Digital Luar Negeri
Ilustrasi pajak digital (Foto: alinea.id)

Pandemi Covid-19 menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dan penurunan penerimaan negara, sehingga pemerintah Indonesia menempuh kebijakan “dua sisi mata uang” dalam kebijakan fiskal. Pemerintah memberikan insentif perpajakan bagi pengusaha agar mampu bertahan melewati krisis ekonomi akibat pandemi. Di sisi lain pemerintah memperluas basis pajak dengan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi digital luar negeri yang dikonsumsi di Indonesia.  

Pemerintah membutuhkan dana yang tak sedikit untuk penanganan  kesehatan masyarakat dan pemulihan ekonomi termasuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak pandemi. Keluarnya regulasi berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2020 yang disahkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2020, untuk mengatur pemungutan PPN atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Juklak atas UU Nomor 2 tahun 2020 tersebut  dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020, antara lain memuat: penunjukkan pelaku usaha sebagai Pemungut PPN PMSE, tatacara pemungutan dan pelaporan PPN PMSE, dan kriteria penetapan Pemungut PMSE.

Selanjutnya mulai tanggal 1 Juli 2020 bagi pelaku usaha yang telah ditetapkan sebagai Pemungut PPN PMSE dan melakukan transaksi Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui perdagangan sistem elektronik, wajib memungut PPN sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak. Pengenaan PPN atas transaksi digital luar negeri tersebut sebenarnya bukan sebuah objek pajak baru, hanya selama ini ada celah, belum tersentuh aturan.

Karena UU PPN  Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU PPN Nomor 42 tahun 2009 belum mengatur secara spesifik pemungutan pajak atas transaksi digital luar negeri. Sehingga pembelian buku elektronik dari Amazon ataupun streaming film dari Netflix selama ini belum dipungut PPN.

Sementara atas transaksi digital BKP Tidak Berwujud atau JKP kepada konsumen di dalam Daerah Pabean yang dilakukan pelaku usaha dalam negeri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan dipungut PPN PMSE. PKP akan memungut PPN PMSE dari konsumen saat terjadinya penjualan. Karena prinsip PPN adalah pajak atas konsumsi, maka semua konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia akan dikenakan PPN.

Kewajiban seorang PKP adalah membuat Faktur Pajak saat terjadi penjualan BKP atau JKP. Setelah itu memungut PPN yang terutang sebesar 10% dari harga jual untuk  disetorkan ke kas negara dan kemudian PPN yang dipungut tersebut dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Dalam hal ini PKP yang notabene merupakan pelaku usaha dalam negeri wajib memungut PPN saat melakukan penjualan.

Nah, dalam PMK Nomor 48/PMK.03/2020 mulai diatur bahwa Pemungut PPN PMSE dapat dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri. Sehingga pelaku usaha luar negeri yang melakukan transaksi BKP Tidak Berwujud atau JKP secara digital ke Indonesia harus memungut PPN PMSE  dan menyetorkan ke pemerintah Indonesia. Contoh BKP Tidak Berwujud atau JKP yang dipungut PPN PMSE yaitu: buku elektronik, piranti lunak computer, data elektronik, koin virtual, konten audio, streaming film, web hosting, video conference, dll.

Pelaku usaha PMSE yang dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE adalah: Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE Luar Negeri, dan Penyelenggara PMSE Dalam Negeri. Penyelenggara PMSE adalah penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. Di Indonesia contohnya  Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan lain-lainnya.

Batasan kriteria tertentu untuk ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE dijabarkan di Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ./2020 yaitu: nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp. 600 juta dalam satu tahun, atau Rp 50 juta dalam satu bulan dan/atau jumlah pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam satu tahun atau 1.000 dalam satu bulan.

Optimalkan Penerimaan

Sasaran yang ingin dicapai dengan terbitnya regulasi pengenaan PPN atas transaksi digital luar negeri tersebut adalah: Pertama memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Tak dapat dipungkiri penetrasi internet sebagai produk digital yang berkembang pesat di dunia usaha dalam beberapa dasawarsa bahkan telah menggeser pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa secara fisik menjadi tinggal “klik” saja.

Berdasarkan data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) transaksi perdagangan digital di seluruh dunia terus mengalami peningkatan dari tahun 2014 sebesar  US$ 1.336 milyar hingga mencapai US$ 4.135 milyar di tahun 2020.  Di wilayah Asia Pasifik termasuk di Indonesia, transaksi digital lintas negara mengalami peningkatan secara persentase yang cukup pesat. Dari 12% pada tahun 2014 menjadi 31% pada tahun 2020.

Indonesia harus menyesuaikan diri dengan perubahan model transaksi secara global menuju digital, agar tak tertinggal. Sehingga kriteria Pemungut PPN perlu diperluas, tidak hanya pelaku usaha dalam negeri saja, tetapi juga pelaku usaha luar negeri.

Kedua, menciptakan kesetaraan usaha antara pelaku usaha luar negeri dan dalam negeri. Jika merujuk pada UU PPN hanya atas transaksi digital yang dillakukan pelaku usaha dalam negeri sebagai PKP saja yang bisa dilakukan pemungutan PPN PMSE, karena PKP memang wajib memungut PPN atas transaksi yang dilakukannya. Contoh Rahmat merupakan seorang PKP menjual buku elektronik lewat internet kepada Ahmad sebesar Rp. 1 juta di dalam daerah pabean, maka Rahmat akan memungut PPN PMSE sebesar 10%  kepada Ahmad. Atas transaksi yang dilakukan tersebut Ahmad harus membayar tagihan sebesar Rp. 1.100.000,-.

Lain halnya jika penjualan buku elektronik lewat internet tersebut dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri. Sebut saja Mr. Andrew sebagai warga negara Inggris melakukan penjualan buku elektronik lewat internet kepada Ahmad di Indonesia sebesar Rp. 1 juta, maka pembayaran yang akan dilakukan oleh Ahmad adalah sebesar Rp. 1 juta, karena Mr. Andrew bukan sebagai Pemungut PPN PMSE. Dalam hal ini tidak adanya kesetaraan usaha antara pelaku usaha luar negeri dengan dalam negeri.  

Secara naluriah konsumen akan lebih memilih membeli BKP Tidak Berwujud atau JKP yang harganya lebih murah. Di sini potensi hilangnya pajak dapat terjadi. Karena itu pemerintah meminimalisir celah hilangnya potensi penerimaan pajak, dengan menciptakan kesetaraan usaha antara pelaku usaha luar negeri dan dalam negeri.

Kemungkinan hilangnya potensi pajak transaksi digital lintas negara telah dibahas di pertemuan negara-negara yang bergabung dalam G20. Pertama, jika transaksi digital BKP Tidak Berwujud dan JKP lintas batas negara dilakukan dengan konsumen pribadi (Bussiness to Consumer), dan kedua transaksi digital lintas batas negara tersebut dilakukan dengan kecenderungan merendahkan nilai barang, sehingga harga jual yang dllaporkan rendah.  

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: pertama menjalin sinergi dengan direktorat lain yang terkait seperti: Kementerian Perdagangan (Kemindag) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) terkait arus BKP Tidak Berwujud dan JKP di daerah pabean. Sementara dengan Bank Indonesia kerjasama dapat dilakukan untuk melihat arus uang atas transaksi digital BKP Tidak Berwujud dan JKP yang dijual kepada konsumen Indonesia.

Kedua memaksimalkan peran Penyelenggara PMSE dalam negeri dan luar negeri yang memfasilitasi transaksi digital dalam melakukan pemungutan PPN PMSE jika dia telah ditetapkan sebagai Pemungut. Ditahap pertama Ditjen Pajak telah menunjuk enam pelaku usaha luar negeri sebagai Pemungut PPN PMSE yaitu: Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International B.V. dan Spotify AB.

Sementara itu sanksi tetap harus ditegakkan terhadap pelaku usaha luar negeri yang tidak mematuhi ketentuan yang berlaku mulai dari penurunan bandwidth, pemblokiran laman, hingga sanksi yang lebih tegas lagi. Jika semua celah potensi hilangnya penerimaan pajak telah diminimalisir, maka sasaran meningkatkan penerimaan pajak adalah niscaya.   

Disclaimer: Artikel telah dimuat sebagai Opini di Kontan Rabu  (05 Agustus 2020)

***