Korupsi Asabri: Tuntut Hukuman Mati, JPU Telikung Jaksa Agung

Minggu, 19 Desember 2021 | 12:07 WIB
0
213
Korupsi Asabri: Tuntut Hukuman Mati, JPU Telikung Jaksa Agung
Ilustrasi (Sumber: DW.com)

Tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam perkara korupsi dan pencucian uang pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri terus menjadi sorotan publik dan menarik untuk disimak. Lebih menarik lagi karena tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ternyata bertentangan dengan pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang disampaikan beberapa hari sebelumnya.

Korupsi Asabri: Tuntutan Beda dari Dakwaan
Dalam pledoinya yang dibacakan oleh penasehat hukumnya pada 13 Desember 2021, Heru Hidayat selaku Terdakwa Korupsi Asabri menilai hukuman mati yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap dirinya zalim.

"Jelas tuntutan mati yang dibacakan jaksa minggu lalu adalah suatu bentuk 'abuse of power' yang sangat zalim. Kewenangan menuntut yang dimiliki oleh jaksa malah digunakan dengan menyimpang dari koridor hukum," kata penasihat hukum Heru, Kresna Hutauruk saat membacakan nota pembelaan (pledoi) untuk kliennya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

"Saya sungguh tidak mengerti, apa yang menjadi alasan dari jaksa sampai tega melakukan kezaliman seperti itu. Apakah karena adanya ambisi pribadi. Apakah hanya sekadar mencari ketenaran. Apakah ada dendam kepada saya atau pihak tertentu. Apakah ingin memamerkan kekuasaannya. Atau apakah ingin memberikan tekanan kepada pihak-pihak tertentu," lanjut Kresna.

Dalam dakwaan terhadap Heru, JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal ini berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Sebagaimana yang diberitakan sejumlah media, Heru Hidayat merupakan satu dari delapan terdakwa dalam kasus korupsi PT Asabri. Kedelapannya didakwa bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara senilai Rp 22,788 triliun. 

Dakwaan itu disampaikan jaksa dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 16 Agustus 2021.

Namun saat menyampaikan tuntutannya pada 6 Desember 2021, JPU menjatuhkan pasal yang berbeda, yaitu Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Pasal yang dituntutkan kepada Heru Hidayat ini tidak disertakan JPU dalam dakwaannya.

Dengan demikian, tuntutan JPU dalam kasus korupsi PT Asabri ini menyimpang dari dakwaan. Atau, seperti dalam artikel "Korupsi Asabri: 3 Keserampangan dalam Tuntutan Hukuman Mati terhadap Heru Hidayat" tuntutan yang berbeda dari dakwaan tersebut bahkan bisa dikatakan serampangan.

Tuntutan yang menyimpang dari dakwaan inilah yang dimaksud oleh Heru Hidayat sebagai abuse of power yang dirasakan menzalimi terdakwa. Maka sangat manusiawi bila terdakwa kasus korupsi PT Asabri ini mempertanyaan motif dari JPU.

Pernyataan Jaksa Agung Terkait Hukuman Mati
Pada 28 Oktober 2021, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin diberitakan tengah mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati dalam penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi. Kajian tersebut merujuk pada perkara-perkara korupsi besar yang ditangani Kejagung, seperti perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar. 

"Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud. Tentu penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia (HAM)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya sebagaimana yang diberitakan sejumlah media.

Dua hari setelah pembacaan pledoi oleh terdakwa Heru Hidayat dalam kasus korupsi, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengatakan, kejaksaan bisa melakukan terobosan hukuman mati kepada para terdakwa tindak pidana korupsi. Menurutnya, tuntutan hukuman kepada terdakwa korupsi tidak hanya berorientasi sebagai bentuk penghukuman semata. Selain itu, kejaksaan berkomitmen mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh koruptor.

"Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi," kata Burhanuddin di acara virtual bertajuk "Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern", pada 15 Desember 2021 seperti yang dikutip Kompas.com

Namun, pada 18 November 2021 atau delapan hari sebelum JPU menjatuhkan tuntutan hukuman mati terhadap Heru dalam kasus korupsi PT Asabri, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan adanya sejumlah masalah yang menurutnya patut dicermati dan diwaspadai pada penerapan sanksi pidana hukuman mati bagi koruptor.

Pertama, menurut Jaksa Agung, pidana mati hanya dapat diterapkan pada Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, kata dia, jenis dan modus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang sangat banyak dan tentunya merugikan keuangan negara.

Masalah kedua dalam tuntutan hukuman mati yang dicermati adalah tentang mengenai pembatasan syarat-syarat khusus dalam keadaan tertentu, sehingga ancaman pidana mati baru bisa dikenakan kepada koruptor tanpa melihat berapa banyak kerugian negara sebagai parameter utama. 

Karena, menurut Jaksa Agung, seharusnya dalam penerapan ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bisa menggunakan parameter berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan pelaku.

Kemudian, ditegaskan oleh Jaksa Agung, tidak adanya parameter tersebut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebabkan banyak koruptor tidak bisa dikenakan hukuman mati, meskipun telah merugikan miliaran hingga triliun rupiah uang rakyat.

"Jadi, tidak bisa dikenakan pidana mati sepanjang tidak ada syarat-syarat khusus dalam keadaan tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Burhanuddin sebagaimana dikutip Tempo.co.

Ditambahkan lagi oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, penafsiran "frasa dalam keadaan tertentu" pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga perlu dicermati lebih jauh. Sebab, menurutnya, hal tersebut masih belum jelas. Ujung-ujungnya, masih menurut Burhanuddin, frasa dalam keadaan tertentu bisa menimbulkan multitafsir dengan melibatkan banyak ahli. Keadaan itu justru bisa disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.

Hukum Mati Terdakwa Kasus Asabri: JPU Telikung Jaksa Agung
Jika merujuk pada pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin di atas, khususnya "Jadi, tidak bisa dikenakan pidana mati sepanjang tidak ada syarat-syarat khusus dalam keadaan tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,"maka sudah sangat jelas dan benderang bahwa JPU tidak bisa serampangan dalam menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat.

Alasannya, bukan saja karena penafsiran "frasa dalam keadaan tertentu" pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak jelas. Sebab, penjelasan dari frase Dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang dituntutkan JPU tercantum frasa "keadaan tertentu". Penjelasan dari "keadaan tertentu" terdapat pada UU nomor 20 tahun 2001 yang merevisi UU Nomor 31 Tahun 1999.

Menurut penjelasannya, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Tetapi karena uang negara yang disangkakan dikorupsi oleh terdakwa Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri bukan bukan dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, dana bencana alam nasional, dana penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, atau dana bagi penanggulangan krisis ekonomi dan moneter sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan UU nomor 20 tahun 2001 

Sementara, perbuatan Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri pun tidak disebut “pengulangan tindak pidana korupsi”. Sebab, suatu perbuatan dinyatakan sebagai pengulangan tindak pidana jika seseorang melakukan tindak pidana baru, setelah sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau residivis.

Dengan demikian. tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi TT Asabri sangat tidak tepat. Pasalnya tuntutan tersebut bukan saja melenceng dari substansi Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, tetapi juga karena JPU gagal membuktikan bila dana yang dikorupsi Heru Hidayat berasal dari dana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. 

Jika tuntutan JPU dihadap-hadapkan dengan pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin, timbul pertanyaan seperti yang disampaikan oleh Heru Hidayat, apakah karena adanya ambisi pribadi, apakah hanya sekadar mencari ketenaran. apakah ada dendam kepada saya atau pihak tertentu. apakah ingin memamerkan kekuasaannya. atau apakah ingin memberikan tekanan kepada pihak-pihak tertentu

Namun satu pertanyaan besarnya adalah, kenapa dalam kasus korupsi PT Asabri yang mendapat sorotan besar publik karena menyangkut kerugian negara senilai Rp 22,7 triliun ini, JPU yang pastinya merupakan jaksa-jaksa terpilih melakukan blunder fatal dalam tuntutannya?