Momentum

Bagi generasi milenial yang melek internet dalam kesehariannya, penggunaan teknologi informasi yang user friendly adalah sebuah efisiensi baik dari segi biaya maupun waktu.

Senin, 21 Desember 2020 | 23:21 WIB
0
415
Momentum
Pajak digital (Foto: tempo.co)

Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita merupakan hal kecil dibanding dengan apa yang ada di dalam kita (Oliver Wendell Holmes)

Siapa mengira jika Ingvar Kamprad sang pendiri toko perabotan rumah tangga IKEA adalah seorang penderita disleksia. IKEA terkenal dengan rancangannya yang modern dan kadang terbilang unik itu, kini berhasil merebut hati konsumennya di seluruh dunia. Perusahaan funitur dari negara di ujung utara Eropa itu telah menggurita dan melebarkan kakinya ke berbagai belahan dunia. Pada tahun 2019 lalu terdapat 433 toko di 53 negara dan berhasil membukukan total penjualan 41,3 miliar Euro. Toko IKEA Alam Sutera, di Tangerang, Banten yang berdiri pada tahun 2014 sendiri merupakan toko ke-364.

IKEA diambil dari nama pendirinya dan tempat dia dilahirkan, yaitu Ingvar Kamprad di Elmtaryd, Agunnaryd, selatan Swedia. Elmtaryd merupakan sebuah ladang di perkampungan kecil di Agunnaryd, tempat Kamprad dilahirkan pada tahun 1926. Sejak berumur lima tahun Kamprad telah keliling kampung halamannya menjual korek api, dan menginjak usia tujuh tahun dia mulai berjualan keluar kampung dengan mengendarai sepedanya.

Kamprad menemukan fakta bahwa dengan membeli korek api dalam jumlah besar di Stockholm dan menjualnya secara eceran dengan harga rendah, dia masih tetap mendapatkan keuntungan. Kemudian dia memulai perniagaan lainnya yaitu menjual benih bunga, kartu ucapan, dekorasi untuk perayaan natal, dan pensil serta pulpen. Perabotan mulai masuk dalam daftar penjualan IKEA pada tahun 1947 dan IKEA mulai merancang sendiri pada 1955.

Awalnya produk-produk IKEA dinamai berdasarkan nomor. Namun ini menjadi masalah tersendiri bagi Kamprad yang mengidap disleksia. Akhirnya dia menemukan sistem penamaan produknya dengan cara yang unik. Sofa-sofa buatan IKEA diberi nama dari nama-nama kota kecil di Swedia, seperti: Soderhamn. Atau furnitur untuk luar ruangan diambil dari nama pulau di Swedia. Sistem penamaan yang unik itu dipakai secara global hingga saat ini.

Inovasi terbesar yang berhasil dilakukan Kamprad ketika dia menyadari bahwa sebagian besar biaya perabotan berada pada perakitan. Memasang kaki meja tidak hanya butuh biaya, tapi juga akan membengkakkan biaya pengiriman. Kamprad menemukan solusi dengan cara menjual perabotan yang belum dirakit, mengirimnya dalam biaya murah dalam kardus tipis, dan berhasil mengalahkan pesaingnya dengan harga murah.

Fokus Pada Potensi

Pada tahun 1950-an Kamprad mulai menemui hambatan. Para produsen yang selama ini setia pada IKEA memboikotnya. Mereka marah karena produk IKEA dianggap merusak pasar, dan mereka akhirnyA berhenti memenuhi pesanan. Itu sebuah bencana bagi IKEA. Kamprad memutar otak, dan menemukan solusi di selatan yaitu di seberang Laut Baltik dari Swedia terdapat negara Polandia. Di Polandia terdapat  tenaga kerja yang masih murah dan bahan baku (kayu) yang berlimpah. Kamprad yang memiliki pemikiran yang terbuka,  ingin melakukan alih daya. Hanya sedikit perusahaan yang berani melakukan alih daya pada tahun 1960-an.

Kamprad mulai memusatkan perhatiannya untuk membangun koneksi dengan Polandia. Tidak mudah memang. Negara Polandia pada tahun 1960-an dalam kondisi berantakan. Selain itu, Polandia juga sebuah negara komunis. Polandia bahkan tak memiliki infrastruktur, mesin, pekerja terlatih, atau perlindungan hukum sepertii di Negara Barat. Tapi Kamprad tidak menyerah begitu saja. Dia kemudian berhasil.

Andre Aslurn, seorang peneliti di Peterson Institute for International Economic menyatakan tentang Kamprad,”Dia seorang mikromanajer. Dia bisa berhasil di tempat orang lain gagal. Dia pergi ke tempat-tempat tak menyenangkan, dan memastikan semuanya berjalan lancar.”

Salah satu fakta yang dapat menjadi kendala paling mencolok mengenai keputusan Kamprad pada tahun 1961 ke Polandia adalah Tembok Berlin sedang dibangun. Perang dingin antara Barat dan Timur sedang berlangsung. Sebagian besar orang tak bakal berpikir membuka usaha di negara musuh, karena takut akan dicap pengkhianat. Kamprad tak demikian.

Hanya sedikit orang yang punya kreativitas untuk mengirim perabotan yang belum dirakit dan melakukan alih daya ketika diboikot. Lebih sedikit lagi yang memiliki gagasan seperti itu dan disiplin membangun operasi manufaktur kelas satu di daerah yang terbelakang secara ekonomi.

Dalam David and Goliath, Malcolm Gladwell menceritakan bagaimana Kamprad melihat peluang dan fokus pada potensi sehingga membawa IKEA menjadi perusahaan kelas dunia. Dia mengacuhkan segala kendala, di mana bagi sebagian besar orang akan menyiutkan nyali. Namun tidak bagi Kamprad. DIa berhasil membawa IKEA sebagai perusahaan perabotan rumah tangga terdepan di dunia.

Ketika pandemi Covid-19 melanda hampir semua negara mengalami keterpurukan ekonomi, termasuk Indonesia. Kini semua negara menghadapi dilema bagaimana memulihkan kehidupan sosial ekonomi tetapi juga bisa menghentikan penyebaran Covid-19 dengan korban jiwa minim dan pelonjakan angka yang bisa diatasi oleh sistem kesehatan nasionalnya.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Indonesia memang tidak masuk dalam penilaian para pakar dan pengamat global sebagai negara yang berhasil menekan penyebaran Covid-19 dan mencegah jatuh korban jiwa dalam jumlah besar. Tapi Indonesia masih bisa memenangkan kontestasi global mengatasi pandemi Covid-19 dengan cara menunjukkan prestasi sebagai negara yang mampu memulihkan perekonomian dengan cepat (Detiknews).

Salah satu kunci dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki negara, seperti yang dilakukan Kamprad. Pemulihan ekonomi Indonesia dapat dilakukan cepat dengan memaksimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Indonesia diprediksi pada tahun 2020-2030 akan mengalami masa bonus demografi. Pada saat itu angkatan kerja Indonesia akan meningkat signifikan.

Bonus demografi adalah ketika jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibanding penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun), dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (BPS).

Jika jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020  menurut data BPS sebanyak 268 juta jiwa maka lebih dari separuhnya adalah penduduk usia produktif. Bonus demografi ini akan menjadi kekuatan ekonomi yang besar jika Indonesia dapat memanfaatkan momentumnya.

Ketika momentum bonus demografi terjadi, maka kaum millineal akan memegang kunci. Mereka yang dikategorikan sebagai generasi milennial, yaitu mereka yang lahir setelah tahun 1980-an dan 1990-an. Indonesia akan menuju era digitalisasi, ditandai dengan masifnya penggunaan Internet of Thing (IoT) di berbagai bidang kehidupan.

Berdasarkan data Riset Ekonomi UOB Indonesia tentang tingkat pendapatan berbagai segmentasi populasi antara tahun 2010 dan 2019, pendapatan riil kaum milenial tumbuh sebesar 8,6% pertahun secara tingkat pertumbuhan bertahap (compound annual growth rate). Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan pendapatan antara 3% hingga 5% pada kelompok demografi lainnya. Artinya jika dibawa ke ranah perpajakan, mereka merupakan Wajib Pajak yang potensial.

Karena itu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri sebagai sebuah organisasi strategis yang mengumpulkan penerimaan negara, berusaha memanfaatkan momentum ini dengan memaksimalkan pelayanan perpajakan berbasis digital. Bagi generasi milenial yang melek internet dalam kesehariannya, penggunaan teknologi informasi yang user friendly adalah sebuah efisiensi baik dari segi biaya maupun waktu. Sasaran yang ingin dituju Ditjen Pajak adalah kepatuhan pajak akan meningkat.   

Seperti Kamprad menjadi terdepan dalam bisnis perabotan rumah tangga, maka Ditjen Pajak dapat berperan sebagai institusi yang mengawal kebangkitan ekonomi Indonesia pasca pandemi.  Mengapa tidak.

***

Disclaimer: Tulisan ini telah dimuat sebagai Tajuk Majalah Kanwil DJP Jakarta Barat "Jawara" volume V September 2020