Dilema Membayar Denda atau Diyat Agar Terbebas dari Hukuman Pancung

Kamis, 8 November 2018 | 08:29 WIB
0
490
Dilema Membayar Denda atau Diyat Agar Terbebas dari Hukuman Pancung
Ilustrasi hukuman pancung (Foto: Kricom)

Belum lama ini Kerajaan Arab Saudi melakukan hukuman mati dengan cara pancung kepada TKI Tuti Tursilawati yang sudah menjalani hukuman selama tujuh tahun. Bahkan hubungan bilateral kedua negara yang sangat erat tidak bisa membatalkan hukuman mati tersebut. Malah Arab Saudi sengaja tidak melakukan pemeritahuan atau notifikasi kepada pemerintah atau KBRI Indonesia di Arab Saudi atas hukuman pancung tersebut.

Kasus-kasus hukuman pancung kepada TKI Indonesia yang mencari kehidupan di Arab Saudi sudah sering terjadi, tapi juga banyak TKI yang awalnya terkena hukuman mati atau pancung, terbebas karena ada pengampunan dari pihak keluarga atau ahli waris.

Akan tetapi terkadang bebasnya hukuman pancung itu bukan karena kebaikan hati ahli waris, tetapi karena membayar Diyat atau denda. Dan Diyat atau denda yang harus dibayarkan tidak hitungan jutaan, akan tetapi milyaran atau di atas sepuluh milyar rupiah.

Karena hukum di Arab Saudi yang bisa memaafkan adalah pihak keluarga atau ahli waris, bukan di tangan Kerajaan atau Raja. Kalau pihak keluarga atau ahli waris tidak memberikan maaf, maka hukum qisas atau pancung akan tetap berjalan.

Dan tentu pihak pemrintah Indonesia yang diwakili KBRI di Arab Saudi akan melakukan pendekatan atau negosiasi kepada pihak kelurga korban atau ahli waris. Karena sering kali kalau terjadi hukuman pancung kepada TKI, yang dipersalahkan adalah pemerintah atau KBRI di Arab Saudi yang dianggap kurang membela TKI yang terancam hukuman pancung. Dan dianggap tidak maksimal dalam memperjuangan supaya terbebas dari hukuman pancung atau mati.

Ada satu lagi TKI dari Majalengka yang juga menghadapi hukuman pancung atau mati, namanya Eti. Tetapi pintu perdamaian sepertinya terbuka karena pihak keluarga atau ahli waris mau berdamai.

Akan tetapi pihak keluarga atau ahli waris mengajukan permintaan yaitu Diyat atau denda sebagai kompensasi. Dan pihak keluarga atau ahli waris meminta Diyat sebesar 30 juta Real atau Rp120 milyar.Tentu nominal ini sangat besar dan memberatkan pihak terpidana yaitu Eti atau pihak keluarga.

Tetapi angka Diyat atau denda Rp120 milyar bukan harga mati atau tida bisa ditawar lagi, tawar, tawar akhirnya sepakat di Rp 20 milyar.Denda Rp20 milyar ini pun sebenarnya masih cukup besar, akan tetapi pihak keluarga korban atau ahli waris sudah tidak mau ditawar lagi.

Akhirnya angka Rp20 milyar disepakti oleh kedua belah pihak, antara ahli waris dan pihak KBRI di Arab Saudi.

Untuk membayar denda Rp20 milyar itupemerintah hanya punya anggaran Rp2 milyar. Sedangkan sisanya patungan yang dikomandani duta besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus  Maftuh Abegebriel. Menurut Agus Maftuh sekarang sudah terkumpul Rp12 milyar dan masih kurang Rp8 milyar.

Kasus hukuman pancung dengan membayar Diyat atau denda kepada keluarga atau ahli waris ini menyisakan masalah atau seperti buah simalakama. Maksudnya kompensasi dengan membayar Diyat atau denda sering kali dijadikan oleh pihak keluarga atau ahli waris sebagai alat peras kepada pihak pemerintah Indonesia.

Karena sering dituruti atau dibayarkan, mereka sering meminta pembayaran denda yang sangat besar-besar dan dijadikan alat untuk memeras. Kalau tidak dibayarkan oleh pemerintah,nanti akan dituduh tidak membela TKI. Dan mengatakan, masak hanya Rp20 milyar tidak sanggup membayar.

Yang menjadi masalah, bukan hanya satu TKI saja yang menghadapi hukuman pancung, masih ada puluhan yang mengalami nasib yang sama. Apa perlu anggaran khusus untuk TKI yang menghadapi hukuman pancung?

Ini mirip seperti perompak di Filipina yang sering menculik nelayan Indonesia dan sering minta tebusan, karena sering dituruti permintaannya, malah mereka atau perompak ini sering menculik nelayan dan minta tebusan yang nominalnya juga milyaran rupiah.

Maksud hati ingin mencari penghidupan yang layak, akan tetapi malah berakhir di tangan algojo kerajaan.

***