Mengapa Meliana Akhirnya Kalah (Juga) di Tingkat Banding?

Sabtu, 27 Oktober 2018 | 06:37 WIB
0
778
Mengapa Meliana Akhirnya Kalah (Juga) di Tingkat Banding?
Meliana (Foto: VOA Indonesia)

Sebagai orang yang pernah terlibat kuat untuk menginvestigasi kasus ini, terjun langsung di lapangan, berbicara dengan korban dan bergaul akrab dengan tim pengacaranya. Perbolehkan saya memberikan opini pribadi saya kenapa akhirnya proses banding Meliana ditolak juga di Pengadilan Tinggi Medan.

Walau saya sudah menduga, tapi tentu (tetap) berharap Meliana mendapatkan keadilannya. Secara teknis hukum, mestinya Meliana didakwa pun harus tidak bisa. Ia hanya pribadi yang kasusnya "dipakai" sebagai pemicu suatu kasus yang lebih besar. Ia adalah pengimbang atau orang yang patut dipersalahkan untuk meledaknya suatu peristiwa besar yang tidak saja memalukan tapi juga jelas-jelas kriminal.

Artinya konteks "kriminalisasi" Meliana sudah sangat kuat dilakukan sejak awal peristiwa ini terjadi. Dan pilihan terhadap Meliana, walau tampak acak atau random, tapi tiba-tiba sangat tepat secara profil figur dan momentum-nya. Saya tak bisa ceritakan satu persatu peristiwa lokal, atau fenomena domestik yang terjadi. Itu sangat-sangat SARA, dan saya pikir tidak perlu karena hanya akan memperburuk suasana yang konon sudah kembali normal dan kondusif itu. Dan tentu saja tidak bijak.

Konteks paling gampang untuk memahami proses peradilan Meliana, bahwa dibutuhkan waktu nyaris dua tahun sejak peristiwa di Jl. Karya itu terjadi pada 29 Juli 2016, hingga ia ditahan 30 Mei 2018 dan divonis pada 21 Agustus 2018. Dan akhirnya bandingnya ditolak pada 25 Oktober 2018. Artinya proses diangkatnya kasus ini sedemkian lama, namun putusan bandingnya (bisa) sedemikian cepat.

Bila melihat bahwa putusan pengadilan negeri tersebut, sempat ditunda-tunda diserahkannya kepada Tim Pengacara Meliana. Karena Hakim Ketua kasus ini, beberapa hari setelah putusan tersebut dicokok KPK walau dalam kasus lain. Artinya, sampai saat terakhir putusan tersebut tidak ditanda tangani oleh Hakim Ketua. Apakah jadi putusan yang salah secara administratif, saya tidak tahu!

Suatu keruwetan lain, yang sangat khas peradilan di Indonesia. Gak jelas!

Lepas dari itu semua, saya ingin sedikit memberikan opini lain mengapa banding tersebut ditolak dan melepaskan dari opini hukum. Saya ingin mengajak kita memahami kondisi kota Tanjung Balai, di mana peristiwa tersebut terjadi. Dari berbagai postcard lama dari tahun 1910-an yang saya miliki, saya membayangkan bahwa pada awal abad abad 20, Tanjung Balai sangat potensial untuk menjadi pesaing Singapura. Chinatown-nya sungguh indah, mirip-mirip dengan kawasan Little India saat ini.

Ada jalan yang dulu namanya Hindostraat, dimana mungkin orang Keling dari India tinggal. Artinya kota ini memang di luar sejak mula memiliki masyarakat yang sangat plural, juga punya nilai strategis dan ekonomis. Jangan lupa, Tanjung Balai adalah hilir dari Sungai Asahan yang bermuara di Danau Toba. Yang dahulu merupakan pintu masuk ke arah hulu, yang di sepanjang jalannya terdapat kota2 yang sangat ramai seperti Perbaoengan yang di masa lalu sangat legendaris.

Seratus tahun kemudian, kita menemukan kota ini melapuk sedemikian rupa. Saya tidak bisa menjelaskan kenapa semua bisa terjadi di abad modern ini. Saya tidak pernah lihat ada kota sekumuh ini, modernisasi nyaris tidak menyentuh kota ini. Apalagi setelah pasca kesultanan-kesulitan di Sumatra Timur diruntuhkan melalui revolusi sosial oleh gerakan kaum kiri di awal kemerdekaan. Hingga akhirnya sisa-sisa istananya tak terurus, dan di tahun 1980-an, warisannya dijual pada seorang tauke dan saat ini nyaris rata dengan tanah.

Lenyapnya Kesultanan Asahan adalah simbol seolah tak adanya tuan rumah di kota ini. Apa yang saya rasakan di kota ini hanyalah, harga-harga yang serba murah, ya makanan, ya transportasi. Kita masih bisa makan kenyang dengan hanya uang Rp. 7500,- atau bisa naik becak motor dengan biaya minimal Rp5000. Menunjukkan betapa sulitnya hidup di kota kecil ini.

Di sisi lain, konon baru-baru beberapa tahun terakhir ini saja, pemerintah berhasil mengurangi penyelundupan berbagai hal: ya barang-barang harian, ya manusia, ya narkoba, ya apapun. Dulu konon, senjata untuk GAM juga dipasok melalui kota ini. Saya bisa mengerti karena setiap tauke (juragan) nyaris memiliki pelabuhan-pelabuhan pribadi yang tertutup dan terhubung langsung dengan gudang mereka.

Saya beruntung pernah nongkrong di salah satu gudang bahan bangunan yang memasok material-material pasir, batu bata, semen atau apa pun. Saya bayangkan bagaimana distrbusi barang tersebut bisa tergantikan dengan produk apapun tanpa pengawasan.

Ketika saya memutuskan untuk menghentikan program #sayabersamameliana, saya pernah merasakan rasa limbung atau orang Jogja bilang "mbentoyong". Merasakan sesak nafas (sekaligus mual), galau yang tak terperikan.

Membayangkan betapa kompleksnya kasus Meliana secara sosial, budaya, agama, politik dalam konteks lokal. Apa yang pasti akan sulit dipahami bila melulu dipakai kaca mata hukum, yang memang semestinya hitam putih belaka. Menjelaskan kenapa persidangan kasus ini harus dipindah ke Medan. Bila akhirnya pengadilan negeri dan kemudian pengadilan tinggi memutuskan demikian, menunjukkan bandulnya jelas berayun kemana.

Bandul yang sebenarnya tidak khas Tanjung Balai, tidak khusus Medan (Bacalah: Sumatera Utara), tapi hari-hari ini justru Indonesia banget!

Kabar baiknya Tanjung Balai telah kembali kondusif, dalam arti masyarakatnya kembali saling bertegur sapa. Harga-harga kembali sangat murah, walau kotanya tetap semrawut dan kumal tapi saling bisa menerima. Hubungan antar agama kembali normal, sekte yang ada di masing-masing agama kembali bisa duduk di meja yang sama. Mereka sudah mulai lupa kepada Meliana dan semakin segan membicarakannya.

Publik mungkin tidak percaya, bahwa situs dimana peristiwa itu terjadi telah berubah menjadi enclave yang terlindungi. Semua orang jadi bisu (secara permanen), ada orang (seolah) gila yang siap mengepruk kepala anda jika berani bertanya (apalagi membela). Ada sebuah satgas partai yang berjaga mengamati siapa saja yang hilir mudik. Dalam arti positif, mereka saling bersepakat: biarlah membuang nila setitik bila menyelamatkan susu sebelanga. Secara sadar begitulah setiap kepala yang saya temui (bila bisa jujur) mengatakannya....

Tentu saja saya harus terus melangitkan respek, simpati dan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Tim Pengacara Meliana, seperti Bang Ranto Sibarani, Bang Josua Rumahorbo, Mbak Puji Aprilia Marpaung dkk. Juga mbak Deva Alvina Br Sebayang yang tak lelah sebagai pendamping korban. Jerih payah kalian tidak pernah sia-sia, upaya hukum yang kalian lakukan sudah maksimal.

Mungkin hanya karena kasus ini lahir memang di tempat yang salah, dan waktu yang tidak tepat. Hingga tampak upaya keras kalian harus dikalahkan...

***