Menjadi gubernur dengan agama yang berbeda dengan mayoritas warganya, ketika membuat aturan terkadang dicurigai dan mendapat penolakan, padahal aturannya sama.
Sebentar lagi Idul Qurban akan tiba. Seperti biasa umat Islam berqurban kambing atau sapi.
Nah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan peraturan yang melarang kepada penjual hewan qurban, "memarkir", menjual apalagi menyembelih kambing mapun sapi di trotoar jalan.
Peraturan itu tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengendalian Penampungan dan Pemotongan Hewan dalam Rangka Idul Adha 2019/1440 H. Bagi yang melanggar akan terkena sanksi.
Tetapi tidak ada masyarakat atau penjual hewan qurban yang protes akan peraturan larangan tersebut.
Padahal, waktu era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah juga melarang penjualan hewan qurban di trotoar jalan. Pada waktu itu masyarakat dan penjual hewan qurban pada protes dan menolak larangan tersebut. Dengan alasan ini sudah tradisi turun-temurun. Bahkan ada yang bilang larangan tersebut sebagai bentuk "anti Islam".
Bahkan, Gubernur Anies Baswedan sempat menggunakan larangan berjualan hewan qurban di trotoar sebagai bahan kampaye pada Pilgub DKI yang katanya tidak berpihak pada rakyat itu.
Tetapi setelah jadi gubernur, ternyata juga mengeluarkan peraturan larangan berjualan di trotoar.
Mengapa larangan berjualan hewan qurban di trotoar jalan era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Gubernur sekarang Anies Baswedan berbeda reaksi masyarakat dalam menanggapinya?
Inilah ambigunya masyarakat kita, eh warga Jakarta kali... Sama-sama peraturan larangan yang dikeluarkan oleh gubernur, tapi berbeda reaksi.
Era Gubernur Ahok reaksinya negatif atau menimbulkan sentimen keagamaan anti Islam. Sedangkan era Gubernur Anies Baswedan tidak timbul reaksi yang negatif. Malah mendapat sentimen yang positif karena berani menegakkan aturan demi menjaga atau melindungi kesehatan masyarakat.
Menjadi gubernur dengan agama atau keyakinan yang berbeda dengan mayoritas warganya, ketika membuat suatu aturan atau larangan, terkadang dicurigai atau mendapat protes dan penolakan. Padahal peraturan tersebut baik dan tidak ada unsur diskriminasi.
Tetapi, ketika gubernur itu agamanya atau keyakinannya sama dengan mayoritas warganya, ketika membuat aturan atau larangan, tidak mendapat protes atau penolakan. Malah, cenderung masa bodoh. Atau tidak mau tahu.
Begitulah masyarkat kita, eh.... warga Jakarta, dalam menyikapi suatu peraturan atau larangan jualan hewan qurban oleh dua gubernur yang berbeda keyakinan dan etnis. Peraturannya sama, tapi bisa berbeda reaksi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews