Langkah Agresif Putin di Ukraina

Pasca-Maidan Revolution 2014, Ukraina mendadak dianggap sebagai ancaman oleh Putin karena kecenderungan dukungan publik yang menginginkan Ukraina menjadi bagian dari Uni Eropa.

Sabtu, 26 Februari 2022 | 09:05 WIB
0
152
Langkah Agresif Putin di Ukraina
Vladimir Putin (Foto: Kompas com)

Setelah Rusia menginvasi Crimea, Kanselir Jerman Angela Merkel berkomentar bahwa Putin adalah pemimpin abad ke-19 yang hidup dan bekuasa di abad ke 21.

Terkait bagaimana Putin memandang negara-negara bekas anggota Uni Soviet, Angela Merkel memang tidak salah. Misalnya soal Ukraina.

Di mata Putin, Ukraina adalah bagian dari Rusia dan semestinya tetap sebagai bagian dari Rusia hingga hari ini.

Memang, sejak Era Tsar hingga bubarnya Uni Soviet, Ukraina menjadi bagian penting dalam sejarah Rusia.

Namun ketika Uni Soviet bubar tahun 1991, di bawah tekanan Boris Yeltsin, yang secara heroik berhasil menyelamatkan Mikhail Gorbachev dari kudeta, Ukraina dan Belarusia disepakati untuk berdiri sendiri.

Di era kepemimpinan Boris Yeltsin, Rusia tetap berusaha memainkan peran minimalnya di Kyiv, meskipun tidak selalu dominan.

Bukan berarti Boris Yeltsin kurang "aware" dengan ekspansi NATO dan EU. Yeltsin justru berang melihat bekas negara-negara anggota Uni Soviet satu per satu menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tersebut.

Tak dipungkiri, bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke dalam NATO, diikuti oleh tiga negara Baltik setelah itu, menjadi salah satu sebab mengapa Yeltsin bersedia melepas kekuasaannya kepada Vladimir Putin.

Hal itu diasumsikan memiliki kans untuk menaikkan kembali bendera Rusia di kancah internasional, selain faktor Putin yang sebelumnya telah menyelamatkan keluarga Yeltsin dari tuntutan jaksa agung Rusia atas dugaan kasus korupsi.

Setelah Putin berkuasa, alarm mulai berbunyi di Kremlin saat Orange Revolution di Ukraina pada tahun 2004 yang kemudian mendudukkan Viktor Andriyovych Yushchenko sebagai presiden di pemilihan tahun 2005 dengan mengalahkan Viktor Yanukovych, calon yang didukung penuh oleh Kremlin.

Yushchenko cenderung sangat pro Barat. Ambisinya adalah memperbaiki performa ekonomi Ukraina dengan membawanya berkiblat ke belahan Eropa (Uni Eropa), termasuk mendorong Ukraina untuk segera menjadi anggota baru pakta pertahanan NATO.

Alarm Kremlin juga berdering lagi tahun 2008 ketika Bush Yunior memberi sinyal jelas bahwa Ukraina dan Georgia berpeluang menjadi anggota NATO.

Bagi Putin, ekspansi NATO sudah lebih dari cukup dan tak bisa dibiarkan terus merangsek ke halaman belakang Rusia seperti di era kekuasaan Yeltsin.

Karena itu, Putin langsung memberikan reaksi keras dengan menyatakan dukungan pada kelompok pemberontak Ossetia dan Abkhazia Selatan. Strategi destabilisasi dimulai untuk melawan ekspansi Barat.

Ketika Tbilisi mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan Abkhazia Selatan, Moskow tanpa basa-basi mengirim pasukannya untuk menduduki Ibu Kota negara Georgia itu, lalu merangsek sekitar 30 km jelang ibu kota Georgia.

Situasi sangat menegangkan kala itu. Dunia was-was karena Putin diasumsikan akan menduduki Tbilisi dan menginvasi Georgia sepenuhnya.

Diplomasi pintu belakang Madeleine Albright dan EU akhirnya berhasil membuat Putin terhenti.

Namun demikian, pesan Moskow kepada dunia barat, NATO dan EU, tersampaikan dengan jelas atas aksi tersebut bahwa Rusia sangat serius dengan semua negara-negara bekas Uni Soviet yang menjadi halaman belakangnya, terutama yang rentan berbalik arah ke Barat.

Sementara itu di sisi lain, Putin belajar banyak dari kekalahan Viktor Yanukovych di pemilihan Ukraina pada tahun 2005.

Putin mulai menggunakan berbagai cara, mulai dari cara halus seperti penyebaran fakenews dan misinformasi untuk destabilisasi kawasan dan menggoyang kekuasaan Viktor Yushchenko.

Kemudian dengan cara terbuka berupa cyber attack dan acaman verbal kepada Ukraina jika berani mencoba bergabung dengan Uni Eropa atau NATO.

Usaha tersebut berbuah hasil ketika pemilihan 2010 di Ukraina. Viktor Yanukovych berhasil menyingkirkan Viktor Yushchenko.

Selama masa pemerintahannya, Viktor Yanukovych berusaha mendapatkan dukungan ekonomi dari Eropa dan Moskow sekaligus.

Tapi saat Putin menjanjikan kucuran likuiditas untuk Kyiv dengan catatan berhenti bersandar pada Eropa, Viktor Yanukovich seketika berubah haluan ke Moskow yang mengundang reaksi besar-besaran dari publik Ukraina dan berbuah Maidan Revolution tahun 2014.

Pasca-Maidan Revolution 2014, Ukraina mendadak dianggap sebagai ancaman oleh Putin karena kecenderungan dukungan publik yang menginginkan Ukraina menjadi bagian dari Uni Eropa.

Tak pelak, Putin menginvasi Crimea pada tahun yang sama, mendukung pemberontakan di Ukraina Timur (Donbas, Donetsk, dan Luhansk/Luganks), dan menghentikan jalur pipa migas Rusia ke Eropa via Ukraina.

Langkah itu membuat Ukraina kehilangan pemasukan negara beberapa miliar dollar setiap tahun.

Walhasil, Dunia Barat bereaksi dengan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Dan situasi semakin panas saat Rusia berhasil mengamankan deal pipa migas dengan Jerman, biasa dikenal dengan Nord Stream II, untuk menggantikan jalur pipa migas yang terhenti di Ukraina.

Amerika Serikat justru menjatuhkan embargo kepada kontraktor-kontraktor yang terlibat dalam proyek di Ukraina itu.

Nah, rentetan peristiwa ini adalah rangkaian yang memposisikan Rusia, Ukraina, EU, dan USA, hari ini.

Karena tingginya traksi dan gema konflik Ukraina tersebut, bahkan Putin mamanfaatkannya sebagai ajang "satu peluru tiga sasaran" sekaligus, yang membuat dunia mendadak menjadi semakin panas dan riuh.

Putin tidak saja menjadikan strategi destabiliasi di Ukraina sebagai alat geopolitik untuk mencegah Ukraina menjadi anggota Uni Eropa dan NATO, tapi juga untuk memaksa Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk memuluskan proyek pipa migas Nord Stream II sekaligus ajang untuk meningkatkan status Rusia (baca: Putin) sebagai salah satu negara superpower global (global superpower) yang sejajar dengan Amerika Serikat yang tak bisa diabaikan begitu saja, bukan hanya sebagai regional superpower.

Dan terlepas seperti apa Angela Merkel menggambarkan Putin setelah invasi Crimea tahun 2014 lalu, sejauh ini nampaknya strategi Putin cukup efektif dalam mencapai apa yang ia inginkan.

Bukan tanpa preseden invasi Rusia minus perlawanan Barat di Ukraina, kecuali sanksi ekonomi dan keuangan.

Di era Stalin, Amerika Serikat tak turun tangan di saat Moskow mengirim pasukan ke Hungaria tahun 1950-an atau di saat Kruschev menjadikan Berlin sebagai Iron Curtain.

Yang bisa dilakukan oleh Barat saat ini adalah pilihan reaksi seperti saat Leonid Brezhnev menginvasi Afghanistan tahun 1979, yakni bantuan via pintu belakang.

Di Afghanistan, cara tersebut sangat efektif. Mujahiddin membuat Soviet frustasi selama 10 tahun dengan 13.000-an peti mati pulang ke Moskow, lalu keluar dari Afghanistan tahun 1989, dan dua tahun kemudian Soviet pun bubar.

Putin melakukan gaya Amerika Serikat tersebut di perbatasan Ukraina sejak 2014 dengan menyuplai amunisi apapun kepada para pemberontak, terutama di Donbas, Donetsk, dan Luhansk.

Tapi "stand off" yang tak berkesudahan belakangan di mana Barat tak memberi kepastian soal Nord Stream II dan kepastian posisi NATO atas Ukraina, bahkan terkesan NATO justru semakin tak terbendung, nampaknya membuat Putin semakin tak tahan dan merasa harus melangkah lebih jauh alias gaya Putin pun dikedepankan.

Bagi Putin, langkah ini sebenarnya tak mudah, tapi harus diambil. Perlawanan atas nama nasionalisme, secara historis, adalah perlawanan yang hampir selalu sukses alias sangat sulit untuk dipadamkan.

Ukraina bertahan pada posisinya selama ini karena merasa nasionalismenya berbeda dengan nasionalisme Rusia, sementara Rusia merasakan hal sebaliknya.

Ukraina membangun "frame" perlawanan dalam logika nation vs empire (ambisi empire Putin).

Secara fisik dan materi, Ukraina boleh jadi babak belur. Tapi spirit nasionalismenya diprediksi cenderung akan bertahan dan akan menyedot energi Moskow untuk waktu yang lama.

Tapi Amerika dalam posisi tak mudah dan dilematis. Terlibat langsung berarti membuang energi, sementara energi Negeri Paman Sam harus dicas ulang untuk menghadapi China di Pasifik dan di pentas ekonomi global.

Apalagi Amerika Serikat belum lama keluar dari Afghanistan dengan kerusakan reputasi yang luar biasa (setara dengan momen Vietnam).

Opsi turun langsung adalah opsi yang tidak masuk akal bagi Washington saat ini dan Putin sangat memahami posisi dilematis negeri Paman Sam itu.

Amerika Serikat berharap Eropa akan turun tangan. Tapi Eropa hari ini juga sedang berantakan, terutama sejak krisis finansial global dan Brexit.

Tanpa NATO, Eropa "nothing." Dan NATO tanpa Amerika juga "nothing." Jadi, "Putin's show" hanya bisa ditonton, dikutuk, kemudian sebatas dijatuhkan sanksi ekonomi.

Karena itu, meskipun sulit bagi Putin, tapi pilihan agresif tersebut masih dianggap sebagai pilihan rasional mengingat konstelasi geopolitik yang cukup longgar sehingga ruang manuver Rusia masih cukup luas.

Hanya dengan cara tersebut, menurut Putin, kode keras Moskow akan dibaca dengan jelas oleh Dunia Barat.

Harus diakui bahwa mantan intel KGB berpangkat Kolonel bernama Vladimir Vladimirovich Putin memang sosok intelijen ulung.

***