Revolusi Wanita

Pangeran Salman merancang, bagaimana pasca minyak nanti Saudi bisa menjadi negara maju, modern, dan kuat. Sepuluh tahun lagi.

Jumat, 23 Agustus 2019 | 07:19 WIB
0
579
Revolusi Wanita
Perempuan Arab mengemudi (Foto: Disway.id)

Revolusi wanita sedang dilakukan Pangeran MbS.

Sekarang ini.

Semula saya melihatnya sepotong-sepotong.

Akhirnya saya melihatnya secara menyeluruh. Kesimpulan saya: Pangeran MbS lagi melakukan pembentukan 'social capital'.

Modal sosial.

Yang tidak kalah penting dari modal uang.

Begitulah salah satu teori pembangunan: modal sosial harus sama kuat dengan modal uang. Agar pembangunan berhasil.

Tapi, biasanya, orang lebih fokus ke pembentukan modal dalam bentuk dana. Akibatnya, uang itu pun tidak menghasilkan pembangunan. Masyarakatnya tidak cukup siap untuk menggerakkan uang yang disediakan.

Lihatlah langkah Pangeran MbS, Mohamad bin Salman di Saudi Arabia ini:

Wanita mulai boleh mengendarai mobil.

Wanita boleh masuk stadion.

Wanita --ini mengejutkan-- boleh bepergian ke luar negeri sendirian. Tanpa didampingi muhrim --laki-laki dari keluarganya: suami, ayah, saudara kandung.

Saat mengurus paspor pun wanita boleh melakukannya sendiri. Pembuatan paspor tidak lagi harus seizin muhrim.

Wanita juga mulai diizinkan mendaftarkan kelahiran anaknya ke catatan sipil. Sendirian. Tanpa muhrim.

Semua itu terjadi hanya dalam dua tahun terakhir.

Perubahan yang begitu cepat.

Tentu Mohamad bin Salman, putra mahkota Saudi Arabia, mendapat tentangan berat.

Dari dalam keluarga kerajaan sendiri --sepupu-sepupu sudah ia masukkan penjara.

Dari wartawan kritis --yang tokohnya sudah dibunuh itu. Dan mayatnya lenyap itu.

Dari para ulama --sudah begitu banyak ulama yang ditangkap. Termasuk salah satunya imam di Masjidil Haram, Mekah itu.

Semula saya hanya melihat itu sebagai serpihan peristiwa.

Saya pun tidak pernah menulis soal wanita boleh mengemudi. Tidak menulis penangkapan-penangkapan. Tidak menulis wanita boleh masuk stadion.

Saya hanya menulis panjang soal pembunuhan wartawan itu.

Saya juga tidak pernah menulis proyek besar MbS: Visi Saudi 2030. Yakni target pembangunan Saudi yang tidak lagi mengandalkan minyak mentah.

MbS merancang, bagaimana pasca minyak nanti Saudi bisa menjadi negara maju, modern, dan kuat. Sepuluh tahun lagi.

Mimpi "Visi Saudi 2030" sudah begitu dekatnya. Baru dicanangkan 25 April 2016. Baru tiga tahun lalu. Sudah harus berhasil 10 tahun lagi.

Kini nyaris tidak ada oposisi di Saudi. Pun dari kalangan ulama. Yang menentang pun tidak bisa berkutik. Maksimum mereka hanya bisa 'beroposisi dalam diam'.

Baru sekarang saya mencoba melihatnya secara menyeluruh. Menghubung-hubungkan semua kejadian itu. Satu dengan lainnya.

Ternyata MbS lagi menjalankan skenario besar. Membuat konsep. Menggalang modal finansial. Juga modal sosial.

Salah satu modal sosial yang besar adalah wanita.

Bagaimana pembangunan bisa berhasil kalau yang produktif hanya laki-laki?

Mari kita hitung:

Produktivitas penduduk laki-laki —katakanlah— 80. Tidak mungkin 100. Sebagian laki-laki sudah sangat tua, sakit, atau gila.

Produktivitas penduduk wanita —katakanlah—10. Ini lantaran wanitanya dikekang: tidak boleh keluar rumah, tidak boleh mengemudi.

Maka 80 ditambah 10 = 90.

Berarti angka rata-ratanya 45.

Bandingkan dengan negara seperti Tiongkok.

Produktivitas penduduk laki-laki 80.

Produktivitas penduduk perempuan 75.

Kalau ditotal: 155. Berarti rata-rata 75 lebih.

Begitu banyak selisihnya.

Belum lagi dihitung faktor pengurang. Misalnya terjadinya pertengkaran. Berkurang sekian poin.

Terjadi demo besar. Berkurang lagi.

Terjadi konflik. Berkurang terus.

Coba sekarang kita hitung sendiri modal sosial kita. Ups, tidak jadi. Sebaiknya Anda sendiri yang menghitung.

Saya tinggal membaca hasil hitungan Anda. Menyenangkan --bisa untuk permainan game teori pembangunan.

Dahlan Iskan

***