Membaca Resolusi Majelis Umum PBB (1): Ikut-ikutan atau Berprinsip

Kecuali empat negara—Belarusia, Suriah, Korea Utara, dan Eritrea—yang secara tegas berpihak pada Rusia dengan memilih against resolusi, ke-35 negara yang memilih abstain pun, memiliki alasan yang berbeda-beda.

Selasa, 15 Maret 2022 | 07:59 WIB
0
86
Membaca Resolusi Majelis Umum PBB (1): Ikut-ikutan atau Berprinsip
Sidang Umum PBB (Foto: kompas.com)

INVASI Rusia ke Ukraina telah menciptakan situasi khaotik dalam geopolitik dan dunia. Inilah yang telah mendorong Majelis Umum (MU) PBB pada 2 Maret 2022, menerbitkan resolusi yang diberi judul “Agresi terhadap Ukraina.”

Proses voting dilakukan dalam sesi (sidang) darurat atas permintaan Dewan Keamanan PBB. “Sesi khusus darurat” dari MU PBB (The United Nations General Assembly/UNGA) sesuai dengan Resolusi MU 377(V) tanggal 3 November 1950.

Resolusi berjudul “Bersatu untuk Perdamaian” tersebut menyatakan bahwa ketika Dewan Keamanan (DK) PBB gagal bertindak untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional karena kurangnya konsensus di antara lima anggota tetap. MU akan segera mempertimbangkan masalah tersebut dan dapat mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan kolektif termasuk angkatan bersenjata untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

Sesi khusus darurat berbeda dari sesi MU PBB biasa. Sesi ini dilakukan sebagai tindakan mendesak.

Serangan militer Rusia—yang dalam bahasa Vladimir Putin disebut sebagai “Operasi Militer Khusus”—ke Ukraina dirasakan sebagai sebuah peristiwa yang mendesak untuk ditanggapi, dan diselesaikan. Sesi khusus darurat MU PBB ini jarang dilakukan, baru sepuluh kali dan sesi khusus kemarin adalah yang ke-11.

Yang menarik adalah sesi khusus darurat itu dilaksanakan pada saat pasukan Rusia memborbardir kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv.

Menurut laporan kantor berita Reuters, ini merupakan serangan terbesar terhadap negara Eropa sejak 1945, yang mengakibatkan penduduk kota itu melarikan diri mencari selamat.

Kharkiv terletak 32 kilometer selatan perbatasan Rusia-Ukraina, yang mayoritas penduduknya berbicara dalam bahasa Rusia.

Koran The New York Times (24/2) menulis Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina dan target utama pasukan invasi Rusia, memiliki tempat khusus dalam sejarah versi Kremlin.

Digambarkan sebagai tempat yang menunjukkan kebodohan Ukraina ketika mencoba hidup terpisah dari Rusia.

Selama ini, Kharkiv lebih dekat dengan Rusia ketimbang dengan Ukraina. Setelah jatuhnya Presiden Viktor F Yanukovych (2014) dukungan Rusia dalam Revolusi Martabat [Revolution of Dignity, 18 – 21 Februari 2014.

Revolusi ini mengakhiri rezim kleptokratik Yanukovych. Tetapi, revolusi ini tidak mengakhiri persoalan di Ukraina, justru menjadi awal persoalan baru Ukraina.

Karena sejak itulah keterlibatan Rusai semakin nyata (Yuriy Shveda dan Joung Ho Park, 2016) yang berpundak pada waktu sekarang ini, Kharkiv—tempat Yanukovych berlindung—menjadi pusat perjuangan oposisi dengan dukungan Rusia, melawan pemerintah Kyiv.

Kharkiv ibu kota pertama Republik Sosialis Soviet Ukraina, yang sebagian besar dikuasai Moskow.

Blok-politik dan Preferensi

Perlu dipahami bahwa resolusi MU PBB, tidak seperti resolusi Dewan Keamanan, yakni tidak mengikat (non-binding).

Meskipun 193 negara anggota MU PBB sering memberikan suara pada isu-isu panas seperti Korea Utara, Krimea, dan konflik Israel-Palestina, dan terakhir soal serangan militer Rusia ke Ukraina, suara mereka lebih bersifat simbolis.

Kata Donald McHenry, mantan perwakilan permanen AS di PBB, “[MU PBB] bukanlah badan aksi. Hanya sebuah majelis.”

Keterbatasan utama lainnya adalah bahwa suara MU PBB hanya mencerminkan sikap negara-negara terhadap isu-isu multilateral utama.

Menurut klasifikasi Kementerian Luar Negeri AS, 18 persen suara MU PBB terkait dengan konflik Israel-Palestina.

Ada resolusi MU PBB yang lebih signifikan antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan Deklarasi Milenium (2000).

Meski demikian, resolusi tersebut tetaplah dianggap penting sebagai cerminan sikap negara-negara anggota terhadap situasi keamanan dunia.

Diterbitkannya resolusi menegaskan keprihatinan negara-negara pecinta damai terhadap rusaknya perdamaian dan keamanan di Ukraina, yang akan berdampak pada dunia.

Resolusi itu merupakan deklarasi politik atau pendapat politik. Karena itu, tidak semua negara anggota menganggap agenda politik ini sebagai sesuatu yang sangat serius, kecuali agenda itu berdampak terhadap kepentingan mereka atau sekutunya. 

Satu hal yang harus dicatat, MU PBB adalah satu-satunya badan perwakilan universal di mana semua negara anggota menikmati status sama dan secara terbuka menggunakan preferensi suara mereka sebagai entitas berdaulat.

Antara tahun 2001 dan 2017, total 1.284 resolusi diadopsi oleh suara yang direkam/roll-call di UNGA di mana setiap negara bagian mengungkapkan preferensinya dengan setuju, (ya), tidak setuju (tidak), atau abstain dari pemungutan suara (Mohammad Zahidul Islam Khan, 2020).

Kata Islam Khan, meskipun resolusi ini tidak mengikat—dianggap sebagai “tidak penting,” (“inconsequential”)—tetapi platform tetap menjadi sumber unik untuk mengamati dan membandingkan posisi kebijakan relatif dari setiap negara anggota dalam pengaturan kelembagaan yang sama.

Preferensi pemungutan suara mungkin tidak sepenuhnya merupakan cerminan “sejati” dari “pikiran” suatu negara.

Ini karena pemungutan suara di UNGA terkadang bergantung pada agenda strategis negara anggota dan pengaruh yang diberikan oleh aktor global dan regional utama.

Preferensi dan kesamaan kepentingan di antara negara-negara anggota yang diungkapkan dengan pilihan terhadap sebuah resolusi harus ditafsirkan dengan hati-hati.

Preferensi pemungutan suara negara-negara di UNGA, mencerminkan pilihan kebijakan unik mereka—disampaikan baik sebagai ekspresi komitmen terhadap nilai-nilai fundamental tertentu, yang dipengaruhi oleh kebutuhan strategis atau kombinasi keduanya.

Maka itu, ada berbagai alasan mengapa sebuah atau beberapa negara, misalnya, memilih sikap abstain, atau tidak memberikan suara sama sekali terhadap resolusi. Keputusan tersebut diambil bisa karena alasan blok politik atau preferensi politik.

Sebagian besar dari resolusi di sebagian besar badan dalam sistem PBB disetujui melalui konsensus di mana tidak ada suara yang diambil.

Sebaliknya, resolusi Majelis Umum sering ditentang dan memerlukan pemungutan suara, sebagian karena sifat yang lebih politis dan aspek yang tidak mengikat dari resolusi Majelis Umum (Voting Practices in the United Nations for 2019).

Keberadaan blok-blok di MU PBB diakui secara luas sejak berdirinya PBB. Perhatian khusus pada fenomena blok politik mulai setelah 1950.

Blok-blok politik tersebut memainkan peranan penting dalam keputusan MU PBB. Peran blok politik tersebut sangat kentara pada sidang MU PBB tahun 1956, 1957, dan 1958 ketika membahas isu-isu kolonialisme (Cambridge University Press, 1 Augustus 2014).

Sekadar contoh tentang adanya blok tersebut. Pada tanggal 3 November 1950, MU PBB mengadopsi resolusi 377 A (V), yang diberi judul “Bersatu untuk Perdamaian.”

Pengesahan resolusi ini dilakukan sebagai tanggapan atas strategi Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) untuk memblokir setiap keputusan Dewan Keamanan (DK) mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk melindungi Republik Korea dari agresi militer dari Korea Utara.

Pada tahap awal konflik bersenjata ini, Juni 1950, DK dapat merekomendasikan kepada anggota PBB untuk “memberikan bantuan kepada Republik Korea yang mungkin diperlukan untuk mengusir serangan bersenjata dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional di kawasan” (resolusi 83 (1950) tanggal 27 Juni 1950).

Resolusi tersebut dapat disahkan karena Uni Soviet saat itu memboikot pertemuan DK (Christian Tomuschat, 2008). Resolusi disahkan setelah diambil voting. Pemungutan suara, voting memberikan gambaran tentang orientasi suatu negara di arena dunia: di mana negara itu berdiri, berpihak, dengan siapa berpihak—setidaknya dalam konteks PBB—untuk tujuan apa.

Apakah ini berarti bahwa pola voting di MU PBB mengungkapkan alignement ideologi negara? Tidak sepenuhnya demikian.

Empat “Kelompok”

Secara tradisional, secara tak resmi negara-negara anggota PBB dikelompokkan ke dalam lima grup regional geopolitik.

Kelima grup regional itu adalah Afrika, Asia-Pasifik, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia, serta Eropa Barat dan lainnya.

Tetapi, pengelompokan tersebut tidaklah baku. Kini ada grup negara-negara Asia Selatan, Asia Tengah, dan ASEAN.

Bisa juga dalam isu-isu tertentu grup seperti Non-Blok atau BRICs, atau Uni Afrika, atau Komunitas Amerika Latin dan Karibia Amerika (CELAC), menjadi satu kekuatan.

Demikian pula, yang terjadi saat voting resolusi berkait dengan serangan militer Rusia ke Ukraina, muncul “kelompok-kelompok” sesuai dengan preferensinya masing-masing negara dan juga orientasi politiknya.

Voting itu diambil setelah mendengarkan 120 pidato.

Jumlah yang mendukung terhadap resolusi ini lebih banyak 41 suara dibandingkan saat voting terhadap resolusi mengenai pengambilalihan Krimea oleh Rusia pada tahun 2014.

Pada waktu itu, 100 negara mendukung resolusi. Secara garis besar hasil voting memunculkan “empat kelompok” negara: yang mendukung (141), yang menentang (against, 5), yang abstain (35), dan yang tidak memberikan suara (12).

Tetapi, “pengelompokan” tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan, misalnya keberpihakan (blok Politik) pada AS dan Barat atau Rusia, meskipun ada.

Kecuali empat negara—Belarusia, Suriah, Korea Utara, dan Eritrea—yang secara tegas berpihak pada Rusia dengan memilih against resolusi.

Ke-35 negara yang memilih abstain pun, memiliki alasan yang berbeda-beda.

Alasan India berbeda dengan alasan China, juga berbeda dengan alasan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Vietnam, Laos, Kazkhstan, Kyrgstan, Tajikistan, Zimbabwe dan sebagainya.

Masing-masing memiliki alasan-alasan sendiri sesuai dengan kepentingan nasionalnya.

Maka itu, muncul pernyataan-pernyataan yang “terasa” aneh dengan sikapnya. Misalnya, memilih abstain, tak mau mengecam aksi militer Rusia, tetapi menyatakan, “berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar Piagam PBB: penentuan nasib sendiri rakyat, tidak menggunakan atau ancaman penggunaan kekuatan, kedaulatan dan integritas teritorial negara, dan penyelesaian sengketa …”

Demikian juga, 141 negara yang mendukung resolusi, termasuk Indonesia, memiliki alasan masing-masing. Alasan Indonesia dan Malaysia, meski sesama negara ASEAN, tentu berbeda.

Alasan negara-negara Afrika berbeda dengan negara-negara Eropa atau Amerika Latin, atau Asia Timur.

Sikap masing-masing negara sangat beragam, tergantung kepentingan masing-masing. (Bersambung)

***

Catatan: tulisan ini sudah termuat di Kompas.com