Israel, “Etno-Demokrasi” dan Paradoks Modernitas

Paradoks-paradoks semacam ini tidak bisa lagi diterima oleh “world citizen” yang banyak bergerak di sebuah ruang bernama: digital space.

Kamis, 27 Mei 2021 | 09:07 WIB
0
188
Israel, “Etno-Demokrasi” dan Paradoks Modernitas
Palestina dan Israel (Foto: Anadolu Agency)

Sebagaimana saya janjikan sebelumnya, ini adalah tulisan terakhir dari seri tiga tulisan mengenai Palestina. Mohon maaf, karena tulisan ini agak terlalu panjang, dan mungkin sedikit melelahkan. Jika dua tulisan sebelumnya menyorot Palestina, kali ini fokus saya lebih terarah kepada Israel. Jika dua tulisan sebelumnya ditujukan untuk membela Palestina, tulisan terakhir ini tujuannya jelas: mengkritik Israel.

Pertanyaannya: Kenapa mesti mengkritik Israel? Kenapa tidak membelanya? Ada banyak hal yang positif kok dalam Israel yang layak dibela? Jawabannya sederhana. Memakai analogi penjajahan Belanda yang saya pakai dalam dua tulisan sebelumnya, kita bisa saja membela negeri kincir angin itu saat ia menjajah Indonesia. Belanda adalah negara maju, pewaris peradaban Pencerahan Eropa yang berasaskan rasionalitas, pendidikan rakyatnya maju, tingkat peradabannya tinggi, bla-bla-bla.

Banyak alasan yang bisa dipakai untuk membela Belanda. Tetapi jika jalan “pembelaan” atas penjajah itu yang dipilih oleh bangsa Indonesia dulu, generasi Sukarno dkk sudah pasti tidak akan berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Buat apa memerdekakan diri dari Belanda? Bukankah akan lebih baik jika Indonesia menjadi negeri vasal saja dari Belanda, negeri yang maju itu?

Israel perlu dikritik, bukan dibela, sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ia adalah penjajah. Atau, jika anda tidak setuju menyebut Israel sebagai penjajah, ia adalah kelanjutan dari proyek kolonialisme Eropa pada abad ke-20. David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel dan salah satu perumus awal konsep pertahanan Israel (disebut dengan “Iron Wall”; penggas awal konsep ini sebetulnya adalah Ze’ev Jabotinsky), mengaku jujur: bahwa Israel pada dasarnya “agresor.” Israel didirikan di tanah yang sudah diduduki selama ratusan tahun oleh orang lain, dan mendirikan negeri baru di sana. Pengakuan jujur ini dicatat oleh Avi Shlaim, seorang sejarawan Yahudi revisionis yang tinggal di Inggris, dalam bukunya: “The Iron Wall: Israel and The Arab World” (2001).

Kedua, dalam posisi saat ini, tidak ada alasan lain kecuali membela Palestina, sebab Israel adalah negara dengan kekuatan besar, disokong tanpa “reserve” oleh negara adi-kuasa saat ini, Amerika Serikat. Setiap tahun, negeri ini medapat kucuran bantuan sebesar US$3,8 milyar. Ini belum memasukkan pasokan lain berupa penjualan senjata paling canggih buatan Amerika. Pada saat konflik Israel-Palestina sedang memanas kemaren, misalnya, pemerintahan Presiden Joe Biden menyetujui penjualan senjata senilai US$ 700an juta kepada Israel. Dan kita tahu, senjata asal Amerika inilah yang selama ini dipakai Israel untuk menindas dan membunuhi warga Palestina. Protes sejumlah anggota Kongres dari Partai Demokrat sama sekali tidak mengubah kebijakan itu.

Sebagaimana saya nyatakan dalam salah satu twit saya beberapa hari yang lalu: Di hadapan Israel, Palestina saat ini adalah “cicak super kecil” di hadapan buaya raksasa. Dengan kata lain, yang kita lihat dalam konflik Palestina-Israel saat ini adalah David kecil melawan Goliat raksasa. Ini berkebalikan total dengan situasi pada 1947-1949 ketika Israel berada pada posisi yang sebaliknya: Israel sebagai David kecil (meski tidak “kecil-kecil amat,” karena disokong kekuatan imperial Inggris saat itu) di hadapan Goliat besar koalisi Arab yang hendak menghancurkan negeri Yahudi itu.

Jika anda berhadapan dengan dua pihak yang sedang berseteru, yang satu lemah dan yang lainnya begitu kuat, pilihan yang amat naluriah adalah anda membela yang lemah. Ini instink manusia normal. Dalam situasi sekarang, membela Israel adalah tindakan yang justru berlawanan dengan instink dan akal manusia yang waras. Inilah yang menjelaskan kenapa, dalam konflik Palestina-Israel sejak 1967 hingga sekarang, simpati dunia kian lama kian membesar untuk Palestina. Sejak tahun itu, Israel melakukan pendudukan tanah Palestina secara ilegal dan melawan keputusan PBB di dua tempat: Tepi Barat (termasuk di dalamnya: Yerusalem Timur) dan Gaza.

Hingga sekarang ini, tindakan penyerobotan tanah-tanah Palestina di luar apa yang disebut “Green Line” (garis wilayah Palestina-Israel yang ditetapkan oleh PBB sejak 1948), terus berlangsung. Ada sekitar 600an ribu warga Israel yang tinggal secara ilegal di Tepi Barat, dan terus bertambah. Lembaga-lembaga Yahudi di Amerika dengan agresif terus mengampanyekan dan membiayai orang-orang Yahudi yang mau pindah dan tinggal di Israel. Protes internasional terus digaungkan, tetapi tak pernah digubris oleh Israel.

Dalam sebuah debat yang berlangsung di Oxford Union yang berlangsung pada 28 November 2005, Alan Dershowitz, seorang profesor hukum di Universitas Harvard dan pembela gigih Israel (untuk ini ia menulis buku “A Case for Israel”), membela Israel dengah penuh semangat.

Bunyi pembelaan Dershowitz kira-kira demikian: “Israel adalah satu-satunya negeri yang bisa disebut demokratis di tengah-tengah lautan otoritarianisme di Timur Tengah; Israel adalah “a shining light,” lampu yang bersinar di tengah-tengah kegelapan. Israel mestinya kita bela, bukan pelan-pelan kita hancurkan.”

Lawan Dershowitz saat itu adalah seorang aktivis HAM asal Australia yang tinggal di Inggris, Peter Tatchell. Tema yang menjadi bahan debat adalah pro-kontra mengenai gerakan BDS (Boycott, Divest, Sanction), gerakan global untuk memboikot Israel yang bermula sejak bulan Juli 2005, beberapa bulan sebelum debat di Oxford itu berlangsung. Alan Dershowitz tentu saja menentang keras gerakan BDS ini. Ia menyebutnya: gerakan immoral.

Argumen pembelaan Dershowitz itu sering dikemukakan oleh para “apologet” (pembela) Israel di mana-mana, termasuk di Indonesia. Pembelaan ini juga berkali-kali dikemukakan oleh kolumnis terkenal koran The New York Times, Thomas L. Friedman (terus terang, saya termasuk salah satu penggemar tulisan-tulisan dia, di luar soal Israel). Tetapi, pembelaan Dershowitz ini mengandung masalah besar. Jika benar Israel adalah negeri demokratis, kita bisa mengajukan pertanyaan pokok: Apakah kebijakan-kebijakan negeri ini, dalam kehidupan nyata, mendukung kleim tersebut? Mari kita melakukan “fact checking.”

Bulan April tahun ini (2021), Human Rights Watch (HRW), lembaga pengawas praktek HAM di seluruh dunia yang berpusat di Manhattan, New York, mengeluarkan laporan setebal 213 halaman dengan judul yang dengan jelas mengatakan isinya: “A Threshold Crossed: Israeli Authorities and Crimes of Apartheid and Persecution.” Laporan ini menganalisis, berdasarkan observasi di lapangan, kebijakan pemerintah Israel terhadap warga Palestina di dua wilayah pendudukan: Tepi Barat dan Gaza. Selama ini, anggapan adanya diskriminasi dan kebijakan apartheid di Israel hanya merupakan dugaan yang “bersembunyi di pojokan” saja. Alias, tidak ada suatu laporan empiris yang menyokongnya.

“Kajian yang cukup detail ini menunjukkan bahwa otoritas Israel telah membalik itu, dan saat ini jelas-jelas orotitas ini telah melakukan kejahatan melawan kemanusiaan, apartheid, dan persekusi,” tegas Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW. Sejumlah pengamat dan sarjana, termasuk Noam Chomksy dan Norman Finkelstein (dua profesor Yahudi yang sangat kritis pada Israel), memandang HRW sebagai lembaga yang sebetulnya cenderung “konservatif.” Dengan kata lain, jika lembaga yang konservatif sudah mengeluarkan pernyataan yang keras semacam ini, berarti ada masalah yang amat serius dengan Israel. Dalam nomenklatur HAM, sebutan “a crime againts humanity” bukanlah hal yang “cepethe-cepethe,” alias ringan. Ini adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM yang amat serius.

Dalam artikelnya di koran The New York Times, Diana Buttu, seorang lawyer Palestina yang berkewargaan Israel dan pernah menjadi penasehat PLO dalam negosiasi-negosiasi perdamaian, mengungkapkan kenyataan pahit yang dialami oleh orang-orang Palestina yang hidup di, dan menjadi warga negara Israel. Dalam artikelnya yang terbit kemaren (25/5) dengan judul “The Myth of Coexistence in Israel” itu, Buttu mengungkapkan bahwa lepas dari kleim Israel sebagai negara demokratis yang secara formal memandang semua penduduknya sama, baik yang beretnik Yahudi atau Arab, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Warga Arab mengalami diskriminasi akut selama bertahun-tahun. Mereka memang warga negara Israel, tetapi “warga negara kelas dua.”

Jika para Islamofob (pembenci Islam) di Barat mengkritik ajaran “dhimmi” dalam Islam, karena (sesuai konsep dhimmi tersebut) orang-orang non-Muslim ditempatkan pada posisi sebagai warga negara kelas dua dalam kerajaan-kerajaan Islam tradisional, saya hendak menyatakan hal serupa: bahwa ironisnya, di masa modern ini, Israel justru menjalankan praktek yang mirip-mirip gagasan “dhimmi” ini kepada orang-orang Palestina. Secara formal, Israel memang menerapkan konsep kewarga-negaraan modern yang memperlakukan semua orang sama di depan hukum. Tetapi secara de facto di lapangan, ia mempraktekkan kebijakan disrkiminasi yang amat akut; begitu akutnya, sehingga HRW dengan keras menyatakan bahwa Israel telah mempraktekkan politik apartheid.

Problem besar Israel justru ada di sini. Memang benar, seperti ditegaskan oleh Dershowitz dalam debatnya di Oxford Union itu, bahwa Israel adalah satu-satunya negeri yang benar-benar bisa disebut demokratis di Timur Tengah. Tetapi masalahnya adalah: Israel hanya menerapkan demokrasi itu “secara selektif” kepada warga negara Yahudi. Terhadap warga Palestina yang tinggal di Israel, ia melakukan diskriminasi yang parah, bahkan menerapkan politik apartheid. Tidak salah jika Mehdi Hasan, seorang wartawan Inggris yang sekarang bekerja di MSNBC (sebelumnya dia pernah beberapa saat bekerja untuk Al Jazeera Inggris), memandang Israel bukan negeri yang secara “genuine” bisa disebut demokrasi, melainkan “etno-demokrasi.”

Etno-demokrasi ialah demokrasi selektif yang hanya berlaku kepada warga negara kelas satu. Terhadap warga negara yang dipandang kelas dua, jaminan kesamaan hukum sebagaimana menjadi ciri pokok negeri demokratis, sama sekali tidak berlaku. Secara sederhana, ini sebetulnya mengulang politik “apartheid” khas negeri-negeri kolonial Eropa pada zaman dulu di negeri-negeri jajahan. Belanda, misalnya, mempraktekkan hal serupa di Indonesia. Gagasan humanisme Pencerahan yang memandang manusia sama kedudukannya di muka hukum, gagasan yang menjadi ciri khas modernitas Eropa; ya, gagasan ini, di mata pemerintahan kolonial Eropa, tidak berlaku untuk warga pribumi. Yang layak memperoleh “berkah” humanisme universal itu hanyalah warga kulit putih saja. Minke, tokoh pribumi pemberontak dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer, tidak berhak atas berkah ini.

Yang terjadi di Israel saat ini, sejatinya hanyalah simptom atau gejala permukaan saja dari “penyakit” bawaan yang ada dalam demokrasi modern yang asal-usulnya, jika dilacak, berasal dari tradisi Pencerahan Eropa. Demokrasi modern mengenalkan semacam “utopia” atau impian tentang dunia yang ideal: sebuah sistem politik yang menjamin kebebasan sipil dan politik yang sama bagi semua warga-negara, tanpa melihat perbedaan warna kulit, agama, dan latar sosial-kultural yang lain.

Gagasan ini berasal dari filsafat Pencerahan Eropa yang salah satu ciri pokoknya ialah satu: rasionalitas. Diskriminasi atas manusia, sebagaimana dipratekkan oleh kerajaan-kerajaan tradisional (“ancien régime” dalam istilah Perancis), adalah sesuatu yang tidak rasional. Sistem politik modern yang berpokok pada tradisi Pencerahan Eropa itu hendak membangun “utopia politik” yang lain: negeri yang didasarkan pada humanisme universal — manusia dipandang sama kedudukannya. (Sebagai catatan: gagasan humanisme semacam ini sudah ada dalam ajaran yang paling ortodoks sekalipun dalam Islam).

Yang menjadi soal ialah satu. Dalam praktek, gagasan utopian ini tidak pernah terlaksana secara konsisten. (Warning: Memang sulit konsisten dalam gagasan dan tindakan sekaligus, di manapun, termasuk di kalangan Muslim sekalipun!). Jika negeri-negeri Eropa benar-benar memegang tradisi rasionalitas Pencerahan itu, bagaimana mereka mempraktekkan kolonialisme selama ratusan tahun. Kolonialisme ini tidak saja dipraktekkan oleh negeri-negeri Eropa yang tingkat penerimaannya atas gagasan Pencerahan bisa disebut rendah, seperti Spanyol dan Portugis, misalnya. Kolonialisme ini juga dipraktekkan oleh dua negeri yang bisa kita sebut sebagai “the Jesus’ manger” (palungan Jesus) alias tempat kelahiran Pencerahan Eropa: yaitu Perancis dan Inggris. Amat tidak masuk akal.

Jika kita baca dua jilid pertama dalam tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, kita akan berjumpa dengan tokoh Minke yang berkali-kali melontarkan paradoks Pencerahan Eropa ini. Negeri Belanda, di mata Minke, penuh dengan paradoks dan hipokrisi. Sekolah-sekolah Belanda mengajarkan kepada orang-orang pribumi seperti Minke gagasan “indah” tentang humanisme univesal, kesamaan derajat manusia. Tetapi setiap hari, di Surabaya dan (belakangan juga) Betawi, Minke menyaksikan gagasan indah ini dikhianati sendiri oleh pemerintahan Belanda. Kasus Minke bukan hanya khas Indonesia. Ini terjadi di semua negeri-negeri jajahan di manapun.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, terutama di era Presiden Trump kemaran, Amerika sedang menyaksikan naiknya gelombang gerakan Black Live Mattters. Gerakan ini muncul sebagai protes atas rasisme yang masih mengakar dalam dalam kehidupan sehari-hari Amerika. Tidak ada yang menyangkal bahwa Amerika adalah negeri demokratis. Oleh para politisi Amerika sendiri, negeri itu bahkan kerap digambarkan sebagai (mengutip frasa yang terkenal dari Khotbah di Bukit-nya Yesus Kristus) “a City on the Hill,” Kota di Atas Bukit yang menyinarkan cahaya teladan bagi kota-kota gelap di sekelilingnya. Tetapi, dalam prakteks, demokrasi Amerika mengidap cacat “kolonial” yang kita jumpai dalam paradoks kolonialisme lama: yaitu demokrasi yang selektif. Demokrasi Amerika hanya berlaku penuh, secara de facto, kepada mereka yang sering disebut dengan WASP (White Anglo-Saxon Protestant). Saya ingin menyebut ini sebagai “the modern syndrom of dhimmitude.”

Apa yang terjadi di Israel hari-hari ini hanyalah manifestasi saja dari problem akut dalam modernitas ini: problem universalisme yang ternyata tidak “universal-universal amat.” Gerakan Black Live Matters hari-hari ini di Amerika, yang kemudian bergaung di mana-mana, menjadi momentum yang amat penting. Sumbangan penting gerakan ini adalah dalam hal “membangunkan” dunia dari tidur panjang universalisme-liberal yang seolah-olah telah menjadi kenyataan riil (ingat deklarasi Francis Fukuyam pada tahun 90an mengenai “The End of History”). Gerakan ini menyadarkan warga dunia tentang hipokrisi dalam demokrasi modern: warga kulit hitam (dan kelompok-kelompok “pinggrian” lain) ternyata dikeluarkan dari “universalisme” demokrasi itu.

Simpati pada Palestina di dunia Barat hari-hari ini mendapatkan momentumnya karena gerakan “global justice” yang disuarakan oleh para aktivis penggerak gerakan Black Live Matters itu, sebagaimana dicatat oleh Julian Borger dalam artikelnya baru-baru ini di koran The Guardian (dengan judul: “A Radical Change: American’s New Generation of Pro-Palestinian Voices”).

Simpati dunia hari-hari ini membanjir untuk Palestina, bukan karena kebencian kepada orang-orang Yahudi. Gerakan-gerakan pro-Palestina ini sangat sadar tentang bahaya anti-semitisme; mereka menolak dengan tegas anti-semitisme. Simpati mereka pada Palestina dipicu oleh hal sederhana: hipokrisi Israel dalam perlakuannya yang diskriminatif terhadap warga Palestina di Israel sendiri, di Tepi Barat, dan di Gaza. Diskriminasi atas mereka sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pemerintah Israel mencoba menutup-nutupi kejahatan ini dengan argumen yang standar: self-defence, pertahanan diri atas serangan orang-orang Arab “militan.”

Opini dunia, pelan-pelan, berubah. Di era medsos seperti sekarang, nyaris sulit bagi Israel untuk terus-menerus menjalankan praktek lama: bersembunyi di balik dalih “self-defence” untuk menutupi kejahatan aparheid-nya. Foto-foto perlakukan kejam tentara Israel di Gaza dan Tepi Barat, termasuk di Masjid al-Aqsa, kemaren beredar luas di medsos. Dunia tidak bisa dicegah untuk melek. Saya ingin menyebut ini sebagai “momen Suwardi Suryaningrat.”
Kita tentu ingat, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara pernah membuat marah Belanda karena tulisannya yang terbit di koran De Express dan terbit pada Juli 1913, dengan judul “Als ik een Nederlander was” — Andai aku seorang warga Belanda. Dalam artikel itu, Ki Hajar, antara lain, mengkritik hipokrisi Belanda ini: merayakan kemerdekaan mereka dari Perancis, sementara melakukan penjajahan atas Indonesia.

Paradoks-paradoks semacam ini tidak bisa lagi diterima oleh “world citizen” yang banyak bergerak di sebuah ruang bernama: digital space. Normalisasi atas kekerasan pemerintah Israel mulai ditolak di mana-mana. Argumen pertahanan-diri yang digaungkan oleh Israel dan para simpatisannya, hanyalah akan mempertahankan normalisasi itu. Inilah yang menjelaskan munculnya banyak protes atas Israel di negeri-negeri Barat pada hari-hari ini. Protes ini, di mata saya, lahir sebagai akibat dari “momen Suwardi Suryaningrat” tersebut.

Sekian.

Koreksi: Ada kekeliruan dalam tulisan ini. Sebelumnya ditulis: Suryadi Suryaningrat; seharusnya: Suwardi Suryaningrat.

***