Tentu pemimpin Amerika yang berseberangan dengan Trump, masih banyak. Berarti spirit "The American Dream" masih belum pudar.
Dalam epilog bukunya yang terkenal itu, POLITICAL TRIBES: Group Instinc and the Faith of Nations (2018), Amy Chua mengutip puisi lama dari penyair Afro-Amerika, Langston Hughes.
Puisi berjudul "Let America be America again" diciptakan Hughes tahun 1935 di atas kereta yang tengah melaju dari New York menuju Ohio.
"Let America be the dream the dreamers dreamed-
Let it be that great strong land of love
(but then a second voice enters:)
"It never was America to me
(the first voice replies:)
"Say, who are you that mumble in the dark?
(and the second answers:)
"I am the poor white, fooled and pushed apart,
I am the Negro bearing slavery's scars
I am the red man driven from the Land,
I am the immigrant clutching the hope I seek-
And finding only the same old stupid plan
Of dog eat dog, of mighty crush the weak".
Tentu ada alasan kuat Amy Chua mengutip kembali puisi itu. Sebab "dream are not real, but they can be made so. The American Dream is a promise of freedom and hope for every individual on all of us to make true the myths we tell ourselves about what America has always been", tulis Amy Chua.
Tapi sebelum Amy Chua, puisi Hughes juga pernah dikutip Senator John Kerry dari Partai Demokrat sebagai slogan kampanye presiden tahun 2004: "Let America be America Again!".
Baca Juga: Kerusuhan Rasial di AS Sekarang dan di Tasikmalaya 24 Tahun Silam
Juga Senator Rick Santorum dari Partai Republik pernah menggunakan varian kalimat yang sama dari puisi ini dalam kampanye politiknya: "berjuang untuk menjadi Amerika lagi!".
Kini, saat membaca kembali puisi yang ditulis 85 tahun lalu itu, rasanya seperti membaca puisi yang baru ditulis beberapa hari lalu.
Ada teriakan kesakitan, ada jeritan penderitaan dari kaumnya "the Negro bearing slavery's scars". Juga jeritan dari kaum "the red man driven from the Land" dan kaum "the immigrant ".
Mereka inilah yang dulu selalu berharap melalui mitos "American Dream", kini berteriak, menjerit. "American Dream" menjadi "American Scream!".
Itulah realitas Amerika beberapa hari terakhir ini. Peristiwa tewasnya pemuda kulit hitam George Flyod karena aksi brutal polisi kulit putih di Minneapolis, Senin 25 Mei 2020 lalu menandai bangkitnya kembali praktik rasialisme dan diskriminasi di negeri yang dulu menjadi simbol kampiun demokrasi itu.
Peristiwa 20 Mei 2020 dalam waktu singkat telah memicu gelombang demonstrasi disertai aksi kekerasan di berbagai kota, bahkan sampai ke depan Gedung Putih.
Amerika bersedih! Bukan semata karena kematian George Flyod. Tapi juga karena meredupnya spirit dan roh dari negara yang dulu selalu menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, mengagungkan prinsip kesetaraan, dan menentang semua bentuk rasialisme dan diskriminasi.
Para tokoh dan pemimpin di Amerika sendiri mulai mempertanyakan seberapa jauh negeri itu masih dipandu oleh spirit "The American Dream", spirit kebebasan dan kesetaraan.
Bahkan mantan Presiden Barack Obama menitikan air mata ketika dia mengomentari aksi brutal rasialis dari polisi, dan juga diskriminasi yang masih dihadapi warga kulit hitam, para migran, serta kaum minoritas lainnya di Amerika.
Obama masih berharap, seperti bunyi puisi Hughes, "Let America be America again!". Maka Obama pun menulis sebuah essay yang menggugah: "How to Make this Moment the Turning Point for Real Change".
Sesungguhnya praktik diskriminasi rasial di Amerika bukan barang baru, bukan baru bermula pada saat tewasnya George Flyod. Praktik ini sudah ada jauh sebelumnya, terselubung atau terang-terangan.
Namun praktik negatif yang mencederai kemanusiaan sekaligus mencederai "nilai-nilai Amerika" itu baru tampak menguat kembali justru saat Donald Trump menghuni Gedung Putih.
Lihatlah reaksinya menghadapi gelombang protes rakyatnya atas diskriminasi dan kekerasan rasial aparat kepolisian.
Di bawah Trump-lah fenomena "political tribes" seperti dimaksud Amy Chua semakin tumbuh di Amerika.
Tentu pemimpin Amerika yang berseberangan dengan Trump, masih banyak. Berarti spirit "The American Dream" masih belum pudar.
Seperti puisi Langston Hughes. Setelah nada sendu pada bait-bait awal, Hughes menutup puisinya dengan "doa", secercah harapan.
"O, let America be America againO, yes,
I say it plain,
America never was America to me,
And yet I swear this oath--
America will be!".
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews