Di Parit London

Putusan lain: Brexit harus dengan deal. Tidak boleh keluar dari Uni Eropa seperti keinginan BoJo. Seperti suami yang meninggalkan istri tanpa surat cerai.

Jumat, 13 September 2019 | 09:14 WIB
0
377
Di Parit London
Boris Johnson (Foto: Foreignpolicy.com)

Heroik tapi sendu.

Itulah suasana di malam terakhir parlemen Inggris.

Senin malam lalu.

Heroik, karena banyak yang menyanyikan lagu nasional masing-masing.

Sendu, karena masih ada orang gentleman pada hampir jam 1 dini hari itu.

Juga karena ada yang tidak 'Inggris'.

Hari itu terjadilah yang tidak diperkirakan terjadi. Setidaknya, ini tidak diperkirakan oleh BoJo --Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.

Jadinya saling kunci.

BoJo mengunci parlemen.

Parlemen mengunci perdana menteri.

Awalnya BoJo memang berhasil membekukan parlemen. Selama lima minggu ke depan.

Alasannya: akan ada Queen Speech. Di tanggal 15 Oktober. Lima minggu sebelum itu tidak boleh ada aktivitas di parlemen.

BoJo-lah yang meminta Ratu Elizabeth untuk Queen Speech. Setiap perdana menteri baru memang seperti itu. Semacam untuk pidato pembukaan sidang parlemen. Yang isinya mengenai rencana-rencana pemerintahan baru.

Yang menyampaikan pidato itu Ratu.

Yang membuat pidato itu perdana menteri --pemerintahannya.

Begitulah aturan di Inggris.

Kebetulan, BoJo --sejak jadi PM Juli lalu-- belum pernah minta Ratu untuk Queen Speech.

Kebetulan juga, parlemen sedang menjalani libur panjang musim panas.

Queen Speech itu bisa menandai dimulainya masa persidangan setelah reses. Sekalian untuk menjelaskan program baru BoJo. Terutama mengenai langkahnya setelah Inggris keluar dari Uni Eropa.

Dengan Queen Speech itu parlemen terkunci.

Begitu liburan selesai, hari pembekuan pun tiba: Selasa, 10 September.

Tidak ada waktu lagi bagi parlemen. Untuk mempersoalkan agenda BoJo yang terkenal itu: Brexit sekarang juga, tanpa deal sekali pun.

Atau, ada Pemilu dadakan. Tanggal 15 Oktober nanti.

Parlemen memang hanya punya waktu hari Senin. Hanya satu hari itu. Besoknya sudah harus beku.

Satu hari itu ternyata begitu menentukan. Ternyata parlemen sempat bersidang. Suasana anti-BoJo begitu jelas di sidang itu.

Banyak anggota DPR dari partai konservatif membelot. Putusan pun bisa diambil. Partai BoJo kalah.

Putusan Senin malam itu begitu telak. Hanya beberapa jam sebelum parlemen beku.

Isinya: Proposal Pemilu dadakan itu ditolak.

Untuk Pemilu dadakan harus ada persetujuan 2/3 suara parlemen. Pembelotan di kubu BoJo membuat suara untuk pro BoJo hanya 46. Kalah dengan seberangnya: 293 suara.

Putusan lain: Brexit harus dengan deal. Tidak boleh keluar dari Uni Eropa seperti keinginan BoJo. Seperti suami yang meninggalkan istri tanpa surat cerai.

Alasan mereka: bahan makanan akan tiba-tiba langka. Ini karena belum ada kesepakatan bagaimana impor bahan makanan dari Eropa. Juga obat-obatan. Juga lainnya.

Dua putusan itu pun menjadi UU. Kalau BoJo melanggar konsekuensi banyak. Termasuk masuk penjara.

Tapi Boris tetaplah Johnson.

Masuk penjara masih lebih ringan dari tekad kuatnya sejak awal: lebih baik mati di parit dari pada mengalah.

Untung di Inggris tidak ada Cak Lontong --yang bisa bikin meme lucu. Misalnya: lebih baik mati di parit surga daripada mati di selokan neraka. (Ups, ternyata tidak selucu Cak Lontong).

Begitu dua putusan itu menjadi UU, sidang ditutup dengan tidak kalah dramatisnya: Ketua Parlemen Inggris John Bercow mengundurkan diri.

Ia memang harus gentleman --kebanggaan sikap orang Inggris. Partainya kalah suara. Banyak pembelotan.

Dan ia sendiri memang tidak setuju dengan BoJo --soal pembekuan itu. Yang ia anggap telah membunuh demokrasi.

Ada juga anggota DPR yang tidak 'Inggris'. Mereka adalah pendukung BoJo garis keras. Mereka tidak mau menyalami Bercow. Tidak mau menjabat tangannya.

Mereka pulang begitu saja. Pulang no deal.

Begitu pengunduran diri Bercow diucapkan, malam sudah larut. Udara London 14 derajat. Di luar, hujan rinai.

Banyak anggota DPR belum mau pulang. Pembekuan parlemen pun sudah berlaku. Sejak jam zero hundred tadi. Maksud saya jam 00.00 tadi.

Mereka yang berasal dari dapil-dapil Skotlandia berdiri. Mulailah mereka menyanyikan lagu nasional Skotlandia: Flower of Scotland. Maksudnya: Skotlandia bisa pisah dari Inggris bila Brexit dipaksakan dengan no deal.

Anggota DPR dari Wales melakukan hal yang sama: mengumandangkan lagu nasional Wales, Bread of Heaven. Demikian juga yang dari Irlandia Utara.

Anggota DPR dari Partai Buruh tidak mau kalah. Mereka memperlihatkan kirinya.

Para oposan itu mengalunkan lagu revolusi yang heroik: The Red Flag.

Lewat tengah malam itu, gedung parlemen Inggris menjadi sangat emosional --tapi sendu.

Saya masih akan lama di Inggris. Masih cukup waktu untuk menelusuri seluruh parit di kota London.

Terutama parit di dekat kediaman BoJo.

Dahlan Iskan

***