Zakir Naik

Sebaiknya kembalikan saja Zakir ke India. Suruh dia mempertanggubgjawabkan kelakuannya. Sebab di negaranya India, Zakir bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang kriminal yang kabur.

Jumat, 23 Agustus 2019 | 22:53 WIB
0
433
Zakir Naik
Zakir Naik (Foto: Facebook/Eko Kuntadhi)

Jika ada tamu yang gak punya adab : Zakir Naik salah satunya. Buronan teroris pemerintah India ini, kaburmke Malaysia. Di negeri itu Zakir mencari perlindungan.

Tapi apa balasannya?

Ia membuat pernyataan yang merusak keberagaman di Malaysia. Katanya, sebaiknya orang-orang Tionghoa di Malaysia dipulangkan ke China. "Orang Tionghoa di Malaysia hanya tamu. Sebaiknya dipulangkan ke China," ujar Zakir Naik.

Mulut lelaki ini memang jauh dari sopan santun. Sebab Malaysia adalah negeri plural seperti Indonesia. Keberadaan etnis Tionghoa di Malaysia sudah ada sejak lama. Saat ini 30% penduduk Malaysia terdiri dari warga Tionghoa.

Mereka memegang KTP Malaysia. Bekerja di Malaysia. Membayar pajak ke pemerintah Malaysia. Membangun dan berkorban untuk negerinya itu. Sama seperti kebanyakan etnis Tionghoa di Indonesia, sebagian besar Tionghoa Malaysia tidak lagi punya ikatan dengan tanah leluhurnya.

Sementara Zakir adalah tamu. Buronan dari India yang mencari perlindungan di Malaysia. Tapi omongannya menyakiti pemilik rumah.

Zakir memang tidak pernah belajar soal akhlak. Di manapun dia hadir, tujuannya hanya menyakiti orang yang berbeda dengan dirinya. Dia sering mencela kitab suci agama lain, dengan menggunakan kacamata agamanya.

Ceramah-ceramahnya dihadiri banyak orang yang di hatinya penuh kedengkian terhadap keyakinan lain. Ternyata Zakir bukan hanya takfiri, tetapi juga sangat rasis.

Untung saja pemerintah Malaysia punya harga diri. Bagi Mahatir Muhammad, WN Malaysia berdarah Tionghoa posisinya jauh lebih mulia dibanding Zakir. Negara berkewajiban melindungi setiap warga negaranya, apapun sukunya. Apalagi dari mulut seorang tamu gak beradab seperti Zakir.

Ketika seruan deportasi Zakir makin meruak, tandanya Malaysia masih layak disebut sebagai negeri normal. Jika Zakir gak dideportasi, justru kita pantas menilai Malaysia gak punya harga diri. Membiarkan warganya dihina oleh orang asing yang nenumpang hidup disana, adalah kedunguan yang akut.

"Jika ada negara lain yang mau menampungnya, kami persilakan," ujar Mahatir. Ia seperti seorang bapak yang mau membuang sampah. Dan menawarkan ke tetangganya, apakah mereka membutuhkan makanan basi untuk hewan peliharaanya?

Malaysia, seperti juga Indonesia, memang sedang dilanda masalah yang sama. Puritanisme agama meningkat. Kaum radikal menguasai ruang publik di sana. Itulah yang membuat para petinggi Malaysia khawatir. Sebab kalau mereka diberi kuasa, mereka akan mengobarkan kebencian rasial dan agama.

Nah, Zakir adalah salah satu simbolnya.

Makanya pemerintah Mahatir sangat keras menentang radikalisme. Mereka menangkapi gerombolan yang tersusupi ideologi Hizbut Tahrir. Mereka juga punya UU Keamanan Negara, yang bisa digunakan untuk melindungu ideologi bangsanya.

Gerakan radikal di Malaysia kini juga sedang diperangi pemerintah. Para pembawa sel-sel Wahabi diawasi. Segala bentuk intoleransi mulai serius ditangani. Agar Malaysia kembali menjadi negeri normal. Bukan tempat Wahabi berkuasa. Untung saja UU Keamanan Negara di Malaysia masih berlaku.

Sementara Indonesia, tidak ada lagi UU Subversif. Jadi menjerat gerombolan HTI disini jauh lebih merepotkan. Kita gak punya payung hukumnya. Paling hanya membubarkan organisasinya saja. Orang yang berteriak khilafah, susah dikenakan hukuman.

Makanya gerombolan khilafah bebas menari-nari disini.

Semoga sampah seperti Zakir Naik tidak diekspor ke Indonesia. Sebab, saya yakin, daya rusaknya akan jauh lebih keras jika lelaki itu mencari perlindungannke Indonesia.

Sebaiknya kembalikan saja Zakir ke India. Suruh dia mempertanggubgjawabkan kelakuannya. Sebab di negaranya India, Zakir bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang kriminal yang kabur.

"Mas, di Indonesia soal penistaan agama dasar hukumnya belum dihapus kan?" tanya Bambang Kusnadi.

"Kita lagi ngomongin Zakir apa zakar, sih mbang? Kok, kamu nyambungnya ke Indonesia, sih?" Abu Kumkum kayaknya bingung.

Eko Kuntadhi

***