Segala tekanan dari publik dan tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh saat itu, membuat Vietnam memasuki titik balik krisis SARA di negaranya.
Ini adalah foto dari kejadian asli, sebuah foto yang memenangkan penghargaan World Press Photo Awards dan Pulitzer Awards.
Pagi itu, sekitar jam 7 pada tanggal 10 Juni 1963, seorang biksu Buddha membakar dirinya sendiri hingga meninggal dunia, di sebuah jalan raya di Vietnam.
Biksu tersebut bernama Quang Duc.
Tindakan itu ia lakukan sebagai bentuk protes pada pemerintah Vietnam yang saat itu berasal dari kubu Katolik Roma, yaitu Presiden Diem, yang dianggap amat represif, otoriter diskriminatif, dan bahkan melakukan banyak kekerasan terhadap kelompok Buddhist. Ketidakadilan pemerintahan Diem itu sudah berlangsung cukup lama.
Tanpa keributan atau kerusuhan apapun sebelumnya, di sebuah pagi yang damai, Quang Duc turun dari mobilnya diikuti oleh beberapa biksu.
Seorang biksu meletakkan bantal meditasi di tengah jalan. Kemudian, Quang Duc duduk bersila dengan posisi teratai dan masuk ke kondisi meditasi yang amat dalam.
Dua orang biksu lainnya mengambil beberapa jerigen minyak dari bagasi mobil, dan menyiramkan seluruh minyak tersebut ke tubuh Quang Duc. Kemudian, Quang Duc menyalakan korek sehingga seluruh tubuhnya terbakar.
Para biksu mengelilingi tubuhnya yang mulai menghangus sambil melafalkan doa Buddha. Fotografer yang mengambil gambar ini bercerita bahwa ekspresi Quang Duc sangat tenang, tidak terlihat amat kesakitan (diduga karena ia masuk ke kondisi meditatif yang dalam). Posisinya pun tidak berubah, yakni tetap duduk bersila sampai tubuhnya jadi arang, barulah ia jatuh terlentang.
Bau daging terbakar memenuhi seluruh penjuru kota. Para biksu yang berdiri di sekitarnya diam memberi penghormatan, sementara orang-orang lain yang berada di tempat itu melihat dengan tatapan tidak percaya. Beberapa terlihat shock dan menangis hebat.
Tubuh Quang Duc menjadi hangus dalam waktu 10-12 menit setelah api menyentuh tubuhnya. Para biksu kemudian mengkremasi tubuh tersebut, namun jantungnya tetap dibiarkan utuh sebagai simbol kesucian dan simbol "pengorbanan lebih tinggi di atas segala kepentingan pribadi".
Dengan cepat, berita tentang Quang Duc tersebar ke seluruh dunia dan menyentuh sisi kemanusiaan banyak pihak, termasuk Presiden AS, John F. Kennedy yang saat itu berkata "Ya Tuhan! Tidak ada aksi lain dalam sejarah yang sama mengharukannya seperti aksi di foto ini! Sungguh emosional, bagi seluruh dunia".
Publik bersimpati, mata mereka menjadi terbuka tentang ketidakadilan yang terjadi. Aksi protes Quang Duc sukses besar. Masyarakat memihak para biksu dan umat Buddhist. Quang Duc mungkin sudah meninggal, tapi perjuangannya tetap diteruskan oleh banyak orang yang tidak pernah dia kenal dan sangka sebelumnya, bahkan setelah bertahun-tahun setelah aksi berakhir.
Tak ada kekerasan. Keributan. Kericuhan.
Tak ada caci maki.
Tak ada vandalisme terhadap fasilitas publik di sana-sini.
Yang ada hanya pengorbanan dalam diam.
Yang ada hanyalah heroisme berbalut ketulusan pada tingkat yang paling tinggi: melepaskan nyawanya sendiri.
Demi membebaskan negara dari cengkraman pemerintahan yang penuh diskriminasi.
Yup. Tak menunggu lama, perubahan besar di Vietnam pun terjadi. Tindakan Quang Duc tak sia-sia. Segala tekanan dari publik dan tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh saat itu, membuat Vietnam memasuki titik balik krisis SARA di negaranya. Presiden Diem yang kejam pada akhirnya terguling, kemudian dieksekusi pada tanggal 2 November 1963.
Asa Firda Inayah
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews