Percayalah, kehormatan dan kebesaran Nabi Muhammad dengan Islam yang diajarkannya tidak akan berkurang dan menjadi kerdil hanya karena pandangan Macron.
Sebagai pengikut Muhammad, saya punya seruan sendiri tentang apa yang terjadi di Perancis; umat Islam jangan terprovokasi!
Saya tidak dalam kapasitas menilai apakah tindakan penghinaan yang disusul pembunuhan sebagai balasannya adalah benar atau salah, sebab hanya akan menghasilkan dua kutub pandangan berbeda, dua pandangan yang bukan saja seperti minyak dan air, melainkan seperti minyak dan api. Mudah tersulut, kemudian terbakar.
Suryakanta saya hanya fokus menyoroti satu titik di atas permukaan pandangan, yaitu soal kebebasan berekspresi yang sangat diagung-agungkan manusia di belahan Eropa, di daratan Amerika atau negara-negara lainnya. Konon, semua orang yang berada di daratan itu harus tunduk pada kebebasan berekspresi ini.
Come on, Bro, kebebasan berekspresi macam apa yang kalian maui? Kebebasan macam Charlie Hebdo kah yang kamu maksud? Atas nama kebebasan berekspresi, lalu semua orang bisa bikin majalah (media) satir khusus menghina agama, para pemeluk agama dan para penyebarnya?
Lalu kamu, Charlie, juga kamu Emmanuel Macron, bisa seenaknya menghamburkan kata-kata dan makian rasis, juga atas nama kebebasan berekspresi. Itukah kebebasan berekspresi menurut kalian? Sementara kalian marah saat Ahmadinejad 15 tahun lalu mengatakan "Holocaust itu hanyalah ilusi, sekadar mitos pembantaian orang Yahudi".
Secara pribadi yang membaca teks sejarah, tentu ucapan Ahmadinejad juga keterlaluan, tetapi itu mungkin cara yang ia lakukan untuk menakar sejauh mana orang Eropa menghargai kebebasan berekspresi ala pemimpin Iran itu. Apa yang terjadi kemudian? Orang-orang Eropa dan Amerika murka, mereka tidak lagi berpijak pada kebebasan berekspresi yang dipuja-pujanya. Terlihat standar ganda di sini.
Islam adalah fakta, Nabi Muhammad adalah fakta, Kristen dengan Nabi Isa (Jesus) pun fakta. Jika Holocaust adalah fakta, mengapa kalian, bangsa Eropa yang beradab, mempersoalkan fakta-fakta tersebut?
Dalam pandangan Islam, wajah Muhammad dilarang keras divisualkan dengan cara apapun, tetapi atas nama kebebasan berekspresi Charlie Hebdo menggambarkan sosok Nabi yang semua sabdanya diikuti miliaran umat manusia dengan seenaknya, cenderung menghina dan memprovokasi.
Benar bahwa seharusnya seni berbalas seni, pendapat berbalas pendapat, bukan dengan cara kekerasan apalagi dengan cara membunuh. Tetapi apakah kalian mau dengar kebebasan berekspresi manusia yang kalian rendahkan, wong Ahmadinejad menyatakan kebebasan berpikir dan berekspresi seperti itu saja kalian tersinggung, lalu marah.
Macron adalah anomali dari sekian pemimpin dunia yang punya pandangan ekstrem terhadap Islam. Dia sejatinya ekstrimis tulen, sebab ucapannya telah memprovokasi umat Islam, membenturkan peradaban secara nyata dan mendikotomikan secara jelas antara "kami" dengan "mereka".
Kalau saja Macron bukan seorang presiden, pemimpin sebuah negara, barangkali ucapannya tidak akan menuai badai. Sayangnya dia adalah presiden yang justru menuai badai, yang menyinggung perasaan umat pengikut Muhammad.
Bagaimana umat Islam harus bersikap? Jangan terprovokasi melakukan tindakan di luar batas-batas kemanusiaan, sebab boleh jadi jebakan itulah yang menjadi harapan Charlie dan Macron, untuk mengabarkan bahwa demikianlah Islam adanya; barbar, dendam dan penuh kebencian.
(Majalah) Charlie Hebdo dan simpatisannya, juga Macron, perlu dikasihani -sebab merekalah justru orang-orang yang perlu sentuhan peradaban- tetapi tidak harus dibunuh. Bukankah umat Islam mengamalkan sifat Allah "pengasih lagi penyayang"?
Percayalah, kehormatan dan kebesaran Nabi Muhammad dengan Islam yang diajarkannya tidak akan berkurang dan menjadi kerdil hanya karena pandangan Macron. Sebaliknya, muslim seperti saya harus menunjukkan bahwa pengikut Muhammad tidaklah secetek Macron.
Selalu tunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta, "Rahmatan lil Al-Amin".
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews