Qua Vadis, Lebanon?

Apa yang terjadi di Lebanon saat ini adalah spiral kematian dari tatanan pasca-perang saudara yang pernah meluluh-lantakan negara itu.

Rabu, 12 Agustus 2020 | 22:42 WIB
0
220
Qua Vadis, Lebanon?
Hassan Diab (Foto: islampos.com)

Mundurnya Kabinet Lebanon pimpinan PM Hassan Diab, hari Senin (10/8) atau enam hari setelah ledakan sebuah gudang di pelabuhan Beirut yang menewaskan paling kurang 200 orang dan melukai ribuan orang lainnya, menimbulkan setumpuk pertanyaan. Mengapa pemerintahan bubar, di tengah situasi yang tidak menentu? Quo vadis, Lebanon?

Apakah mundurnya kabinet itu sebagai bentuk pertanggung jawaban? Apakah mereka merasa telah gagal memenuhi harapan rakyat, yang antara lain menciptakan perdamaian dan kedamaian? Apakah merasa frustasi terhadap situasi yang entah mengarah ke mana?Apakah tindakan itu, mengundurkan diri, sebagai ketidak-beranian menanggung risiko yang begitu besar melihat Lebanon berada di pinggir jurang? Apakah mereka mundur karena desakan rakyat?

Masih ada banyak pertanyaan lain. Tetapi, seperti dikatakan Thomas L Friedman (1989),  Lebanon (Beirut) adalah sebuah negara (kota) yang selalu memancing lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Pertanyaan bukan hanya bagi orang luar, tetapi juga penduduk negeri itu sendiri.

Tragedi tanggal 4 Agustus itu, akibat ledakan 2.750 ton ammonium nitrat yang ledakkannya terdengar sampai Siprus yang berjarak 240 kilometer itu, mempertegas berbagai persoalan yang membelit Lebanon, selama ini. Banyak unsur penyebabnya baik dalam maupun luar negeri, yang membuat rakyat semakin menentang pemerintah, para politisi yang dianggap korup, dan menginginkan perubahan total Lebanon, termasuk sistem politiknya.

Peta Politik

Lebanon adalah negeri yang tidak pernah lepas dari persoalan, sejak berakhirnya perang saudara, 1975-1990.  Berbagai persoalan menghimpit bahkan menindih negeri itu: badai ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial yang sempurna, termasuk korupsi yang semakin merajalela. Krisis Suriah menambah persoalan Lebanon, karena antara lain membanjirnya pengungsi ke negeri itu (1,5 juta jiwa pluas sekitar dua juta pengungsi Palestina), serta keterlibatan Lebanon—dalam hal ini Hezbolleh—dalam konflik di Suriah.

Selama beberapa dekade Lebanon telah menempatkan kekuatan politik di antara agama dan sekte sebagai alat untuk menjaga perdamaian di antara mereka. Meskipun dirancang untuk memastikan bahwa semua orang Lebanon memiliki suara dalam pemerintahan, sistem tersebut telah dikuasai oleh elite yang mengakar. Elite ini membagi-bagikan pekerjaan pemerintah berdasarkan sekte (The Economist, 8/8/2020).

Dengan jaminan kekuasaan, mereka dapat merampok kementerian. Menurut Bank Dunia, dampak buruk dari skema patronase merugikan Lebanon 9 persen dari PDB setiap tahun. Korupsi marak (menempati peringkat 137 dari 180 negara–tahun 2018: 138 dari 175 negara—terkorup menurut Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2019).

Penduduk Beirut mencatat bahwa ledakan terjadi di pelabuhan kota, yang dikenal sebagai “gua Ali Baba dan 40 pencuri”, karena tuduhan pencurian, penyuapan, dan penggelapan di fasilitas milik pemerintah. Sementara itu, angka kemiskinan diperkirakan naik dari 45 persen, 2019, menjadi lebih dari 75 persen, pada akhir 2020 (https://www.change.org/).

Nilai mata uang Lebanon, lira, terus merosot. Bagi kebanyakan orang Lebanon, kehidupan telah menjadi rangkaian krisis yang tak berkesudahan. Harga-harga konsumen naik 90 persen setahun dan 246 persen untuk makanan.

Misalnya, harga sekaleng Nescafé seberat 500 gram berharga 10 persen dari upah minimum bulanan; satu kilogram daging sapi seharga 15 persen upah minimum bulanan. Tentara tidak lagi diberi menu daging untuk memotong biaya. Pada tanggal 30 Juni, pemerintah menaikkan harga roti sepertiga, kenaikan pertama dalam satu dekade. Separuh negara sekarang hidup di bawah garis kemiskinan, dan tiga perempatnya mungkin membutuhkan bantuan pada akhir tahun (Middle East & Africa, 5/8/2020). Karena itu,  angka kemiskinan diperkirakan naik dari 45 persen, 2019, menjadi lebih dari 75 persen, pada akhir 2020 (https://www.change.org/).

Krisis politik di Lebanon makin terlihat nyata sejak pecahnya demonstrasi besar-besaran pada pertengahan Oktober 2019. Demonstrasi ini dipicu oleh kebijakan  pemerintah menerapkan pajak baru, antara lain pada rokok, bahan bakar, dan platform media sosial seperti WhatsApp.

Demonstrasi yang dengan cepat berubah menjadi demonstrasi anti-pemerintah yang dianggap korup, tidak becus, dan salah kelola ekonomi, berujung pada mundurnya PM Saad Hariri. Akan tetapi, yang terjadi itu dapat dikatakan hanya sebagai puncak gunung es persoalan di Lebanon. Krisis politik ini telah menarik sektor-sektor lain masuk ke jurang krisis pula.

Jatuhnya Saad Hariri disusul dengan pembentukan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan PM Hassan Diab, pada Januari 2020. Kabinet Diab yang beranggotakan 20 orang adalah yang pertama sejak 2005 yang seluruhnya terdiri dari partai-partai dari satu blok politik (Aliansi 8 Maret; yakni koalisi partai-parti politik dan independen yang dibentuk tahun 2005. Mereka disatukan karena sikap pro-Suriah-nya).

Sementara partai-partai yang tergabung dalam Aliansi 14 Maret, menentang pencalonan Diab dengan alasan bahwa Diab dipilih oleh sekutu Hizbullah. Karena itu, Aliansi 14 Maret,  memboikot pemerintah. Gerakan Aliansi 14 Maret berbasis pada Gerakan Patriotik Bebas (FPM), yang mengobarkan Perang Pembebasan melawan tentara  Suriah pada 14 Maret 1989. Mereka ambil bagian dalam semua demonstrasi menentang pendudukan Suriah atas Lebanon (1976-2005) sampai lahir Revolusi Sedar, 14 Maret 2005. 

FPM memisahkan diri dari Aliansi 14 Maret setelah pada tanggal 6 Februari 2006, pemimpinnya Michel Aoun (sekarang presiden) menandatangani Memorandum Kesaling-pengertian (MOU) dengan Hezbollah. Langkah itu dilakukan, karena FMP berpendapat bahwa perlawanan terhadap Suriah berakhir, setelah tentara Suriah meninggalkan Lebanon pada akhir April 2005. 
Dan, yang menarik adalah FMP kemudian bergabung dengan bekas rivalnya yakni Aliansi 8 Maret. Mereka membentuk koalisi. Inilah yang namanya politik: tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.

Tetapi, pada akhirnya Hassan Diab dari Aliansi 8 Maret pun akhirnya meletakkan jabatan, karena tak mampu lagi menanggung beratnya bebab: karena krisis politik berkepanjangan, ekonomi, sosial, masalah pengungsi, dan juga dampak pandemi Covid-19.
Kabinet Diab yang mundur ini terdiri dari kaum teknokrat dan kebanyakan bukan politisi karir. Meski demikian, sebagian besar memiliki ikatan dengan partai politik yang sudah mapan, sehingga kemungkinan besar terlalu dikendalikan partai, meski bukan orang partai.

Kebanyakan orang Lebanon ingin meninggalkan sistem pembagian kekuasaan, berdasarkan Pakta Nasional 1943. Mereka, terutama anak-anak muda, menginginkan semakin sedikit perasaan ditentukan oleh agama. Hal itu terungkap dalam demonstrasi besar-besaran Oktober 2019 yang memaksa Pemerintah Saat Hariri, mundur.
Zaman Baru

Pada tahun 1943, Lebanon memperoleh kemerdekaan dari Perancis, penguasa kolonial. Ketika itu, para pemimpin politik menyepakati Pakta Nasional informal—yang nantinya diformalkan dalam pertemuan di Taif yang menghasilkan Persetujuan Taif 1989, untuk mengakhiri perang saudara. Pakta ini menjadi dasar bangunan sistem pemerintahan Lebanon  yang memungkinkan adanya perwakilan proporsional dari tiga kelompok agama utama yang diakui resmi sesuai dengan jumlah penduduknya berdasarkan sensus tahun 1932.

Ketiga kelompok agama itu adalah Kristen Maronit yang merupakan denominasi terbesar saat itu (menduduki jabatan presiden), Muslim Shiah (menempati pos ketua parlemen), dan Muslim Sunni (menduduki jabatan perdana menteri). Inilah Pakta Nasional 1943.

Tetapi, Pakta Nasional tersebut ternyata tidak menyelesaikan perbedaan sektarian, yang pada akhirnya memicu pecahnya perang saudara 1975. Perang saudara ini menarik kekuatan luar campur tangan: Suriah dan Israel. Pasukan Suriah akhirnya keluar dari Lebanon tahun 2005 setelah menguasi negeri itu selama 29 tahun; tetapi lalu diikuti perang antara Israel dan Hezbollah pada tahun 2006.

Hal lain lagi yang memberikan sumbangan besar terhadap instabilitas di Lebanon adalah  politik Lebanon telah menjadi medan pertempuran proksi bagi Iran, yang memberikan dukungan bagi Hizbullah; dan Arab Saudi, yang mendukung Perdana Menteri Saad Hariri (yang mundur Oktober 2019) dan politisi Sunni lainnya. Keluarnya pasukan Suriah ternyata tidak mengurangi keterlibatan kekuatan asing di Lebanon.

Krisis politik yang sekarang ini semakin berat adalah sebagian besar disebabkan oleh  campur tangan Hezbollah  dalam berbagai konflik di kawasan. Misalnya, di Suriah, Irak, dan juga Yaman. Yang lebih berat, mereka mengesampingkan negara, dan mendeklarasikan perang dan perdamaian di mana pun yang dipilihnya.

Semua itu memberikan gambaran tentang Lebanon sebagai sebuah negara yang sebenarnya tidak pernah memiliki kedaulatan penuh. Lebanon menjadi arena kompetisi Israel-Iran (lewat proksinya, Hezbollah), dan juga Arab Saudi – Iran. Apakah “nasib” Lebanon akan seperti, misalnya, Suriah, Yaman, Irak, dan juga Libya yang menjadi mandala pertarungan kekuatan asing, dan akhirnya hancur?

Menurut Steven A Cokk (Foreign Policy, 30/7/2020), penyebab langsung dari kehancuran Lebanon bukan hal di atas. Apa yang terjadi di Lebanon saat ini adalah spiral kematian dari tatanan pasca-perang saudara yang pernah meluluh-lantakan negara itu. Tidak seorang pun—apalagi orang Lebanon sendiri—tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Boleh jadi, desakan kaum muda yang diteriakkan pada demonstrasi Oktober 2019 adalah jawabannya: pembongkaran sistem politik lama—sistem politik confessional atau sistem politik sektarian—dengan  para elite politik lama yang dirasakan sudah tidak cocok lagi dengan kondisi zaman, dan tak mampu menjawab persoalan dan tantangan zaman.

Sistem politik saat ini—dan para pemain, elite politik saat ini yang sebagian besar merupakan sisa dari perang saudara selama lima belas tahun itu — membuat politik dan ekonomi Lebanon terkunci dalam hubungan parasit dan simbiosis yang rentan terhadap korupsi, politik identitas, dan manipulasi eksternal yang hampir konstan.

Apakah jalan itu jawabannya? Kalau bukan itu, Quo vadis, Lebanon? Mau ke mana Lebanon? Menyusul Irak? Suriah? Yaman? Atau Libya? Rakyat Lebanon sendiri—bukan negara-negara lain, kekuatan asing—yang dapat menjawab pertanyaan sekaligus menentukan masa depan bagi negeri itu.

***