Jangan heran jika ada banyak persamaan budaya di antara bangsa-bangsa di Asia Tenggara, semua memiliki akar budaya yang sama.
Dalam pertemuannya dengan wartawan di sela-sela Perhimpunan Agung UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 1993, Deputi Ketua UMNO Terpilih Anwar Ibrahim ditanya, apakah ia akan langsung mengisi jabatan Deputi Perdana Menteri yang ditinggalkan Gaffar Baba?
Ia menjawab, ia belum memutuskan hal itu. ”Sampai saat ini, saya belum mempunyai rencana apa-apa, saya bersikap luwes saja,” ujar Anwar Ibrahim.
Ia menegaskan, ia sengaja menggunakan kata ”luwes” ketimbang kata fleksibel, yang diambil dari bahasa Inggris. Menurut saya, kata ”luwes” itu memiliki arti yang lebih dalam. Oleh karena ”luwes” itu bukan hanya sekadar berarti ”lentur” atau ”mudah menyesuaikan diri”, tetapi penyesuaian diri itu juga dilakukan dengan anggun (bergaya).
Anwar Ibrahim kemudian menengok ke arah para wartawan Indonesia, dan sambil tersenyum berkata, kalian jangan kaget, dan jangan merasa bahwa Malaysia mengambil atau mencomot kata ”luwes” dari bahasa Indonesia.
Ingat, kata ”luwes” itu adalah serapan dari bahasa Sansekerta, jadi wajar saja jika Malaysia juga menggunakannya, mengingat Indonesia dan Malaysia sama-sama dipengaruhi oleh kebudayaan yang sama, yakni kebudayaan India.
**
Anwar Ibrahim pada waktu itu berada di puncak kekuasaan Malaysia. Selain menjabat sebagai Deputi Ketua UMNO, ia juga menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia. Ia bahkan digadang-gadang akan menjadi penerus Mahathir Mohamad, Ketua UMNO dan Perdana Menteri.
Namun, 5 tahun kemudian, Anwar Ibrahim dipecat dari kedudukannya karena dituduh melakukan tindakan tidak senonoh (sodomi). Banyak pengamat internasional yang menganggap langkah itu dilakukan Mahathir Mohamad untuk menyingkirkan Anwar Ibrahim menyusul perselisihan antara keduanya pada tahun 1997.
Anwar Ibrahim boleh saja disingkirkan, tetapi apa yang dikatakan di dalam pidatonya pada tahun 1993 itu benar. Indonesia dan Malaysia memang dipengaruhi oleh kebudayaan yang sama.
Akan tetapi, bukan hanya itu. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk bangsa Melayu, sejatinya adalah keturunan dari orang-orang Yunan, di China bagian selatan, yang bermigrasi ke arah tenggara, ke wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Asia Tenggara. Disebutkan bahwa ada dua kali, atau ada dua gelombang, migrasi besar-besaran dari orang-orang Yunan ke tenggara.
Migrasi pertama berlangsung pada tahun 1.500 Sebelum Masehi (SM), orang-orang ini dikenal sebagai Proto Melayu (Melayu Tua). Dan, migrasi yang kedua terjadi pada tahun 500 SM, orang-orang dikenal sebagai Deutro Melayu (Melayu Muda). Orang-orang Deutro Melayu sudah mengenal kehidupan bercocok tanam, atau bertani.
Orang-orang yang berasal dari Yunnan dan tersebar di wilayah Asia Tenggara ini kemudian dipengaruhi oleh kebudayaan India, sebelum agama Islam dan bangsa-bangsa Barat datang.
Oleh karena itu jangan heran jika ada banyak persamaan budaya di antara bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Semua memiliki akar budaya yang sama. Misalnya, keris, batik, wayang, dan bahkan juga bahasa.
Bahasa Melayu pun tersebar secara meluas. Bahasa Melayu digunakan oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, orang-orang yang tinggal di Thailand Selatan, serta suku Champa di Vietnam tengah dan di Kamboja.
Pertunjukan wayang kulit dengan permainan bayangan (shadow poppet) biasa dilakukan di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Kamboja. Namun, bentuk wayangnya berbeda-beda. Sementara Vietnam memiliki pertunjukan sejenis wayang golek, tetapi pertunjukannya dilakukan di atas kolam air.
Batik juga menjadi kesenian di China dan di beberapa wilayah Asia Tenggara lainnya. Jadi, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki batik. Namun, tiap wilayah memiliki batik dengan corak dan kekhasannya masing-masing.
Keris pun demikian. Ada jenis keris seperti yang dikembangkan di Indonesia, dan ada pula keris Melayu seperti yang ditemui di Singapura, Brunei dan Malaysia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews