Kebijakan Luar Negeri dan Upaya Menegakkan HAM

Masyarakat mendukung kebijakan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Bebas dalam artian berpendapat tanpa ada tekanan dari pihak luar, karena memang ita tidak memihak blok tertentu.

Rabu, 24 November 2021 | 17:56 WIB
0
125
Kebijakan Luar Negeri dan Upaya Menegakkan HAM
Diplomasi politik luar luar negeri (Foto: detik.com)

Indonesia memiliki kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sehingga memudahkan untuk diterima dalam pergaulan dunia. Di sisi lain, masyarakat pun mengapresiasi upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang saat ini terus diupayakan Pemerintah.

Selain memiliki kebijakan politik dalam negeri, Indonesia juga memiliki kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Hal ini dicanangkan sejak era orde baru, sehingga kita bisa menentukan sikap dalam forum internasional dan tidak terbawa dalam arus pergaulan. Penentuan sikap ini penting karena beberapa negara ada yang membuat kubu tertentu, karena memiliki kesamaan.

Pemerintah memang tidak memihak pada 1 blok tertentu. Bahkan Indonesia pernah jadi tuan rumah gerakan non-blok dan memiliki posisi yang dihormati oleh negara lain. Baik oleh negara di dalam gerakan non-blok maupun yang bukan anggotanya. Politik bebas aktif berarti pemerintah bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada 1 kekuatan dunia serta secara aktif.

Kebijakan politik luar negeri sangat penting, terutama dalam pergaulan internasional. Misalnya di forum seperti sidang PBB, perwakilan pemerintah Indonesia bertemu dengan perwakilan negara-negara lain. Ketika ada yang ‘menyenggol’ maka dengan prinsip bebas aktif, kita bisa bersikap bebas tanpa harus membebek, dan secara aktif menegaskan prinsip negara.

Pada beberapa kali sidang PBB negara kepulauan bernama Vanuatu sempat menyindir Indonesia yang dianggap tidak memberi hak asasi kepada rakyat Papua. Dalam artian, mereka mendukung referendum dan secara tidak langsung ingin mempermalukan pemerintah Indonesia di forum internasional.

Akan tetapi perwakilan pemerintah Indonesia langsung mendebat. Sekretaris ketiga Kementrian luar negeri RI Sindy Nur Fitri menyatakan bahwa Vanuatu telah melakukan tuduhan palsu, tidak berdasar, bahkan keliru tentang Papua. Permasalahan HAM di Bumi Cendrawasih telah dipelintir, karena faktanya tidak seperti itu.

Sindy menambahkan, seharusnya pemberontak (KST dan OPM) di Papua yang dipermasalahkan karena melanggar hak asasi. Mereka telah melakukan berbagai teror dan mengancam keselamatan warga Papua, bahkan sampai ada korban jiwa. Baik dari warga sipil maupun aparat.

Kalau sudah begini maka jelaslah KST dan OPM yang bersalah karena melakukan pelanggaran HAM besar, karena kasus pembunuhan adalah pelanggaran hak azasi terkeji. Akan tetapi mereka malah playing victim dengan menuduh pemerintah Indonesia, lalu mencari dukungan dari negara lain seperti Vanuatu. Padahal Vauatu sediri tidak punya hak sama sekali untuk mencampuri urusan interal Indonesia, apalagi mengadu ke PBB.

Pelanggaran HAM di Papua memang dipermasalahkan karena pemerintah Indonesia dituding karena tidak memberikan kemerdekaan pada rakyat Papua. Padahal yang meminta referendum hanya OPM dan KST, yang tidak mewakili suara rakyat di Bumi Cendrawasih.

Pemerintah tetap bersikap tegas jika ada yang menyinggung tentang Papua. Lebih baik pihak luar berpikir terlebih dahulu baru berbicara, daripada asal tuduh dan akhirnya mempermalukan dirinya sendiri. Pelajari sejarah masuknya Papua sebagai provinsi di Indonesia, dan hal itu sudah sah karena sesuai dengan hukum internasional.

Masyarakat mendukung penuh kebijakan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Bebas dalam artian berpendapat tanpa ada tekanan dari pihak luar, karena memang ita tidak memihak 1 blok tertentu. Aktif berpendapat dan mempertahankann argumennya dalam forum internasional, apalagi jika yang dibahas adalah permasalahan hak asasi maunusia.

Zakaria, penulis adalah kontributor Pertiwi Institute