Membaca Road Map Politik Taliban

Takiban gagal memanfaatkan kesempatan yang diberikan AS untuk kembali ke meja runding dan membicarakan kembali masa depan afghanistan.

Selasa, 10 September 2019 | 18:51 WIB
0
416
Membaca Road Map Politik Taliban
Taliban (Foto: Thedefensepost.com)

Sudah 18 tahun lebih rezim Taliban Afghanistan dilengserkan Amerika dan sekutunya.

Sejak saat itu juga, Taliban terusir ke pinggir dan ke pelosok-pelosok Afghanistan dan diperangi tanpa ampun.

Imarah Islam Taliban Afghanistan bukan hanya runtuh, 2001 sampai 2018 nyaris Taliban tidak menemukan panggung politik sama sekali.

Pada dasarnya, Taliban yang sangat keukeuh dengan ideologi fundamentalisnya sangat mengakar di Afghanistan, sayang, Taliban tidak mau mengubah haluan perjuangannya sedikitpun.

Pada awal 2018, Taliban sudah mulai melunak dan membuka diskusi dengan Amerika, maka diadakanlah pembicaraan politik bilateral antara Taliban-Amerika di Doha, Qatar.

Di antara hal yang disetujui oleh keduabelah pihak adalah transisi politik di Afghanistan yang akan melibatkan langsung Taliban untuk pertama kali sejak 2001.

Taliban meminta AS menarik seluruh tentara di Afghanistan yang saat ini berjumlah 14.000 pasukan. Namun AS hanya memyetujui penarikan 6.000 saja.

Selain itu, Taliban ngotot tidak mengakui pemerintah yang sah Afghanistan saat ini di bawah Asyraf Ghani. Taliban hanya mau deal-deal-an dengan AS saja tanpa melibatkan rezim Ghani.

Sebenarnya sikap Taliban ini adalah sikap ekstrem dalam politik yang untuk era saat ini pasca 18 tahun konflik senjata di sana sudah sangat tidak relevan lagi dilanjutkan.

Dengan sikap ekstrem ini, Taliban akan kehilangan kesempatan berkuasa di Afghanistan kembali, tidak mungkin menguasai Afghanistan jika rezim resmi tidak dirangkul.

Sikap ekstrem Taliban ini membahayakan masa depan Afghanistan dalam jangka waktu lama. Mengingat Afghanistan sekarang sudah sangat hancur akibat perang berkepanjangan.

Taliban seharusnya melunakkan sikapnya dalam bernegosiasi saat mereka sudah firm membuka pintu dialog dengan AS, gak harusnya setengah setengah.

Sikap ekstrem Taliban ini semakin menjauhkan Afghanistan dari kata damai, seharusnya Taliban bertanggungjawab untuk memulihkan keadaan dengan cara cara elegan bukan lagi dengan kekuatan senjata dan gerilya yang tak berujung.

Banyak gerakan Islam di dunia saat ini sudah mengubah haluannya agar lebih adaptatif demi kemaslahatan rakyat dan follower-nya. Taliban seharusnya belajar kepada cara cara soft power dan mau menerima demokrasi seperti sudah dilakukan di banyak negara Islam.

Sikap ekstrem Taliban ini dibuktikan kembali setelah pada Sabtu lalu Taliban kembali melakukan bom bunuh diri di tempat terbuka umum, atas kejadian ini, akhirnya Donald Trump meng-cancel pertemuan dengan Taliban yang direncanakan pada ahad kemarin.

Penundaan pertemuan Trump dengan Taliban adalah langkah mundur ke belakang, Taliban gagal memanfaatkan peluang emas ini, padahal dengan bertemu Trump selangkah lagi Taliban akan kembali berkuasa di Afghanistan dan secara otomatis Taliban juga bisa menyingkirkan rezim Asyraf Ghani di waktu yang sama.

Takiban gagal memanfaatkan kesempatan yang diberikan AS untuk kembali ke meja runding dan membicarakan kembali masa depan Afghanistan.

Sangat disayangkan, Taliban tidak mengambil pelajaran dari gelombang Arab Spring yang berhasil menaikkan banyak gerakan Islam ke tampuk kekuasaan negara. Taliban masih tidak berubah, dan sikap ekstrem ini jelas merugikan Taliban itu sendiri terutama semakin menambah panjang masa tunggu rakyat dalam kepedihan dan penderitaan.

Sungguh politik ekstrem iIslam ala tTaliban sudah keluar dari nafas Islam itu sendiri, ekstremisme Taliban yang tidak lentur sama sekali tidak bisa disebut militan tapi sudah mengarah kepada ekstremisme berbahaya dalam fikih politik Islam.

Tengku Zulkifli Usman, Analis Politik Dunia Islam.

***