Wahabi, Syi'ah Berdamai Berkat Komunis

Setelah berhasil membuat Teheran dan Riyadh bersalaman, China juga sedang berusaha keras agar Zelensky dan Putin mau duduk bicara soal berdamaian.

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:40 WIB
0
212
Wahabi, Syi'ah Berdamai  Berkat Komunis
Perdamaian Iran-Arab ditengahi China (Foto: Facebook)

Dunia sedang berubah. Ukraina merasakan perubahan itu.

Ukraina mau jadi sekutu AS. Mereka bersedia melakukan apapun agar diterima menjadi bagian dari NATO. Posisinya ada di Eropa Timur. Berbatasan dengan Russia. 

AS senang ada sekutu baru. Ia mendorong Ukraina teguh dengan keinginannya. Tapi, Russia sebel. Bagaimanamungkin ada negara yang posisinya berada di halaman depan, mau mempersenjatai diri yang moncongnya di arahkan ke Kremlin. Putin memperingati Zelensky agar mengurungkan niatnya.

Lebih baik, berdamai-damai saja ketimbang kamu menempatkan senjata di depan pagar rumahku. Begitu kata Putin.

AS terus memprovokasi Ukraina untuk melawan. Jangan takut. Kalau kamu bagian dari NATO, bagian dari sekutu AS, kami akan membantumu. Kami tidak akan membiarkan kamu sendiri. Begitu rayunya.

Maka Zelensky tetap ngotot. Ia yakin, teman-temannya akan membantu jika Russia marah. Ia percaya diri. 

Putin beneran marah. Ia langsung menyerang Ukraina. Eropa kelabakan. Perang ada di depan pintu rumahnya. Tentara Russia yang ditakuti sedang ngamuk gak jauh dari halamannya juga.

Eropa membantu Ukraina sebisanya. Tapi AS cuma bisa teriak-teriak dari jauh. Gak bantuin apa-apa. Eropa dan Ukraina dibiarkan menderita sendiri.

Rusia adalah pemasok gas buat Eropa. Akibat perang itu, AS bahkan mengijinkan pipa gas yang menyambungkan Russia dan Eropa dibom. Pasokan gas ke Eropa terhenti. 

Sialan. AS buru-buru menawarkan gasnya agar Eropa membeli dari mereka. Karena posisi Amerika jauh, gas itu perlu dibawa dengan kapal. Ada ongkos angkut. Harganya pasti lebih mahal dari gas Russia. Tapi peduli setan. Yang penting Amerika bisa menjual gas buat Eropa.

Ekonomi Eropa amburadul. Selain dipaksa membantu Ukraina mereka juga harus memberi gas dari pemasok baru yang mencari untung : AS.

Eh, busyet. Ini negara adidaya, ketika sekutunya dibombardir, boro-boro bantuin. Tapi malah nyari untung dari perang tersebut. Sedangkan Eropa disuruh membantu Ukraina dengan duit dari kantongnya sendiri. Eropa benar-benar jadi jongos AS dan Ukraina merasakan betapa gak enaknya berteman dengan negara yang cuma mau untung sendiri saja.

Saudi mungkin melihat itu dengan perasaan masygul. "Ana kan, selama ini setia jadi jongos AS. Kalau melihat kejadian Ukraina yang dibiarkan menderita sendiri. Ini bahaya. Apalagi Iran yang selama ini diminta AS untuk dimusuhi persenjataanya makin canggih. Hasil embargo AS, malah bikin Iran makin maju teknologinya," bisik petinggi Saudi.

Ogah. Ogah. Ada gak mau lagi jadi jongos AS yang akan dibiarkan mati sendiri kayak Ukraina. AS bukan sahabat setia. Mereka bahkan akan membiarkan Saudi hancur jika itu tidak menguntungkan dirinya.

Nah, sadar akan suasana itu, Saudi akhirnya gak mau lagi musuhan dengan Iran. Atas bantuan China mereka duduk berdampingan untuk berdamai. 'Ngapain kita berantem, hanya karena diadu-adu oleh AS. Bukankah berteman akan jauh lebih baik?"

Jangan kaget jika belum lama ini Saudi dan Iran duduk mesra. Membangun kembali kerjasama. Difasilitasi oleh China. 

Masabodo dengan perintah AS. Berteman dengan orang serakah lebih banyak rugi ketimbang untungnya.

Bagi AS ada dua musuh besar. Secara ekonomi China merupakan ancaman. Secara militer ada Russia yang ditakuti. Kini Iran dengan perkembangan teknologi militernya juga bikin degdegan.

AS gak berani berhadapan langsung dengan mereka. Perang itu makan biaya. Kalau mau melawan musuh, mendingan komporin negara-negara tolol untuk mau berperang. Jangan turun tangan sendiri.

Cukup Vietnam, Afganistan atau Iraq yang merobek-robek kantong AS. Itupun gak bisa disebut sukses. Di Vietnam, tentara AS pulang dengan tangisan memilukan.

Belajar dari sana AS lebih suka nyuruh orang berantem dengan Rusia, China atau Iran. Namanya perang Proxy. Untuk Rusia digunakan Ukraina. Untuk berantem sama China digunakan Taiwan. Sementara untuk Iran, dipasang Saudi.

Tapi orang juga mulai belajr, betapa liciknya negara Yankee itu. Maunya untung sendiri tetapi resiko gak mau ditanggung.

Dengan kekuatan ekonominya China mulai memainkan peranan. Mereka mendamaikan negeri yang bertikai dengan mendudukan Iran dan Saudi dalam satu meja. Ternyata benar, Iran dan Saudi lebih suka berdamai ketimbang terus menerus termakan provokasi.

AS pasti sebel.

Bukan hanya Iran dan Saudi yang mau didamaikan China. Xi Jingping juga bertemu Putin untuk menggagas berhentinya perang Ukraina. Putin senang saja, asal Ukraina gak jadi negeri terlalu tolol yang mau saja dikompori AS.

Dengan gagasan China itu, Eropa sedikit lega. Mereka juga capek dengan perang yang merugikan ekonominya. Putin pun mau duduk bareng. entahlah, apakah Zelensky lebih memilih jadi abu demi menjadi budak AS atau mau ikut peta damai yang sedang digagas China.

Perang memang makan biaya besar. Tidak ada pemenang dalam perang era sekarang. Yang ada semuanya kalah. Makanya AS ogah perang. Dia lebih suka memanfaatkan negeri lain yang berperang agar bisa menangguk untung.

Dengan proposal China, mungkin saja kedamaian bisa tercipta. Kita tunggu saja. Setidaknya setelah berhasil membuat Teheran dan Riyadh bersalaman, China juga sedang berusaha keras agar Zelensky dan Putin mau duduk bicara soal berdamaian.

Tinggal Biden di Gedung Putih yang melongo. Hai, negara mana lagi yang bisa kita rampok? 

"Aneh ya, mas. Wahabi dan Syiah yang pernah saling mengkafirkan. Kini berdamai berkat negara komunis," ujar Abu Kumkum.

Dunia memang sedang berubah Kum...

Eko Kuntadhi