Belajar dari Revolusi di Libya

Apa yang terjadi di Libya bukanlah revolusi. Mana mungkin ini revolusi rakyat, sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Khadafi.

Kamis, 12 Mei 2022 | 11:42 WIB
0
232
Belajar  dari Revolusi di Libya
Unjuk rasa di Libya (Foto: Facebook.com)

Terlepas dari kontroversi yang menyertai aksi aksi eksentriknya, yang mengundang decak kagum dan geleng geleng kepala para pemimpin negara lain dan pengamat politik dunia - selama 42 tahun berkuasa, sejak 1969, Kolonel Moammar Khadafi (1942-2011) berhasil memakmurkan negerinya. Dia menjadikan Libya negeri terkaya dan termakmur di Afrika Utara.

Mengubah negeri gurun yang miskin menjadi negeri paling sejahtera di jazirah Arab Afrika. 

Rakyatnya mendapat fasilitas nyaris serba gratis, biaya pendidikan gratis hingga universitas - bahkan juga untuk mereka yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Juga bermacam subsidi sehingga harga minyak murah, listrik murah, kebutuhan pokok melimpah, air bersih disuling dari laut. Pendeknya, makmur sejahtera.

Dan apa yang terjadi kini? Negeri ini luluh lantak, terpecah belah, faksi faksi saling berebut kekuasaan. Sebelas tahun sudah revolusi Libya berjalan dan rakyat Libya menyesalinya kini!

Alih alih mengalami perubahan positif, negeri Afrika Utara itu terjebak kekacauan tanpa akhir. Revolusi di Libya menghasilkan kerusuhan dan aksi aksi terorisme. Pemerintahan terpecah belah.

Hal yang mengenaskan, Moammar Khadafi dibunuh rakyat sendiri di jalanan dengan cara yang mengerikan. Pada Oktober 2011, gerilyawan menangkap dan membunuh Khadafi di kota kelahirannya, Sirte, dan menggulingkan rezimnya yang telah berkuasa selama 42 tahun.

Apa yang terjadi di Libya bisa terjadi di Indonesia. Rakyat dihasut untuk membenci pemimpin yang mensejahterakan rakyatnya. Melalui penyebaran hoax, adu domba, doktrin agama dan kebencian, terus menerus, membuat rakyat terombang ombing, menjadi beringas, turun ke jalan, anarki dan membunuh.

NATO dan Amerika telah menghancurkan Libya – berdalih menyelamatkan rakyat Libya dari kediktatoran Khadafi. 

Modus yang sama dilakukan di Irak, Suriah, Yaman dan kini untuk Indonesia. Membikin resah dan rusuh negeri negeri yang kaya sumber daya alam yang menentang hegemoni mereka.

Libya adalah contoh revolusi dan kebebasan yang giat diperjuangkan tapi tidak menghasilkan apa yang diinginkan. Alih alih mendapatkan negeri bebas, berdaulat, demokratis dan sejahtera, yang terjadi malah sebaliknya. 

Lima belas tahun yang lalu dan sebelumnya - Libya merupakan negara yang mengagumkan dan menakutkan. Mengagumkan karena kaya raya dan memakmurkan rakyatnya.

Menakutkan karena mengekspor terorisme ke seantero dunia. 

Libya yang anti imperialis, anti Amerika memiliki kamp pelatihan teroris yang mengekspor paham militannya ke berbagai negara, termasuk Indonesia dan Filipina. Mendukung gerakan kelompok kelompok militan di negeri asing.

Banyak orang GAM yang menjalani pelatihan di Libya. Negeri jiran Filipina diganggu oleh pembrontakan MNLF yang pendanaan, senjata dan pelatihannya didukung Libya.

Akan tetapi rakyat Libya menyesalkan penggulingan Muammar Khadafi kini. Bukan karena mereka mencintai rezimnya - akan tetapi karena pilihan revolusi ternyata tak sesuai harapan. Kekacauan dan kondisi tidak aman menggantikan keamanan 15 tahun lalu. Dan lebih buruknya lagi praktik korupsi merajalela di seluruh Libya.

"Ketika kami berdemonstrasi menentang rezim (Khadafi), kami memimpikan kebebasan dan menikmati kekayaan kami. Namun, kami sekarang dikelilingi oleh penjahat dan gembong perang. Bukannya menikmati kekayaan minyak kami, kemiskinan telah meningkat dan warga tak berdaya," kata warga Libya di tahun ke enam setelah Khadafi jatuh.

Ibtisam Naili, seorang perawat di Tripoli, mengatakan percaya ada persekongkolan internasional dalam revolusi itu.

"Mereka yang berdemonstrasi menentang rezim Khadafi pada 2011 dibodohi politisi Libya di luar negeri yang sangat menginginkan kekuasaan. Mereka mengambil-alih kekuasaan dengan mencuci otak pemuda Libya," katanya. Naili menyatakan, Libya telah terpecah akibat konflik di seluruh negeri.

"Barat dan Timur (Libya) terpisah dan hasilnya tiga pemerintah yang bertikai yang mengakui keabsahan dan dua parlemen di timur dan barat, keduanya mengaku 'mereka mewakili rakyat Libya'," kata Naili, geram.

"Kami (dulu) turun ke jalan dengan spontan. Kami bersatu sekalipun kami tidak saling mengenal. Kami memiliki harapan tinggi dan setiap orang memimpinkan Libya baru yang stabil dan makmur. Tapi sayangnya, tidak semua keinginan dapat terwujud," kata Mohamed An-Ne'mi, seorang gerilyawan dari Tripoli.

Di lain pihak, Najwa Al-Hami, pegiat hak asasi manusia, mengatakan apa yang terjadi di Libya bukanlah revolusi. "Mana mungkin ini revolusi rakyat, sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Khadafi?" kata Al-Hami.

"Apakah protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas intelijen barat berada di belakangnya untuk mengubah rezim Khadafi melalui kekerasan."

"Revolusi milik setiap politikus yang memiliki dwi-kewarganegaraan dan memiliki rekening bank di luar negeri, “ kata warga Libya lainnya. Mereka bicara kemakmuran sendiri, mengadu domba sesama anak bangsa, dan menikmati tabungan di luar negeri.

Proses itu sedang terjadi di Indonesia.

***

Supriyanto Martosuwito