"Dilema Melayu" dan Mahathirisme........

Seperti halnnya Lee Kuan Yew di Singapura, Mahathir mengendalikan lawan-lawan politiknya melalui model kebijakan "soft-authoritarian" dengan instrumen hukum "Internal Security Act"(ISA).

Kamis, 18 Juli 2019 | 14:26 WIB
0
472
"Dilema Melayu" dan Mahathirisme........
Mahathir Muhammad (Foto: Facebook/Manuel Kaisiepo)

"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui...!"

Itulah langkah politik fenomenal yang diayunkan Mahathir Mohamad yang memenangkan pemilu di Malaysia. Betapa tidak!

Kemenangan bersejarahnya atas petahana Perdana Menteri (PM) Najib Razak --murid politik sekaligus rivalnya-- akan mengembalikannya ke kursi PM yang pernah didudukinya selama 22 tahun (1981-2003).
Dengan demikian Mahathir akan menjadi PM dan pemimpin tertua di dunia: 92 tahun!

Kemenangan Mahathir melalui kekuatan aliansi oposisi Pakatan Harapan (PH) juga sekaligus mengakhiri dominasi kekuatan koalisi Barisan Nasional (BN) yang sudah berkuasa sejak 1957. Pakatan Harapan berhasil meraih 114 kursi parlemen dari ambang mayoritas 112 kursi.

Kemenangan aliansi oposisi Pakatan Harapan atas Barisan Nasional ini menarik, karena justru Mahathir sendiri merupakan tokoh kunci di balik kejayaan BN di masa lalu. BN adalah kekuatan politik utama sekaligus penopang bagi kesuksesan kebijakan nasional Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang dicanangkan Mahathir sejak berkuasa 1981.

Malaysia modern saat ini, yang maju secara ekonomi, dan juga maju pada berbagai sektor lainnya, khususnya dalam mengangkat taraf hidup pribumi Melayu, diakui semua pihak adalah hasil penerapan kebijakan DEB-nya Mahathir (bahkan ada yang menyebut DEB sebagai "Mahathirism").

Bagi yang mengikuti jejak politik Mahathir sejak awal, dasar-dasar bagi rumusan konsepsi dalam DEB sebenarnya sudah bisa dilacak dalam bukunya yang terbit tahun 1970, THE MALAY DILEMMA. 
Buku yang berisi kecaman terhadap kebijakan pemerintah PM Tunku Abdul Rahman karena dinilai tidak berpihak kepada kaum pribumi itu, akhirnya dilarang beredar (baru dibolehkan beredar lagi ketika Mahathir berkuasa tahun 1981).

Mahathir seorang dokter (julukannya "Dr. M"), maka tak mengherankan dia memakai pendekatan medis untuk mendiagnosis "penyakit" yang diidap masyarakatnya, terutama kaum pribumi Melayu.  Misalnya dia memakai Hukum Mendel (khususnya dampak perkawinan antar kerabat yang punya hubungan darah) untuk menjelaskan lemahnya daya pikir orang Melayu.

Dia juga memakai pendekatan "kultural" untuk menjelaskan hambatan-hambatan bagi modernisasi (mungkin padanannya di Indonesia adalah buku Koentjaraningrat, "Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan").

Tentu pendekatan kultural dan sebagian argumentasi Mahathir dalam bukunya itu akan terasa usang ketika kita membaca buku Syed Hussein Alatas, THE MYTH OF THE LAZY NATIVE (1977), yang mematahkan semua argumen dalam pendekatan kultural yang bias colonialism atau bias orientalism.

Ketika berhasil duduk di kursi PM, Mahathir serius mewujudkan gagasan lamanya, tentu dengan modifikasi. Hasilnya? Malaysia bersama Singapura menjadi contoh negara secara ekonomi tidak saja di Asia Tenggara, tapi juga pada tingkat global.

Dalam kurun waktu 22 tahun kekuasaannya, Mahathir membuktikan kemampuannya membawa Malaysia menjadi negara modern dan maju, juga berhasil mengangkat taraf hidup dan status pribumi Melayu.

Selama kurun waktu itu juga, Mahathir telah mengukuhkan dominasi pemikirannya, semacam "Mahathirisme", yang terus dirasakan pengaruhnya sesudah dia tidak lagi berkuasa. 

Seperti halnnya Lee Kuan Yew di Singapura, Mahathir mengendalikan lawan-lawan politiknya melalui model kebijakan "soft-authoritarian" dengan instrumen hukum "Internal Security Act"(ISA).

Dalam beberapa hal Mahathir mungkin mencontoh Suharto. Suatu pembangunan ekonomi nasional harus dirancang berjangka panjang, melibatkan teknokrat dan entrepreneur, dan ditopang oleh suatu sistem politik yang stabil.

Keduanya seakan penganut tesis Samuel Huntington: suatu program pembangunan ekonomi yang sukses dan mampu mendorong proses modernisasi masyarakat hanya bisa diwujudkan bila ditopang oleh adanya kondisi tertib politik dalam masyarakat tersebut.

Tetapi yang beda dari Mahathir dibandingkan pemimpin lainnya adalah komitmennya yang kuat untuk mengangkat derajat dan taraf hidup rakyatnya, khususnya rakyat pribumi Melayu (Mahathir sendiri keturunan India-Melayu).

Mulai hari Jumat, 11 Mei 2018, panggung politik dan denyut kehidupan ekonomi nasional Malaysia akan kembali diwarnai oleh tokoh kharismatik ini: Mahathir Mohamad.
S e l a m a t !

***