Ternyata Presiden Prancis yang Undang Nadia Murad di G-7

Ia adalah salah seorang korban gerilyawan Negara Islam di Irak tersebut. Tetapi terus berdiri mengobarkan semangat perjuangan melawan kekerasan seksual di Irak dan dunia.

Senin, 9 September 2019 | 11:11 WIB
0
366
Ternyata Presiden Prancis yang Undang Nadia Murad di G-7
Nadia Murad (Foto: Thenational.ae)

Rabu, 28 Agustus 2019, terungkap dengan sangat jelas, siapa yang mengundang Nadia Murad, penerima hadiah Nobel Perdamaian 2018 itu ke Konfensi Tingkat Tinggi (KTT) G-7 di Biarritz, Prancis. Awalnya tidak ada keterangan yang menjelaskan. 

Pertanyaan saya, mungkinkah yang mengundang Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ke KTT tersebut, karena Presiden AS itu pernah mengundang Nadia Murad ke Gedung Putih ? Juga keinginan Trump untuk meraih hadiah Nobel Perdamaian tersebut tahun 2019 ini ?

Asumsi saya tidak tepat. Ternyata dari twitter Nadia Murad, ia mengucapkan terima kasihnya kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron. KTT G-7 adalah pertemuan antara negara-negara industri, terkuat secara politis dan ekonomis di dunia, seperti Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS dan Kanada.

Emmanuel Macron, sejauh ini dianggap berhasil melaksanakan KTT G-7. Ia memperoleh kehormatan menjadikan Prancis sebagai tuan rumah group 7 negara.  Macron  lahir di Amiens, Prancis, 21 Desember 1977. Seorang pejabat senior, politikus dan mantan bankir investor Prancis. 

Pada 26 Agustus 2014, ia dilantik sebagai Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri dan Urusan Digital dalam pemerintahan Manuel Valls. 

Pada Pemilihan umum Presiden Prancis 2017, ia mengalahkan Marine Le Pen dengan meraup 66,06 persen suara jauh mengungguli Marine Le Pen, yang hanya meraup 34 persen suara. Kemenanganya menjadikan ia sebagai Presiden Prancis termuda dalam sejarah dengan usia 39 tahun.

Nadia Murad mengatakan, "Sudah saatnya para pemimpin global berjuang untuk implementasi hukum yang efektif yang mempromosikan kesetaraan gender. 

Di KTT G-7 ini, Nadia Murad mewakili dewan independen dalam masalah persamaan jender.  "Sudah saatnya para pemimpin global berjuang untuk implementasi undang-undang yang efektif yang mempromosikan kesetaraan gender di semua sektor masyarakat," ungkap Nadia Murad.

Nadia Murad, atau lengkapnya Nadia Murad Basee Taha, adalah penerima hadiah Nobel Perdamaian 2018. Hadiah itu diterimanya di ibukota Norwegia, Oslo pada 5 Oktober 2018.

Jika kita membaca twitter sebelum ia menerima Hadiah Nobel, Nadia Murad tanggal 15 Maret 2017 sudah minta didoakan agar menang. " Iraq Government nominated me for the Nobel Peace Prize. Thank you all for the support !." 

Ternyata harapannya itu dikabulkan Tuhan, dan ia bersama seorang dokter Denis Mukwege  menerima Hadiah Nobel Perdamaian Dunia 2018. Berarti sukses bertarung di dalam 331 calon dari individu dan organisasi dunia.

Nadia Murad yang berusia 25 tahun waktu  itu, lahir tahun 1993 dinilai berhasil mengupayakan untuk mengakhiri kekerasan seksual dalam situasi perang dan konflik bersenjata di Irak. 

Setelah ia diculik dan diperkosa oleh kelompok Daesh (Negara Islam) pada bulan Agustus 2014 di Irak,  ia menjadi aktifis hak azasi manusia Yazidi. Ia juga ingin membela 1.300 perempuan yang bernasib sama dengan dirinya, di mana anggota keluarganya hilang.

Sejak September 2016, Nadia Murad menjadi "Goodwill Ambassador" pertama untuk Martabat Korban Perdagangan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak tahun itu, ia  aktif berorganisasi demi memperjuangkan pembelaan terhadap perempuan Irak yang diculik dan diperkosa oleh serdadu Negara Islam di Irak.

Setelah pemerintahan Saddam Hussein tumbang di Irak, seluruh wilayah itu dikuasai AS, karena AS lah negara Irak hancur lebur. Penduduk Irak marah kepada AS, kemudian al-Qaeda dari Afghanistan yang dipimpin Abu Mush'ab al-Zarqawi masuk Irak dan membentuk Tauhid wal-Jihad. Selanjutnya mereka bergabung dengan Dewan Syuro Muhahidin Irak yang terdiri dari 8 kelompok milisi bersenjata.

Tahun 2006, tepatnya tanggal 15 Oktober 2006, resmi dideklarasikan berdirinya The Islamic State of Iraq " (ISI) yang kemudian menjadi payung organisasi yang ada di Irak. 

Awalnya niat kelompok ini baik, yaitu mengusir pendudukan AS di Irak. Tetapi di dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kelompok ini berganti dengan kelompok liar. Sering menculik, membunuh dan memperkosa perempuan Irak, di mana penculikan dan penerkosaan ini pernah dialami Nadia Murad.

Saya mendengar langsung kekejaman kelompok Negara Islam di Irak ini, karena pada bulan September 2014, saya berkunjung ke Irak untuk keduakalinya. 

Kali kedua ini, saya menyaksikan Irak hancur lebur. Tumpukan puing akibat perang antara pasukan Irak dan kelompok Negara Islam di Irak masih terlihat di pinggir jalan yang saya lalui.

Sekarang Irak meski telah mendeklarsikan kehancuran Negara Islam di Irak, tetapi luka lama itu terbayang kembali dengan melihat Nadia Murad. 

Ia adalah salah seorang korban gerilyawan Negara Islam di Irak tersebut. Tetapi terus berdiri mengobarkan semangat perjuangan melawan kekerasan seksual di Irak dan dunia. 

Sangatlah wajar, karena pemerintah Irak yang mencalonkan Nadia Murad, maka Presiden Irak yang baru terpilih waktu itu,  Barham Salih ikut mengucapkan selamat untuk Nadia Murad.

***