Perang India-Pakistan, Ketika Sejarah dan Identitas Menjadi Senjata Mematikan

Dalam konflik yang telah berjalan lebih dari 75 tahun ini, dibutuhkan bukan hanya para pemimpin kuat, tapi juga pemimpin bijak. Karena kekuatan bisa menaklukkan musuh, tapi hanya kebijaksanaan yang bisa mengubahnya menjadi sahabat.

Senin, 12 Mei 2025 | 17:15 WIB
0
0
Perang India-Pakistan, Ketika Sejarah dan Identitas Menjadi Senjata Mematikan

Konflik terbaru antara India dan Pakistan pada April–Mei 2025 menegaskan satu kebenaran pahit: perbatasan tak hanya memisahkan tanah, tetapi juga memisahkan trauma, kecurigaan, dan harga diri nasional. Dalam dunia yang semakin rasional, kedua negara ini tetap tersandera oleh mitos sejarah, memori luka, dan semangat nasionalisme yang nyaris religius. Serangan teroris di Pahalgam, yang menewaskan 26 orang, menjadi pemantik dalam ladang yang telah lama dipenuhi bara.

Serangan yang terjadi pada 22 April 2025 berakibat 26 orang (25 di antaranya turis India) meregang nyawa dalam pemboman bus wisata di Pahalgam, Kashmir. Kelompok The Resistance Front (TRF), yang memiliki keterkaitan dengan Lashkar-e-Taiba, diduga sebagai pelaku. India tidak tinggal diam, serangan balasan India berupa serangan udara ke sembilan lokasi di wilayah Azad Kashmir dan Khyber Pakhtunkhwa pun dilakukan, menewaskan lebih dari 100 militan Pakistan, menurut klaim India.Militer Pakistan kemudian menyerang 26 situs militer India, termasuk menjatuhkan tiga pesawat Rafale. Satu pilot ditangkap, lalu dibebaskan melalui mediasi Amerika Serikat.

Awal konflik adalah adanya penangguhan apa yang disebut "Perjanjian Air Indus" di mana India memotong 90% aliran air Sungai Chenab ke Pakistan. Pakistan menganggap ini melanggar Perjanjian Air Indus 1960 dan menyebut tindakan ini sebagai bentuk "agresi ekologis".

Kashmir yang Menjadi Bara

Akar konflik ini adalah sejarah yang belum sembuh, yakni pembagian India dan Pakistan pada 1947. Ketika India merdeka, wilayah kerajaan Kashmir, yang mayoritas Muslim namun dipimpin oleh seorang raja Hindu, memilih bergabung dengan India. Keputusan itu ditolak oleh Pakistan, dan sejak itu, Kashmir menjadi luka terbuka di jantung Asia Selatan.

Sudah tiga kali perang besar pecah (1947, 1965, dan 1999), ditambah puluhan ribu kematian akibat pemberontakan dan kekerasan bersenjata. Pakistan mengeklaim Kashmir atas dasar mayoritas Muslim, sementara India mempertahankan bahwa Kashmir adalah bagian integral dari republik sekulernya.

Filsuf Prancis Simone Weil pernah berkata, “Akar dari semua kekerasan adalah kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang bukan milik kita, tetapi yang kita anggap sebagai hak moral.” India dan Pakistan tidak hanya bertempur soal tanah, tetapi soal identitas nasional, agama, dan kehormatan kolektif. Kashmir menjadi simbol dari narasi eksistensial: Islam versus Hindu, demokrasi versus teokrasi, stabilitas versus semangat revolusioner.

Perang India-Pakistan ini mencerminkan “perang simbolik” — di mana peluru dan rudal tak hanya merusak tubuh, tapi juga mengguncang makna dan martabat. Serangan teroris menjadi bukan hanya kejahatan, melainkan juga kesempatan bagi negara untuk mengukuhkan legitimasi politik domestik melalui aksi balasan. Dalam terminologi Hegelian, ini adalah dialektika kehormatan, di mana pengakuan menjadi lebih penting daripada perdamaian.

Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

Secara teknologi dan ekonomi, India unggul. GDP India tahun 2024: $4,1 triliun; Pakistan: $376 miliar. Kekuatan militer India (2025): 1,4 juta tentara aktif, superior dalam angkatan udara (Rafale, Sukhoi, BrahMos). Teknologi satelit dan intelijen India telah menunjukkan presisi dalam serangan udara. Namun secara strategi respons dan mobilisasi, Pakistan tidak kalah:

Kecepatan balasan militer Pakistan menunjukkan kesiapan dan keberanian menghadapi kekuatan lebih besar. Dukungan terbatas namun strategis dari China dan Turki memberi pengaruh dalam keseimbangan kawasan. Namun, dalam konflik seperti ini, tak ada pemenang sejati. Keunggulan satu pihak hanya menciptakan siklus balas dendam dan penderitaan baru. Kalah jadi abu, menang jadi arang, demikian pepatah mengatakan.

Solusi tidak bisa datang dari logika kekuatan semata. Diperlukan imajinasi politik — kemampuan untuk membayangkan bentuk hubungan baru yang melampaui logika permusuhan. Ini bukan sekadar soal perundingan diplomatik, tapi rekonsiliasi narasi sejarah. Satu angkah konkret adalah mengembalikan suara rakyat Kashmir: Biarkan mereka memilih masa depan sendiri, bukan menjadi pion dua negara.

Kemudian dibuka kembali Perjanjian Air Bersama dengan pemantauan netral, misalnya oleh Swiss atau Norwegia, untuk menghindari politisasi akses air. Sedangkan inisiatif perdamaian regional melibatkan Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka sebagai penengah, yang tidak ingin negara mereka terkena imbas. Negara-negara ini tidak ingin menjadi pelanduk yang mati di tengah pertarungan gajah melawan gajah. Untuk mewujudkan perdamaian ini, kedua negara, India dan Pakistan, harus berani melakukan "dekonstruksi nasionalisme eksklusif" dengan penekanan pendidikan sejarah yang jujur dan empatik di kedua negara.

Jika India dan Pakistan ingin keluar dari lingkaran setan yang berdarah darah ini, mereka harus berani mengakui satu kebenaran filosofis: damai bukan berarti tunduk, dan perang bukan selalu keberanian. Kedaulatan sejati adalah kemampuan untuk memilih jalan damai ketika semua dorongan menunjuk pada kekerasan.

Dalam konflik yang telah berjalan lebih dari 75 tahun ini, dibutuhkan bukan hanya para pemimpin kuat, tapi juga pemimpin bijak. Karena kekuatan bisa menaklukkan musuh, tapi hanya kebijaksanaan yang bisa mengubahnya menjadi sahabat.

***