Warga kelas menengah Hongkong kini banyak hengkang ke luar negeri. Ekonomi hancur. Toko-toko dibakar. Pertumbuan nol persen. Hongkong menuju kehancuran, akibat ulah mahasiswanya sendiri.
Mulanya adalah kriminal biasa. Chan Tong-Kai, remaja Hongkong usia 20 tahunan menikmati liburan bersama kekasihnya Poon Hiu-wing di Taiwan, Fabruari 2018. Tapi tampaknya pasangan itu terlibat cekcok. Saat itu kekasih Chan yang bernama Hiu-Wing sedang hamil. Cekcok besar itu membuat Chan gelap mata. Ia membunuh kekasihnya di Taiwan.
Bukan hanya itu. Chan juga mengambil barang-barang milik kekasihnya dan menjualnya. Setelah membunuh, Chan kembali ke Hongkong.
Polisi Hongkong akhirnya menangkap Chan, tapi tuduhannya penggelepan dan pencurian barang milik Hiu-Wing. Sementara karena kasus pembunuhan terjadi di Taiwan, Chan tidak bisa diusut dalam kasus pembunuhan di Hongkong. Pasalnya antara China dan Hongkong tidak ada perjanjian ekstradisi.
Kondisi itulah yang membuat otoritas Hongkong buru-buru mengebut UU ekstradisi. UU ini memang sejak lama mengendap dan kasus Chan bisa menjadi titik picu untuk memajukan kembali UU ekstradisi antara Hongkong dan China daratan.
Masyarakat Hongkong protes. Mereka meragukan kualitas hukum China daratan yang dianggap masih sarat korupsi dan bias. Jika Chan bisa diadili di Taiwan atau China daratan, bukan tidak mungkin nanti perkara kriminal yang terjadi di Hongkong akan dibawa ke China dalam proses pengadilannya. Isu inilah yang dihembuskan demonstran.
Rencana UU ekstradisi mendapat perlawanan keras. Mahasiswa Hongkong sampai menutup Bandara dan membuat keonaran luar biasa di negara pulaun itu. Pemerintah Hongkong akhirnya mengalah. Mereka membatalkan rencana UU ekstradisi.
Cukup? Belum. Rupanya mahasiswa yang terlanjur hobi demo ini keasyikan. Kini tuntutan mereka dinaikkan lebih tinggi lagi dari sekedar pembatalan UU ekstradisi. Mereka meminta hak politik universal. Itu saja saja mereka ingin mengatakan Hongkong lepas dari China. Sebab sistem politik China berbeda dengan sistem demokrasi barat seperti yang diminta mahasiswa.
Kini Hongkong hancur lebur. Mahasiswa membakar toko-toko. Merusak fasilitas umum. Bahkan melakukan kekerasan pada masyarakat lain. Mereka merasa sedang memperjuangkan demokrasi, tetapi menghancurkan rumahnya sendiri.
Ekonomi Hongkong anjlok bahkan menjelang resesi. Wilayah pusat keuangan ketiga terbesar di dunia kini mengalami resesi. Konflik sipil terus meledak. Sementara pemerintahan Hongkong yang mandiri tetapi tetap di bawah kendali China tidak bisa berbuat banyak melawan mahasiswa yang keranjingan demonstrasi.
Apakah China rugi kalau ekonomi Hongkong ambruk? Kayaknya gak rugi-rugi amat. Yang rugi dan gigit sandal adalah masyarakat Hongkong sendiri.
Ok, kita tengok sedikit soal sejarah Hongkong.
Hongkong adalah daerah otonomi yang kini berada di bawah kekuasaan China. Awalnya penduduk Hongkong adalah pelarian kelas menengah China yang menghindar dari revolusi komunis. Sebagian mereka berasal dari Guangdong. Wilayah itu adalah koloni Inggris sejak kekalahan Tiongkok pada Perang Opium I. Pada perang dunia II, Hongkong dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah, Hongkong kembali ke pangkuan Inggris.
Karena sebagian besar pelarian adalah tenaga-tenaga terampil dan berpendidikan, Hongkong bisa membangun dirinya secara cepat. Ekonominya meroket. Bahkan Hongkong dikenal sebagai salah satu pusat keuangan dunia sampai sekarang.
Pada 1997, Inggris menyerahkan Hongkong ke China berkat negosiasi panjang. Meski berada di bawah kekuasaannya, China tidak banyak mengubah Hongkong. Wilayah itu dibiarkan tumbuh apa adanya. Saat itulah dikenal istilah satu negara dua sistem. China daratan yang komunis totok, dan Hongkong yang kapitalis tulen.
Tapi memang sejak dari sononya warga Hongkong punya kecurigaan pada China. Meski berada dalam payung satu negara, Hongkong merasa berbeda dengan China. Bahkan warga Hongkong merasa China sebagai penjajah. Suasana psikologis itulah yang membuat kondisi di Hongkong cepat panas.
Apalagi AS dan China sedang terlibat perang dagang. Seperti biasa kelakuan AS, ikut mengompori terjadinya instabilitas di negeri musuhnya. Mereka mendorong China berbuat represif di Hongkong, untuk kemudian akan diganggu di forum internassional. Tujuannya membetot Hongkong agar terjadi kasus Tiananmen kedua. Agar secara internasional China bisa ditekan.
Pola yang sama yang dicobakan AS di Timur Tengah. Suriah, Irak, atau Libya adalah contohnya.
Tapi China sudah pinter. Mereka menahan diri tidak mengirim pasukannya. Hongkong yang memang secara sistem terpisah dari China daratan dibiarkan saja bergolak. Toh, yang diprotes mahasiswa adalah pemimpin Hongkong. Yang dirusak oleh mahasiswa adalah ekonomi Hongkong sendiri. Kalau mereka menghancurkan, yang akan merasakan akibatnya orang Hongkong sendiri.
Sepertinya China akan mebiarkan Hongkong terbakar. Ekonominya morat-marit. Kehidupan porak-poranda. Ujung-ujungnya nanti, secara rasional penduduk juga akan meminta bantuan China daratan untuk menangani kekacauan. Baru setelah Hongkong menjadi abu, China akan datang memberesi semua kekacauan. Setelah Hongkong jatuh dalam jurang kehancuran.
Yang rugi adalah warga Hongkong sendiri. Mahasiswa-mahasiswa yang merasa lebih barat dari orang barat, beranggapan sedang memperjuanghkan sesuatu di Hongkong. Sesungguhnya mereka hanya mempercepat kerusakan saja. Untuk pada akhirnya, China akan menguasai Hongkong secara total.
Sekarang tinggal kuat-kuatan saja. Apakah mahasiswa itu merasa lebih kuat dengan menghancurkan negerinya sendiri?
Pola ini juga dicobakan di Papua. Untungnya pemerintah Indonesia lebih punya hati. Papua tetap dihandle dengan baik agar kerusakan tidak makin parah. Jangan heran jika orang seperti Veronika Koman tampak bergandengan tangan dengan tokoh mahasiswa Hongkong yang kini sibuk menghancurkan negerinya sendiri.
Warga kelas menengah Hongkong kini banyak hengkang ke luar negeri. Ekonomi hancur. Toko-toko dibakar. Pertumbuan nol persen. Hongkong menuju kehancuran, akibat ulah mahasiswanya sendiri.
"Mas, saya heran. Jacky Chan dan Samo Hung kemana, ya?," tanya Abu Kumkum.
Mbuh!
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews