Sembilan Tahun Lalu di Tunisia

Sulit dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi telah mengubah wajah dan peta, tidak hanya Tunisia, tetapi juga negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sabtu, 4 Januari 2020 | 08:01 WIB
0
328
Sembilan Tahun Lalu di Tunisia
Revolusi Tunisia (Foto: msn.com)

Sembilan tahun silam, hari Jumat 17 Desember 2010, Tunisia menjadi tempat lahir gerakan perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan ini—yang kemudian lebih populer disebut sebagai Revolusi Musim Semi (Arab Spring) ada yang menyebut sebagai Kebangkitan Arab (Arab Awakening) ada juga menyebut sebagai Revolusi Martabat—telah menginspirasi gerakan serupa di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Inilah revolusi di kawasan tersebut sejak Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Shah Iran dan lahirnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Rohullah Khomeini.

Tidak ada yang pernah menduga bahwa apa yang dilakukan seorang pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan dan sayur mayur di Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, Tarek al-Tayeb Mohammad Bouazizi atau Mohammad Bouazizi, telah mengobarkan api perlawanan rakyat di sejumlah negara untuk melawan penguasa yang dianggap mengkhianati rakyat.

Dikuasai oleh keputusasaan dan semangat untuk memrotes perlakuan pihak berwenang yang dirasakan tidak manusiawi, Mohammad Bouazizi, membakar diri. Bouazizi bukan seorang revolusioner dan tidak memiliki niat untuk mengobarkan revolusi. Ia tidak memiliki agenda politik sama sekali. Apalagi memiliki agenda untuk mengubah institusi yang ada di negerinya. Bouazizi “hanyalah” seorang pemuda berusia dua-puluh enam tahun, pedagang kaki lima, yang merasakan sulit dan kerasnya hidup, yang orangtuanya sudah berumur.

Akan tetapi, yang dilakukan pada hari Jumat itu, membakar diri di depan bali kota, telah menggugah dan menggerakkan hati—mula-mula—orang sekampungnya, kemudian sekotanya, dan akhirnya senegara untuk melawan penguasa yang korup, yang mengkhianati rakyat, yang mementingkan diri sendiri, keluarganya, dan kelompoknya.

Tindakan bunuh diri dengan bakar diri yang dilakukan oleh Bouazizi tak pelak lagi adalah sebuah pernyataan yang tegas, mengejutkan sekaligus mengerikan dan yang kemudian bergema dalam hati generasi muda dini negerinya, yang merasakan bahwa jalan politik dan harapan ekonomi bagi mereka tertutup. Menggerakkan generasi yang hidup di bawah sistem tirani (Adeed Dawisha, 2013).

Gerakan perlawanan, demonstrasi tanpa dikomando mula-mulai pecah di Sidi Bouzid; lalu merambet ke kota-kota sekitar; kemudian ke kota-kota di Tunisia Tengah. Hari-hari berikutnya kaum muda yang tak punya pekerjaan karena memang teramat sulit mencari pekerjaan, bergabung turun ke jalan; disusul para mahasiswa, para anggota serikat buruh, para pengara, dan akhirnya kaum professional pun ikut bergabung turun ke jalan melawan penguasa dan pemerintah.

Inilah gerakan murni dari rakyat. Gerakan tanpa pemimpin. Mereka bergerak karena kemarahan. Marah kepada pemerintah, kepada penguasa yang korup. Oleh karena ini gerakan rakyat tanpa pemimpin, sulit bagi penguasa untuk menindak tegas, menangkapi para pemimpinnya. Kalau aparat keamanan—polisi atau tentara—menembak massa, berarti mereka menembak mungkin saudara-saudaranya sendiri, atau bahkan anak-anaknya sendiri. Tetapi, korban tetap ada.

Semula, Bouazizi membakar diri sebagai bentuk protes karena diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan: digusur, dipalak, dipukul, dan dagangannya diporak-porandakan. Bouazizi protes karena diperlakukan tidak adil. Aksi protes Bouazizi seakan mewakili perasaan para pedagang kaki lima lainnya, orang-orang lainnya, rakyat secara umum yang hidupnya dari waktu ke waktu dikuasai kesusahan dan kesulitan. Pada akhirnya, tujuan gerakan pun adalah untuk menyingkirkan penguasa yang otoritarian dan korup.

Tak Bisa Menghindar

Ketika dunia dilanda gerakan demokratisasi pada tahun 1970-an, pemerintah otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagian besar tetap menolak proses demokratisasi. Periode ini oleh Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), disebut sebagai gelombang ketiga demokratisasi yang dimulai di Eropa Selatan pada pertengahan 1970-an. Dari Eropa Selatan, menyebar ke Amerika Selatan pada awal 1980-an dan mencapai Asia Timur, Tenggara dan Selatan pada akhir 1980-an.

Akhir tahun 1980-an, dunia menyaksikan kebangkitan transisi dari pemerintahan otoriter Komunis di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, serta kecenderungan menuju demokrasi di Amerika Tengah dan Afrika Selatan. Akan tetapi, gelombang ini tidak mencapai Timur Tengah. Faktanya, wilayah ini secara politik kurang bebas dibandingkan wilayah lain. (Freedom of the World 2011: The Authoritarian Challenge to Democracy’, http://www.freedomhouse.org/ images/File/fiw/FIW%202011%20Booklet_1_11_11.pdf, July 22, 2011).

Caterina Perlini dalam Democracy in the Middle East: External Strategies and Domestic Politics (2015) menulis selama pertengahan dan akhir 1980-an, sejumlah negara di Timur Tengah melancarkan liberalisasi politik dan demokratisasi. Ini sebagian akibat dari meningkatnya perbedaan pendapat dengan para pemimpin otoriter yang menyebabkan kerusuhan besar yang bertentangan dengan tatanan politik yang sudah mapan.

Tekanan domestik ini menyebabkan kemajuan politik di negara-negara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Yaman, dan Yordania. Setiap negara ini mengalami peningkatan aktivitas politik, khususnya melalui pemilihan yang menunjukkan adanya transparansi. Namun, negara-negara yang meliberalisasi sistem politik mereka tetap mempertahankan pembatasan pada partisipasi dan kompetisi politik, dengan ini membatasi oposisi dan menjaga kelangsungan hidup rezim yang ada.

Bahkan, ada sejumlah besar kemunduran. Aljazair misalnya. Upaya kemajuan demokrasi pada tahun awal 1990-an, terhambat, karena militer kembali berkuasa setelah pemilu dimenangi oleh Front Keselamatan Islam fundamentalis (FIS).  FIS merebut 188 dari 430 kursi di parlemen, sementara Front Pembebasan Nasional (FLN) yang berkuasa hanya 15 kursi. Kemenangan FIS ini yang mendorong militer bergerak dan mengambilalih kekuasaan.

Di Mesir misalnya, pemilihan parlemen tahun 2005 dipuji sebagai tanda utama keberhasilan demokrasi. Namun, pluralisme terbatas yang menandai pemilu 2005 memburuk, memberi jalan bagi penindasan yang meluas, penumpasan oposisi, dan penipuan selama pemungutan suara 2010.

Akan tetapi, apa yang terjadi di Tunisia (2010)—yang kemudian disusul sejumlah negara lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara—adalah sebuah keniscayaan dari perkembangan zaman. Demonstrasi, protes yang bermula di Tunisia semua memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, kemudian berubah dengan mengusung slogan “Rakyat menuntut pergantian rezim.” Tujuan mereka adalah untuk membangun masyarakat demokratik dengan menyingkirkan pemerintah otokratik.

Menurut Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991),  gelombang demokratisasi itu ditandai oleh fase pertama yakni munculnya reformis. Para reformis menuntut perubahan dari rezim otokratis dan tirani menjadi pemerintahan yang demokratis dan transparan. Fase ini mendorong masyarakat untuk menyuarakan hak-hak mereka melalui protes, yang akan mengarah pada revolusi melawan pemerintah yang ada.

Dan, negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pun tidak bisa menghindar dari tuntutan zaman.

Jasa Bouazizi

Dalam kasus Tunisia, siapa reformisnya itu? Bouazizi-kah? Barangkali, meskipun Bouazizi tidak memiliki pemikiran atau ide reformasi, ide revolusioner, atau agenda politik, tetapi tindakannya di luar kewajaran—bakar diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan—adalah sebuah bentuk dari pembaharuan (reformasi) perlawanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan rakyat tanpa pemimpin, dimulai bulan Desember 2010, di Tunisia kemudian berevolusi untuk menggulingkan rezim pemerintahan Zine al-Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa sejak 1987; sebuah rezim yang otokratik dan korup. Apa yang terjadi, kemudian, di Mesir mulai 25 Januari 2011 juga tidak jauh berbeda.

Apa yang terjadi di Tunisi dan juga di Mesir kemudian, memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi tidak mengikuti pola reformasi ekonomi dulu lalu disusul dengan demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan juga Mesir, kiranya gerakan demokrasi yang pertama dilakukan dengan menyingkirkan rezim otoritarian dan korup, baru kemudian pembangunan ekonomi, yang hingga kini belum banyak memberikan hasil seperti diharapkan rakyat.

Memang, apa yang terjadi di Tunisia, misalnya, revolusi yang terjadi jauh dari komplet. Selama beberapa tahun Tunisia masih menghadapi kerusuhan-kerusuhan sporadic dan suksesi kabinet interim yang tak stabil. Meskipun demikian, hingga kini Tunisia sebagai penyulut demokratisasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, memberikan harapan yang lebih menjanjikan dibandingkan negara-negara, apalagi dibandingkan Suriah dan Libia.

Di negara-negara lain yang disapu Revolusi Musim Semi, hingga kini kerap kali muncul gerakan  konter-revolusi dan kekerasan, tetapi Tunisia berusaha tetap memegang teguh amant revcolusi yakni demokratisasi.  Pemilihan presiden berlangsung damai dan tampaknya sebagian besar bebas dan adil. Meskipun perlu tetap waspada agar politik konsensus yang seslama ini dipegang untuk menyelamatkan negara tetap bisa jalan dan terus disepakati. Hal itu penting. Sebab, ada tanda-tanda penurunan tajam dalam kepercayaan publik pada lembaga-lembaga politik: Kepercayaan di Parlemen telah turun hingga 14 persen, dan kepercayaan pada partai-partai politik hanya 9 persen, menurut survei Barometer Arab baru-baru ini.

Persoalan lain adalah  pembangunan ekonomi. Dua tahun lalu, 2017, karena buruknya situasi ekonomi, banyak orang Tunisia yang meninggalkan negerinya, menyeberangi Laut Mediterania masuk Eropa. Menurut pemerintah Italia, sekitar 8.000 orang Tunisia pada tahun 2017 masuk ke negeri itu.

Akan tetapi, apa pun yang terjadi sekarang ini, sulit dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi telah mengubah wajah dan peta, tidak hanya Tunisia, tetapi juga negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang dilakukan Bouazizi telah menebarkan benih demokratisasi di kawasan itu. Meskipun, ada negara—Suriah dan Libya, misalnya—yang tergelincir ke kondisi negara gagal.

***