Ethiopia

Perbedaan agama dan suku yang dulu sering jadi pemicu perang saudara, sudah lama diubah menjadi pelangi di ujung hujan, seperti logo Ethiopian Airlines yang terpampang di sirip pesawat.

Sabtu, 7 Desember 2019 | 15:52 WIB
0
301
Ethiopia
Maskapai penerbangan Ethiopia (Foto

Apa yang terlintas di pikiran Anda jika mendengar kata Ethiopia? Ya mungkin sebagian besar membayangkan sebuah negeri yang gersang, dengan penduduk miskin yang sering dilanda kelaparan. Tidak salah. Terlebih, pada tahun 1984 isu bencana kekeringan dan kelaparan di negeri itu menjadi ‘trending topic’ semua media di dunia.

Artis-artis dunia menggelar konser untuk menghimpun dana membantu Ethiopia, hingga tercipta lagu ‘We Are The World’. Tak ketinggalan, di Indonesia musisi Iwan Fals menciptakan lagu dan album berjudul ‘Ethiopia’. “... menjerit Afrika, mengerang Ethiopia...”

Bahwa di Ethiopia saat itu mengalami kekeringan, iya. Tapi bukan hanya di Ethiopia, bencana serupa juga terjadi di banyak negara Afrika saat itu. Tapi bencana kelaparan di Ethiopia dimanfaatkan oleh Israel yang waktu itu akan menggelar referendum untuk aneksasi wilayah Tepi Barat (Sungai Jordan), membutuhkan lebih banyak suara untuk memenanginya.

Waktu itu, Pemerintah Israel khawatir gagal dalam referendum itu. Maka digelarlah ‘Operasi Musa’, memindahkan Yahudi Falasha (kulit hitam) dari Ethiopia. Truk dan pesawat yang mengedrop bahan makanan di kantong-kantong pengungsi, pulangnya mengangkut Yahudi Falasha. Mereka yang diangkut lewat jalan darat, berkongsi dengan penguasa Sudan untuk sampai di pantai selatan Laut Merah. Maklum, Ethiopia tidak punya laut. Selanjutnya diangkut dengan kapal militer ke Eilat.

Oke, itu dulu. Ethiopia, yang merupakan negara pertama di dunia yang memiliki sistem pemerintahan yang tertata, ditinjau dari aspek agama dan politik yang dianut, negeri ini cukup unik. Penduduknya yang berjumlah sekitar 110 juta jiwa, 63% beragama Kristen, 34% Islam, sisanya kepercayaan lokal. Meskipun mayoritas, di Ethiopia tidak ada ormas bernama Front Pembela Kristen (FPK).

Presiden (Sahle-Work) dan Perdana Menteri (Abiy Ahmed Ali) yang berkuasa saat ini beragama Islam, berasal dari Ethiopian People's Revolutionary Democratic Front (EPRDF) yang berhaluan Marxis (untung di Ethiopia gak ada ormas yang suka razia buku-buku kiri). Maklum, di masa Perang Dingin, Ethiopia berkiblat ke Uni Sovyet. Tapi sekarang, ekonomi negeri ini berkiblat ke Israel. Sebagai catatan, Ethiopia adalah tanah leluhur Bangsa Yahudi.

Sejak tahun 2004, Ethiopia membukukan angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 11%. Per 2018, Gross Domestik Brutto-nya mencapai US$91 miliar, dengan rata-rata pendapatan per kapita penduduk sebesar US$790 per tahun. Sektor pertanian dan industri tumbuh pesat di sini. Komoditas utama Ethiopia yang juga menjadi primadona ekspor adalah kopi, yang menghasilkan 26,4% dari total devisa. Woiii ... kapan kita ngopi di Ethiopia?

Di Ethiopia, sektor pertanian dibangun secara masif. Mereka mendatangkan pakar kimia, pertanahan, rekayasa genetika, untuk membangun industri pertanian. Fair Planet, lembaga nirlaba Israel di bidang pertanian, membantu dalam pengadaan benih. Hasilnya, panen tanaman bahan makanan pokok, sayur, dan buah-buahan, meningkat hingga 500% dibanding sebelumnya.

Dalam laporan yang dilansir oleh Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018 Ethiopia menempati peringkat ke-12 dunia dalam Ketahanan Pangan, satu tingkat di bawah Amerika Serikat. Booming di sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, hingga angka pengangguran sangat rendah, 1,8% dari angkatan kerja. Saat ini tidak kurang dari 80% penduduk Ethiopia bekerja di sektor pertanian.

Ethiopia juga sedang menggalakan sektor industri, khususnya otomotif. Sebelumnya, 85% mobil yang ada di Ethiopia adalah mobil bekas dari negara-negara Arab Teluk yang diimpor melalui Djibouti. 90% dari mobil-mobil bekas tersebut adalah Toyota. Tapi kini Ethiopia sudah punya pabrik mobil sendiri, Bishoftu Automotive Industry (BAI) milik Angkatan Bersenjata Ethiopia. Awalnya, BIA adalah bengkel untuk truk-truk Pasukan Perdamaian PBB.

Melihat potensi pasar otomotif di Afrika Timur yang sangat besar, awal tahun 2019 VW bermitra dengan perusahaan lokal, mengalokasikan miliaran Euro untuk membangun pabrik otomotif di Ethiopia. Dari pabrik di pinggiran Addis Ababa ini VW ingin memenuhi jalan-jalan raya di negara-negara Afrika Timur dan Tengah.

Satu lagi yang mengagumkan dari Ethiopia, yaitu Ethiopian Airlines. Awal tahun 2000an, Pemerintah Ethiopia melakukan revitalisasi dan restrukturisasi maskapai penerbangan nasionalnya, dengan membeli pesawat-pesawat baru yang modern B737-700 dan B767 300ER.

Regenerasi pesawat terus dilakukan deiring dengan penambahan rute internasional. Sebagai catatan, pesawat-pesawat baru Ethiopian Airlines yang diterbangkan dari pabrik Boeing di Everet, Seattle, Amerika Serikat atau Tolouse, Perancis tidak membawa Harley Davidson atau sepeda Brompton milik CEO-nya. Kini, Ethiopian Airlines dengan pesawat-pesawat modern (lihat tabel) terbang ke berbagai penjuru dunia.

Kini, Ethiopia sudah hijrah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Afrika Timur. Perbedaan agama dan suku yang dulu sering jadi pemicu perang saudara, sudah lama diubah menjadi pelangi indah di ujung hujan, seperti logo Ethiopian Airlines yang terpampang di sirip pesawat. Lirik lagu ‘We Are The World’ yang ditulis Quincy Jones selalu mengingatkan mereka bahwa masa lalu yang kelam tidak boleh terjadi lagi.

“... there are people dying, oh, and it's time to lend a hand to life, the greatest gift of all...”

#Om shanti shanti shanti om, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan

***