Keberanian yang Selalu Mengagumkan (3)

Alternatif lain, mengirimkan pesawat lain untuk menyelamatkan para kru, dan itu juga mustahil.

Minggu, 14 Agustus 2022 | 22:09 WIB
0
113
Keberanian yang Selalu Mengagumkan (3)
Awak Columbia (Foto: liputan6.com)

YANG sama sekali tidak dapat dibayangkan adalah bagaimana ketika awak pesawat ulang-alik Columbia pada tanggal 16 Januari 2003 mengetahui ada kerusakan pada keping pelindung panas di sayap kiri yang berpotensi membuat mereka tidak bisa kembali ke bumi?

Kerusakan di bagian sayap kiri itu diakibatkan oleh bongkahan pelapis insulator (foam) tangki bahan bakar eksternal yang terlepas dan menghantam keping pelindung panas di sayap kiri Columbia beberapa menit setelah pesawat itu diluncurkan pada tanggal 16 Januari lalu.

Pesawat ulang-alik memiliki lebih dari 20.000 keping pelindung panas, yang berwarna hitam, putih, atau abu-abu, dan terbuat dari bahan komposit karbon atau serat gelas silika. Keping pelindung panas itu diperlukan untuk menahan panas yang amat sangat tinggi pada saat pesawat ulang alik kembali memasuki atmofer bumi. Tanpa keping-keping pelindung panas itu, Discovery akan meleleh dan meledak karena panas yang sangat ekstrem. 

Dalam keadaan semua keping pelindung panas itu baik-baik saja, bagian hidung pesawat ulang-alik Columbia dapat menahan panas sampai maksimum 1.275 derajat Celsius. Sedangkan batas panas yang bisa ditoleransi di bagian sayap maksimum 1.650 derajat Celsius. Bandingkan dengan titik lebur besi 1.538 derajat Celsius.

Pada penerbangan pesawat itu, Rick Husband bertindak sebagai komandan, William C. McCool sebagai pilot, Michael P Anderson, Kalpana Chawla, David M. Brown dan Laurel Clark sebagai spesialis misi, serta Ilan Ramon sebagai spesialis muatan. Mereka tahu mengenai kerusakan itu, dan tahu bahwa kerusakan itu tidak dapat diperbaiki. Mereka pun tentu telah memprakirakan peluangnya untuk bisa berhasil atau tidak kembali ke bumi. 

Akan tetapi, NASA kemudian menginformasikan kepada mereka bahwa kelihatannya kerusakan itu tidak terlalu serius, dan mereka bisa berhasil kembali ke bumi. Sebagai orang-orang pemberani, mereka melanjutkan tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka.

Ternyata, hasil analisa NASA terhadap kerusakan itu keliru. Pada hari Sabtu, 1 Februari 2003, sekitar 23 menit menjelang pesawat itu akan mendekati bumi, sayap kiri pesawat ulang-alik Columbia mendeteksi adanya kegagalan dan beberapa problem lain.

Dan, sekitar 7 menit kemudian Columbia meledak saat memasuki atmosfer bumi dan menewaskan seluruh tujuh awaknya. 

Saat menuliskan beritanya, pada saat itu, saya sempat merinding, memikirkan bagaimana suasana hati mereka selama 7 menit terakhir sebelum pesawat yang ditumpanginya meledak dan hancur berkeping-keping.

Pada tahun 2013, 10 tahun setelah tragedi tersebut, eks petinggi NASA membongkar rahasia tentang tragedi itu. Ternyata, pusat kontrol misi NASA di bumi telah mengetahui bahwa Columbia akan menemui bencana, dan para awaknya kemungkinan besar tak selamat.

Seperti dimuat ABC News, Jumat, 1 Februari 2013, Wayne Hale, yang kemudian menjadi manajer program ulang alik pesawat luar angkasa, menulis di blognya tentang tragedi itu. 

Hale menulis, saat itu Direktur Jon Harpold berpendapat, ”Tak ada yang bisa dilakukan soal kerusakan TPS (Thermal Protection System). Kupikir para awak tak perlu tahu. Bukankah akan lebih baik bagi mereka terbang pulang dengan perasaan bahagia dan kemudian tewas tanpa diduga ketika memasuki bumi, ketimbang tetap tinggal di orbit, mengetahui tak ada sesuatu yang bisa dilakukan, hingga persediaan oksigen habis?”

Dilema bagi manajer misi adalah, meski mengetahui ada tubrukan pada bagian sayap pesawat, mereka tidak tahu apakah pesawat rusak dan seberapa besar kerusakannya. Para ahli yang ada di darat kemudian memutuskan, akan lebih baik jika para awak pesawat tak mengetahui soal risiko tersebut.

Apalagi, tak ada jalan untuk memperbaiki kerusakan. Pesawat berada jauh di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan tak punya lengan robot untuk memperbaikinya. Alternatif lain, mengirimkan pesawat lain untuk menyelamatkan para kru, dan itu juga mustahil.

**

SUASANA di dalam pesawat ulang-alik Columbia itu tentu berbeda dengan awak pesawat ulang-alik Challenger yang meledak 73 detik setelah peluncurannya pada tanggal 28 Januari 1986. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka keluar angkasa akan berakhir seperti itu. Namun, itu tidak meniadakan keberadaan mereka sebagai orang-orang pemberani. Mereka adalah orang-orang yang berani pergi ke tempat di mana hanya sedikit orang yang pernah pergi ke sana.

Seluruh tujuh awaknya tewas dalam peristiwa itu. Pada saat itu, Francis R. Scobee bertindak sebagai komandan, Michael J. Smith sebagai pilot, Ronald McNair, Ellison Onizuka dan Judith Resnik sebagai spesialis misi, serta Gregory Jarvis dan Christa McAuliffe (guru) sebagai spesialis muatan. 

Orang-orang pemberani selalu ada, patah tumbuh hilang berganti. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana kehidupan kita di bumi, tanpa kehadiran orang-orang pemberani. Namun, saya yakin, tanpa kehadiran orang-orang pemberani, dunia adalah suatu tempat yang membosankan… (Selesai)

***