Demo di Hongkong memang kian radikal. Jumlah yang demo terus menurun tapi keradikalan mereka terus meningkat. Kian banyak bom botol dilemparkan. Kian banyak stasiun MTR dirusak.
Umurnya baru 13 tahun. Ia harus ditangkap. Ditahan. Diadili.
Tuduhannya: melawan petugas negara. Tepatnya: melawan polisi --mencoret-coret. Yang dicoreti baju polisi yang lagi bertugas mengendalikan demo.
Sidang pengadilan itu mestinya Selasa kemarin. Tapi ditunda. Sang anak sedang berada di rumah sakit. Tidak diketahui sakit apa.
Selama anak itu di RS ada yang mengusahakan tahanan luar. Dengan cara memberikan uang penjaminan.
Tapi ditolak.
Sidang akan dilaksanakan lagi begitu sang anak keluar dari rumah sakit.
Ada lagi remaja berumur 17 tahun. Ditangkap bersama temannya yang sedikit lebih senior. Di sebuah apartemen sewaan.
Remaja itu lagi merakit HP. Untuk meledakkan bom botol. Yang akan dikirim dengan drone. Polisi curiga: bom botol itu akan dikirim ke arah polisi. Yang selama ini sulit mereka jangkau. Ditemukan juga pecahan-pecahan botol. Yang diperkirakan akan dimasukkan botol.
Yang satu lagi lebih dewasa: 18 tahun. Anak muda ini juga ditangkap. Ditahan. Diadili.
Tuduhannya: juga melawan petugas negara. Yang ini lebih berat lagi: ditambah melakukan percobaan pembunuhan.
Saat itu yang muda lagi ikut demo. Ia mendekati polisi. Menggoreskan benda tajam ke leher polisi. Dengan alat sejenis cutter. Sang polisi dilarikan ke rumah sakit. Lukanya 3 cm. Cukup dalam. Sampai harus dioperasi.
Sidang pertamanya seharusnya juga Selasa lalu. Tapi ditunda. Anak muda itu masuk rumah sakit. Entah sakit apa.
Selama ia di rumah sakit ada yang mengusahakan tahanan luar. Dengan cara yang sama: penjaminan.
Juga ditolak.
Sidang akan dilanjutkan setelah sang muda keluar rumah sakit.
Demo di Hongkong memang kian radikal. Jumlah yang demo terus menurun tapi keradikalan mereka terus meningkat.
Kian banyak bom botol dilemparkan. Kian banyak stasiun MTR dirusak.
Bahkan dua universitas mereka sendiri dirusak.
Di Chinese University mereka marah: gara-gara pimpinan universitas tidak mau ikut mengecam polisi --yang mereka nilai brutal.
Sang pimpinan hanya mau mengecam semua kekerasan. Siapa pun pelakunya. Mahasiswa tidak puas.
Mereka juga mempersoalkan mengapa polisi diperbolehkan masuk kampus. Untuk menangkap para aktivis di kampus itu. Atau menangkap mereka yang lari ke kampus tersebut.
Di Institut Desain mereka juga marah. Seorang siswi 15 tahun ditemukan tewas di pantai. Tidak jauh dari kampus. Penyebabnya masih belum jelas. Dia siswi kejuruan yang sekolahnya di kampus itu.
Mereka menuntut universitas membuka CCTV. Yang dipasang di banyak sudut kampus. Secara utuh. Jangan ada yang diedit. Untuk mengetahui mengapa siswi itu tewas.
Kampus pun panas.
Pimpinan universitas akhirnya memutar rekaman CCTV itu. Di depan mahasiswa. Tapi tidak terlihat ada yang mencurigakan.
Justru itu yang membuat mahasiswa marah. Rekaman CCTV itu dianggap sudah diedit. Mereka menuntut rekaman lengkap. Lalu ngamuk. Kaca-kaca dipecahi.
Sampai tadi malam belum diketahui mengapa mahasiswi yang sering ikut demo itu tewas.
Di lain pihak, pemimpin Hongkong sendiri, Carrie Lam, tampak kian percaya diri. Termasuk tidak mau menemui tamunya: anggota Kongres Amerika. Yang lagi berkunjung ke Hongkong.
Carrie Lam juga masih bisa berpikir program. Untuk memulai langkah baru: merencanakan perubahan sistem penyediaan rumah murah. Yang selama ini jadi momok di kalangan bawah di Hongkong.
Dalam sidang parlemen Rabu kemarin Carrie Lam banyak mengajukan program baru. Yang dianggap sebagai akar masalah sosial.
Misalnya, tiga tahun ke depan akan dibangun rumah singgah. Rumah sementara. Sejumlah 3.000 rumah.
Itu untuk mereka yang berada dalam daftar antre. Yang sampai hari ini belum tahu kapan bisa membeli rumah.
Peminat rumah lebih banyak dari kemampuan membangun rumah baru. Harga rumah terus meningkat.
Pemerintah pusat di Beijing sampai mengecam para kapitalis real estate di Hongkong. Sambil minta pemerintah Hongkong untuk tegas: kalau perlu menyita tanah kosong milik para kapitalis itu. Untuk dibangun perumahan.
Rupanya seruan itu dipenuhi Lam. Dalam paparan di video Rabu lalu itu disebutkan: dia sudah mendapat 450 ha tanah baru. Dari hasil pembatalan izin seperti yang diserukan. Masih ditambah 250 ha lagi. Menjadi 700 ha.
Lam juga menambah plafon kredit pembelian rumah. Menggratiskan beberapa jalan tol dalam kota - -khususnya toll terowongan.
Tapi Amerika terus memberikan dukungan ke pendemo. Kemarin DPR Amerika mengesahkan UU Demokrasi dan Hak Asasi Hongkong.
Dengan UU itu Amerika akan terus mengevaluasi Hongkong. Terutama tingkat pelaksanaan demokrasi dan hak asasi di bekas jajahan Inggris itu.
Kalau hasil evaluasi menyebutkan 'tidak baik' Amerika berhak menjatuhkan sanksi. Tidak hanya pada Hongkong. Pun kepada Tiongkok.
Memang UU itu belum otomatis berlaku. Masih harus menunggu keputusan Senat Amerika. Tapi rasanya tidak sulit.
Apakah itu mematikan?
Sama sekali tidak. Itu baik saja bagi Hongkong, bagi Tiongkok dan bagi dunia.
Asal niatnya baik.
Paling, kelak akan ada kisruh perbedaan penilaian. Intinya: suka-suka Amerika-lah.
Tapi lahirnya UU di AS itu bisa juga disebut demo itu telah berhasil. Kini dunia ikut menjaga demokrasi di Hongkong.
Tuntutan inti yang pertama-tama disuarakan generasi muda itu juga sudah dipenuhi. Dicabutnya RUU Ekstradisi.
Dari segi akar masalah sosial juga berhasil: soal sulitnya perumahan di Hongkong akan diselesaikan segera.
Tapi demo ini sudah jadi bubur. Terlanjur banyak tuntutan-tuntutan baru. Yang --menurut pendemo-- tidak bisa dipisahkan dari tuntutan asli. Ekor sudah menyatu dengan kepala. Misalnya soal penyelidikan independen terhadap tindakan polisi. Yang mereka anggap brutal. Melebihi ketentuan hukum.
Juga tuntutan soal aktivis yang ditahan. Yang jumlahnya, kini, mencapai hampir 3.000 orang. Mereka minta harus dibebaskan.
Semua itu memang tuntutan ekor. Tapi ekornya kini sudah lebih besar dari kepala. Menangkap ekor kadang lebih sulit dari meringkus kepala. Dalam hal apa saja.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews