Jamal Khashoggi

Apa yang dikatakan Khashoggi terbukti benar. Usai kematiannya, Amerika menjadi pihak yang paling serius mencari tahu siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhanya.

Jumat, 13 September 2019 | 20:41 WIB
0
668
Jamal Khashoggi
Pangeran Salman dan Jamal Kashoggi (Foto: Tribunnews.com)

Masih ingat cerita penulis The Washington Post asal Arab Saudi Jamal Khashoggi yang terbunuh di konsulat Arab Saudi di Turki tahun lalu?

Tak sengaja, saya iseng membaca ulang cerita miris tentang dirinya pagi ini. Bahwa, badan dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan secara eksplisit bahwa negaranya sendirilah, Arab Saudi, yang bertanggung jawab atas kematian jurnalis ini pada tanggal 2 Oktober 2018 tahun lalu di Istambul, Turki.

Dua hari yang lalu transkrip lengkap rekaman pembunuhan terhadap Khashoggi dirilis oleh media massa di Istambul, Turki. Membaca transkrip itu seperti masuk dalam dunia horor. Mengerikan. Membaca peristiwa detik-detik akhir hidup Khashoggi yang dihabisi oleh tangan-tangan jagal dari negaranya sendiri, benar-benar di luar akal sehat manusia.

Bagaimana mungkin ada manusia yang tak dapat dibuktikan bersalah dapat dibunuh seperti binatang ternak? Bagaimana mungkin, negara tempat asalnya, Arab Saudi, yang merencanakan dan mengeksekusi dirinya di negeri asing? Apa yang salah dengan diri Ahmad Jamal Khashoggi (60) , hingga dia harus dibekap handuk untuk dibius, dibuat sesak nafas, dan kemudian dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istambul, Turki, lalu dimutilasi dan kemudian potongan-potongan mayatnya yang sudah direndam cairan kimia dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan kemudian di buang ke tempat yang tak jelas rimbanya?

Enam bulan masa investigasi dan bukti-bukti yang sudah berhasil dikumpulkan, termasuk bukti rekaman suara yang diperoleh badan intelijen negara Turki, menjadi bukti yang dapat diterima PBB .

Agnes Calamard, reporter khusus PBB untuk Kasus Eksekusi Sewenang-wenang dan Di Luar Hukum, menduga bahwa pembunuhan atas Khashoggi sudah dipikirkan dan direncanakan dengan matang, dan berkemungkingan akan menunjukkan keterlibatan pejabat Arab Saudi, khususnya intelijen negara Arab Saudi dan termasuk Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS).

Bukti menunjukkan bahwa ada 15 orang ditunjuk dalam misi pembunuhan negara Arab Saudi terhadap Khashoggi, yang menunjukkan adanya koordinasi, sumber daya, dan pembiayaan pemerintah. Arab Saudi sendiri mengatakan bahwa sumber daya tersebut berasal dari Ahmed Asiri, pembantu senior MBS, yang didakwa bersalah atas kasus ini.

Apa yang menarik dari kisah mengerikan ini? Bahwa negara pun dapat gagal dan lalai melindungi warga negaranya. Bahwa negara korup dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan menjadi pelaku penyalahgunaan kekuasaan. Bahwa negara, lewat tangan intelijen negara, dapat menyalahgunakan fungsi dan tugasnya dengan membunuh warga negaranya di negerinya sendiri atau di negeri lain. Bahwa negara dapat membunuh warga negaranya tanpa pernah ada proses hukum dan bukti nyata bahwa yang bersangkutan benar-benar musuh negara, yang harus dibinasakan karena ybs dianggap berbahaya untuk dibiarkan tetap hidup.

Yang mengusik pikiran saya adalah, mengapa Khashoggi harus dibunuh sekeji itu dan dilenyapkan tanpa jejak dari muka bumi?

Saya yang 16 tahun terakhir tinggal di Washington DC, pernah membaca tulisan-tulisan Khashoggi, yang pernah dimuat harian The Washington Post. Tulisan-tulisannya memang pro pada majunya demokrasi, anti korupsi, anti kemunafikan, anti kebohongan dan KKN di negaranya Arab Saudi. Ia juga rajin mengkritik Raja Salman dan Putra Mahkota MBS. Pedas, tapi dengan kalimat cukup sopan dan dengan argumentasi cerdas terhormat. Ia melakukan itu karena cintanya pada negeri dan rakyat Arab Saudi. Menurut saya, itu adalah hal yang benar, baik, dan sangat wajar.

Apa yang salah, kalau ada warga negara yang mengkritik pemerintahnya, mengoreksi aparatur negara, menemukan korupsi dan mencoba mengungkapkan semua dalam gaya jurnalistik? Bukankah hal yang wajar kalau seorang jurnalis menyelidiki sesuatu, mencari informasi dan mempublikasikannya dengan memakai kaidah jurnalistik?

Tentu akan ada reaksi. Akan ada yang suka dan tidak suka, juga akan ada yang setuju dan tidak setuju. Bahkan ada yang marah dan terhina atas tulisan opini seorang penulis.

Itu juga hal yang lumrah terjadi. Namanya juga opini seorang kolumnis. Tentu sangat subyektif, walaupun dibungkus dengan kaidah jurnalistik, tetaplah sebuah opini. Tetapi, kalau kemudian karena keberanian jurnalis itu mempublikasikan opininya, menyebabkan ia harus diberhentikan dua kali di perusahaan media tempat ia bekerja di Arab Saudi.

Tentu wajar Khashoggi memikirkan kembali keselamatan dirinya. Daripada ia tidak dapat menulis lagi selamanya, dan masa hidupnya berakhir dalam penjara di Arab Saudi tanpa batas waktu yang jelas, maka Khashoggi kemudian memilih ke luar dari negeri yang dicintainya. Pada tahun 2017, Khashoggi memutuskan pindah ke Amerika. Ini juga sesuatu yang dapat dipahami dan sangat manusiawi.

Adalah fakta bahwa setelah Khashoggi pindah ke Amerika Serikat, dan tinggal di negara bagian Virginia sejak tahun 2017, ia selalu dalam keadaan sehat wal afiat tanpa pernah merasa terancam hidupnya. Sangat berbeda dengan apa yang Khashoggi alami di negeri asalnya, ketika ia harus berada dalam tekanan dan ancaman dalam mengemban tugasnya sebagai jurnalis di Arab Saudi.

Khashoggi menyampaikan secara terbuka alasannya pindah ke Amerika Serikat pada kawan-kawan seprofesinya di negaranya maupun di negeri barunya. Dengan gamblang ia menyatakan bahwa ia memilih tinggal di Amerika karena ingin memiliki kebebasan berbicara dan berekspresi sebagai seorang penulis karena ia kuatir akan keselamatannya kalau ia tetap melakukan profesi jurnalistiknya di Arab Saudi.

Berkali-kali ia diundang untuk bertemu dan berdialog dengan pejabat pemerintah Arab Saudi yang kebetulan sedang berkunjung ke Amerika Serikat, termasuk diantaranya orang dekat dalam lingkaran Putra Mahkota MBS. Tapi Khashoggi selalu menolak untuk berjumpa dengan mereka. Hingga akhirnya Khashoggi harus datang ke kantor perwakilan diplomatik negaranya untuk mengurus surat cerainya demi menikahi tunangannya. Disitulah kisah Khashoggi berakhir tragis.

Siapa Kashoggi?

Tetapi siapa sebenarnya Khashoggi? Mengapa ia harus dibunuh dan dilenyapkan? Seberapa banyak informasi rahasia yang dia tahu tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negerinya? Seberapa berbahaya dirinya untuk dihitung sebagai musuh negara Arab Saudi? Benarkah dia tidak pernah jadi musuh dan ancaman bagi Amerika? Apakah pembunuhan terhadapnya adalah hasil kerjasama intelijen jahat Arab Saudi dan intelijen jahat Amerika untuk kepentingan yang sama antar kedua negara demi mendukung suksesi Putra Mahkota MBS di Arab Saudi di masa yang akan datang?

Bukannya tidak mungkin, ide membunuh Khashoggi di Turki terjadi juga untuk mengamankan Amerika, yang sangat mendukung berkuasanya Putra Mahkota MBS di Arab Saudi. Kisah jurnalis dibunuh intelijen jahat dua atau lebih negara yang bekerjasama bukan barang baru. Biasanya itu terjadi karena negara-negara tersebut punya satu alasan penting: jurnalis terlalu banyak tahu kasus korupsi, kejahatan dan penyelewengan kedua negara di masa lalu yang akan membuat rahasia operasional intelijen semua negara yang terlibat bocor ke publik.

Bayangkan kalau beberapa organisasi intelijen negara berhasil dikadali seorang jurnalis. Bukankah menghabisi sang jurnalis lebih cepat menjadi pilihan yang terbaik?

Dalam penelusuran saya, memang tidak menemukan informasi dan/atau tulisan tentang Khashoggi yang pernah dijadikan Target Operasi (TO) intelijen Amerika. Misalnya, ia pernah mengeluh akan dugaan tubuhnya dipasang chip pemancar dan penerima gelombang RFID dari ujung kepala sampai ujung kakinya oleh salah satu badan intelijen negara Amerika yang dikenal dengan nama FBI.

Khashoggi juga tidak pernah mengeluh bahwa dirinya dicurigai sebagai agen intel Arab Saudi dan dianggap mengancam kedaulatan dan keamanan dalam negeri Amerika. Kalau itu benar, pasti Khashoggi sudah punya riwayat hidup sakit-sakitan, punya imun tubuh lemah, miskin dan/atau dimiskinkan, jadi pasien yang rajin keluar masuk klinik dokter dan dibuat diagnosa medical history palsu bahwa dia selalu sehat-sehat saja, misalnya.

Sebagai jurnalis, pasti Khashoggi pasti sudah menyampaikan secara terbuka di medsos bagaimana ia merasa terancam hidupnya, kesehatannya, dan keselamatannya di Amerika. Khasoggi TIDAK pernah mengeluh tentang Amerika. Amerika selalu baik hati dan dan menjadi seorang pahlawan bagi seorang Khashoggi. TIDAK sekalipun Amerika, bahkan kalaupun ada intelijen jahat di Amerika, yang pernah mengancam kebebasan Khashoggi untuk berjurnalistik atau beraktifitas hidup walau hanya sebagai rakyat jelata.

Saya yakin, sebagai seorang jurnalis senior, pasti Khashoggi tidak bodoh membaca peta situasi ini. Insting jurnalisnya pasti berlonceng keras mengabarkan kode alert kepadanya, kalau ia berada dalam keadaan bahaya. Ia bahkan merencanakan menikah dengan tunangannya dalam waktu dekat yang dikenalnya di Amerika. Itu juga alasannya mendatangi Konsulat Arab Saudi di Istambul Turki untuk mengurus surat cerai dengan istri pertamanya supaya ia dapat menikahi tunangannya.

Jadi, selama Khashoggi tinggal di negeri Paman Sam, ia tinggal dengan bahagia, tenteram dan aman. Sepertinya, Khashoggi tahu benar, pemerintah Arab Saudi lah yang harus dia curigai dan dia tidak percayai niat baiknya ketika mengajaknya berkomunikasi di Washington DC. Khashoggi tahu, pemerintah negara Arab Saudi yang dipimpin oleh Raja Salman, lewat tangan Putra Mahkota MBS sudah melakukan abuse of power.

Menurutnya, MBS sudah dikerumuni pejabat-pejabat intelijen negara yang korup, haus darah dan rajin menjilat, menjelma menjadi intelijen jahat, yang sukses menjadikan dirinya sebagai musuh bersama mereka. Khashoggi mengatakan pada tunangannya tentang kecurigaannya itu dengan jelas. Ia bilang, pasti pemerintah Arab Saudi sangat tidak suka dengannya. Dan pemerintah Arab Saudi adalah pihak yang paling mungkin membunuhnya. Ia meyakini, bahwa ia menjadi musuh intelijen jahat negaranya yang menjadikannya target operasi untuk dibunuh.

Apa yang dikatakan Khashoggi pun terbukti benar. Usai kematiannya, Amerika menjadi pihak yang paling serius mencari tahu siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan mantan Pemimpin Redaksi Al Arab News Channel ini. Amerika sangat peduli pada kematian Khashoggi. CIA pun turun tangan menyelidikinya.

Secara resmi, badan top intelijen Amerika ini mengatakan bahwa CIA menyimpulkan bahwa MBS lah yang memerintahkan langsung pembunuhan Khashoggi sendiri. Itu bukan sesuatu yang tak mungkin, karena memang Putra Mahkota MBS diberikan otoritas penuh oleh ayahnya, Raja Salman, untuk memegang kendali atas manajemen negara dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan. Adalah sulit dipercaya kalau MBS tidak tahu dan tidak mengerti pembunuhan skala besar seperti ini.

Saya menulis tentang Khasoggi bukan tanpa maksud hari ini. Catatan ini memang menarik, penting dan perlu diingat. Bahwa sebangga apapun kamu pada Badan Intelijen negaramu, percayalah, dunia intelijen itu juga bukan lembaga yang paling hebat dan sempurna. Orang baik dan jahat ada dimana-mana, tidak terkecuali dalam rumah ibadah dan juga badan intelijen negara.

Bahwa apatur negara yang bekerja dalam dunia intelijen pun dapat melakukan praktek-praktek korupsi kekuasaan, abuse of power, pelanggaran code of conduct, melakukan korupsi otoritas, melegalkan pembunuhan terhadap korban tanpa alasan yang terbukti kebenarannya. Apalagi kalau lembaga intelijen negara dipimpin oleh orang-orang sakit jiwa yang rakus kekuasaan dan/ atau haus kenikmatan hidup mewah.

Mungkin banyak aparat intelijen yang memang digaji pas-pasan, kurang memadai untuk mencukupi biaya hidup mereka sehari-hari. Tapi ada juga aparat intelijen yang sudah digaji cukup oleh negara tapi merasa masih kurang dan suka terima order sampingan dan menjalankan agenda sendiri atau agenda pesanan pihak lain untuk memperkaya dirinya. Idealisme mereka mungkin tidak lagi berdasarkan pada nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme terhadap negara.

Mungkin ada juga pejabat atau bekas pejabat intelijen negara, yang dengan pengetahuan dan pengalaman luar biasa yang dimilikinya, sangat kuatir kalau seorang jurnalis mempublikasikan rahasia jahat mereka di masa lalu dan menjadikan seorang jurnalis sebagai musuh bersama.

Ada juga aparatur intelijen negara yang irihati pada jurnalis, yang bisa tahu sesuatu lewat networknya sendiri, lalu menuduh jurnalis tersebut agen intelijen asing. Pameo yang mengatakan bahwa tak mungkin ada jurnalis yang lebih pintar dari intelijen diterima bulat sebagai dasar pemikiran. Kalau ada ada jurnalis yang tahu banyak, lebih banyak tahu dari intel agen, maka patut dicurigai jurnalis tersebut adalah agen intel asing. Wow banget. Kalau disinetronkan maka judulnya menjadi: Tersanjung.

Ada juga kisah intelijen yang memanfaatkan jasa network jurnalis untuk membangun organisasi di satu negara, tapi mengingkari jasanya, memberi kredit kepada agen intel peliharaannya, malah sibuk mengancam-ancam jurnalis tersebut dan menendangnya dengan tidak hormat dengan pembusukan nama baik.

Begitulah kira-kira intel agen yang jadi pahlawan kesiangan beraksi di luar negeri. Sibuk menjadikan jurnalis keset kaki. Aneh tapi nyata. Tapi banyak juga intelijen yang baik dan menolong jurnalis untuk jadi jurnalis yang profesional di lapangan.

Teringat saya pada satu kasus, ada juga jurnalis yang tahu benar kejadian KKN yang merugikan negara ratusan ribu atau jutaan dollar atas ulah para pejabat negaranya di luar negeri, dan karenanya jurnalis itu harus dibungkam dan diusahakan dilenyapkan, dibikin mati pelan-pelan atau sakit demi menutup aib gelap mereka selamanya.

Segala alasan dapat dibuat demi menghentikan pengusutan berjemaah mereka. Apalagi kalau difasilitasi oknum organisasi intelijen negara lain yang juga kecipratan duit korupsi pejabat-pejabat korup negara tersebut di luar negeri.

Bayangkan, kalau sang jurnalis mengungkapkan hasil investigasinya pada publik, berapa banyak pejabat negara dan agen intel yang terciduk karena kelakuan kotor mereka di luar negeri?

Saya tidak sedang menulis tentang intelijen jahat Indonesia di sini. Yang saya tulis adalah kisah kelakuan intelijen negara lain. Dan saya pun tidak menafikan, banyak juga jurnalis yang jatuh karena sudah menggadaikan integritasnya demi uang dan /atau menyerah karena tekanan pihak penguasa.

Kembali ke kisah Khashoggi, saya adalah orang yang turut berduka atas kepergiannya yang tragis. Saya menulis ini bukan sekedar solidaritas sebagai sesama jurnalis. Saya menulis ini juga karena saya sedih ada manusia yang harus dibunuh dengan cara keji tanpa mengedepankan nilai-nilai hukum dan keadilan, dibunuh karena kesombongan aparatur intelijen negara yang merasa berhak menjadi Tuhan untuk menghentikan hidup orang lain.

Saya berduka karena kisah pembunuhan terhadapnya berhasil diungkapkan dan diakui kebenarannya, tetapi tidak berhasil menjerat otak dari pembunuhan biadab ini.

Semoga nilai-nilai moral dari pembunuhan Khashoggi dapat tercatat dari setiap insan yang mencintai kehidupan. Semoga kejadian ini tidak menyurutkan langkah Khashoggi-Khashoggi muda di Arab Saudi di masa yang akan datang untuk tetap berani menyuarakan kritik, aspirasi, koreksi dan masukan pada pemerintah dan pejabat negara, khususnya Putra Mahkota MBS serta aparatur intelijen mereka.

Doa saya, semoga jurnalis Indonesia bernasib lebih baik daripada Khashoggi.

Rest in Peace, Khashoggi.

***