Karena di Srilanka Tak Ada Sri Mulyani

Pelajaran dari sana, jangan pernah memberi hati pada teroris. Tangkap sebelum beraksi. Juga provokator provokator di media sosial yang mendorong aksi teroris.

Kamis, 14 Juli 2022 | 07:40 WIB
0
377
Karena di Srilanka Tak Ada Sri Mulyani
Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (Foto: Facebook.com)

Para oposan, kaum frustasi, kelompok pecatan, bahkan mantan menteri yang diadili karena kasus korupsi, mengingatkan dan mengompori bahwa krisis Sri Langka bisa terjadi di Indonesia. Lalu memprovokasi rakyat agar menyerbu istana negara.

Sri Lanka bukan Indonesia. Dan sebaliknya, Indonesia bukan Sri Lanka . Sri Lanka negeri salah urus dan salah memilih pemimpin, ya. Indonesia tidak.

Dengan segala gejolak politik, dan teriakan frustasi para politisi oposannya, negeri ini relatif stabil. Bisa menyelenggarakan event internasional G20 di Bali, dimana Indonesia jadi Presidensi Grupnya.

Tentu saja mengingatkan apa terjadi di Sri Langka bisa terjadi di sini - sah saja. Tapi memprovokasi rakyat di sini agar menyerbu istana negara sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka, adalah masalah lain lagi.

Hasutan, agitasi, provokasi, yang di zaman Orba sudah memenuhi syarat untuk mencomot pelakunya ke Kantor Laksusda atau Kopkamtib.

Jawaban sederhana mengapa negara Sri Lanka mengalami krisis hebat adalah karena negeri Sri Langka tak punya Menteri Keuangan klas dunia seperti DR. Sri Mulyani.

Sri Lanka tak punya menteri segala urusan seperti Luhut Binsar Panjaitan, dan tak punya unit anti teroris yang efektif seperti Densus’88.

Dan yang penting, Sri Lanka tak punya presiden segigih Jokowi.

Mengutip laporan BBC, Sri Lanka terlibat utang sebesar USD50 miliar (lebih dari Rp748 triliun) yang harus dibayar kepada kreditur asing, agar lebih mudah dikelola untuk membayar kembali.

“Hanya” menanggung hutang Rp748 triliun negara kolaps, sedangkan hutang negara kita mencapai Rp7 ribu triliun (39% rasio PDB) dan masih berjalan. Pasar masih hidup, rakyat masih belanja, listrik menyala. Tak ada pemadaman, bebas antre di SPBU. Mall dan cafe masih penuh. Anak anak urban pinggiran mejeng di pusat ibukota, bikin komunitas SCBD: Sudirman, Citayam, Bogor, Depok.

Kegagalan manajemen utang termasuk daftar penyebab krisis parah Sri Lanka, yang tak seperti Indonesia yang - dalam mengelola utang luar negeri - relatif baik baik saja.

Hutang kita masih 39 % per PDB. Bandingkan dengan hutang Jepang 257% , Sudan 210%, Yunani 207%, Italia 159%, Singapura 138%, dan Amerika 130% dari PDB.

Per hari ini, atau minggu ini, Indonesia masuk barisan negara yang inflasinya paling rendah di Asia Tenggara, bahkan Asia. Hanya 4,35 %. Bandingkan dengan Kamboja 6,3%, Singapura yang 7%, Thailand 7,1% dan Laos 12,8% serta Myanmar 13,8% (yoy –year on year).

Bandingkan dengan inflasi Turki yang 75% - yang tempo hari diidolakan kaum kadrun - dan meminta agar Indonesia belajar pada presiden Erdogan itu.

Kemana itu makhluk tak berotak kaki tangan Ikhwanul Muslimin itu?

Turki kini bahkan masuk daftar sembilan (9) negara yang berpotensi mengalami seperti Sri Lanka.

Dari laman CNBC, tertera 9 negara yang sedang bermasalah dan berpotensi krisis, yaitu Afganistan, Argentina, Laos, Lebanon, Mesir, Myanmar, Pakistan, Turki dan Zimbabwe.

Bagi oposisi dan provokator, data di atas tak penting. Kenaikkan BBM : Pertalite, Pertamax dan Pertamax Turbo di sini, kini dijadikan bahan bakar untuk agitasi, menghasut rakyat.

Padahal, sejak dulu pun secara berkala BBM naik, namun kenyataannya showroom terus dibanjiri mobil produk baru. Pameran mobil di JHCC dan Kemayoran selalu penuh sesak. Jalanan makin macet dengan pemunculan mobil gress.

Indonesia pernah menjual bensin Rp.30 perak, yang sekarang sudah jadi Pertalite Rp 7.650, Pertamax Rp 12.500, dan Pertamax Turbo Rp 14.500. Kelipatan kenaikan berapa kalinya?

PT Pertamina kini sedang mengatur agar subsidi tidak salah sasaran. Karena selama ini, hak rakyat kecil rutin diberikan kepada pemilik mobil mewah.

Andalan Sri Lanka adalah pariwisata. Tapi dengan merajalelanya teroris Islam, dan di sana tak ada aparat seefektif Densus 88, sektor pariwisata merosot. Terakhir, tiga serangan bom berturut-turut menyasar tiga gereja, empat hotel dan sebuah rumah di Sri Lanka, Minggu, 21 April 2019 lalu.

Kasus pemboman gereja menjadi titik awal jatuhnya pariwisata di negeri Alengka itu. Negara kualat sama kaum minoritas.

Untunglah, Menpar Sandiaga Uno di sini bisa diberi tahu tak perlu bikin Wisata Halal segala. Lebay!

Pelajaran dari sana, jangan pernah memberi hati pada teroris. Tangkap sebelum beraksi. Juga provokator provokator di media sosial yang mendorong aksi teroris.

Oh, ya. Kondisi ekonomi Sri Lanka makin parah karena terdampak pandemi Covid-19. Uang pinjaman negara dipakai untuk beli vaksin dan obat obatan.

Tapi mengapa Sri lanka tak bisa bangkit? Bukankah semua negara di muka bumi terdampak pandemi Covid19?
Begitulah.

Lagi lagi karena negara itu salah urus dan salah memilih pemimpin.

Dan yang penting, di negeri Sri Lanka tak ada Sri Mulyani.

***