Para mantan Presiden AS memberi keleluasaan kepada para penerusnya menjalankan pemerintahan, sekaligus memberi kepercayaan penuh dengan menghormati tanpa menyinyirinya.
Ada ketentuan tidak tertulis yang seolah-olah jadi "konstitusi" tersendiri, bahwa para mantan Presiden Amerika Serikat tidak boleh menyinyiri Presiden yang sedang menjabat.
Ketentuan ini dipegang dengan penuh etika dan kesadaran bahwa setiap pernyataan yang berbau kontroversi akan menjadi pembicaraan publik yang kurang kondusif dan karenanya lebih baik diam daripada mengacaukan situasi, apalagi memanaskan suasana yang sedang adem.
Bahkan seorang Donald Trump yang sebelumnya doyan berkicau di medsos, akhirnya tahu diri juga untuk tidak pernah terdengar menyinyiri penggantinya, Joe Biden.
Meski demikian, para mantan Presiden tidak dilarang terus aktif bekerja demi kepentingan warga seperti aktif di yayasan sosial, memberi kuliah, ceramah, menulis buku atau aktivitas lainnya seperti berlibur, memancing, berkebun atau main catur.
Mengapa para mantan Presiden AS diminta untuk menahan diri agar tidak nyinyir dan masuk ke palagan polemik secara terbuka di depan publik?
Bukan karena menegasikan kebebasan berbicara yang ditabalkan dalam konstitusi, lebih karena menjalankan etika politik santun dalam arti sesungguhnya, bukan santun yang artifisial.
Selain itu, para mantan Presiden AS memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada para penerusnya (Presiden berkuasa) menjalankan pemerintahan dan kebijakannya, sekaligus memberi kepercayaan penuh dengan menghormati tanpa menyinyirinya.
Lain AS lain Uganda di Afrika, mantan Presiden Uganda Prof. Yusuf Kironde Lule sangat gemar menyinyiri Presiden penggantinya, bahkan untuk hal-hal yang "ecek-ecek". Konon ia harus mencitrakan Presiden penggantinya sebagai "gagal" dengan terus-menerus mengglorifikasikan keberhasilan yang pernah dirasakannya, minimal dirasakan sendiri olehnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews