Kekalahan AS Di Medan Tempur Media

Serangan rudal Iran tersebut bukan saja diopinikan sebagai pembalasan atas kematian Soleimani, tetapi juga sebagai bukti ringkihnya pertahanan udara Amerika oleh serangan rudal lawan.

Kamis, 20 Februari 2020 | 09:38 WIB
0
669
Kekalahan AS Di Medan Tempur Media
Sumber foto Businessinsider.sg

Minggu, 9 Februari 2020, Facebook memberangus akun-akun yang dinilai melanggar aturan. 

Pemberangusan ini terbilang aneh. Awalnya pemilik akun mendapat pemberitahuan bila ia sudah melanggar aturan komunitas. Facebook kemudian meminta pemilik akun untuk mengirim foto wajahnya, ada juga yang dimintai scan KTP-nya. 

Setelah pemilik akun mengikuti petunjuk Facebook, yang terjadi justru pemberitahuan bila akun tersebut tidak ditemukan. Artinya, akun tersebut tidak terdaftar. Karena akun Facebook-nya tidak terdaftar, akun messenger pun secara otomatis tidak terdaftar.

Terlibat Jaringan Intelijen Rusia dan Iran? 

Tiga hari kemudian, media menginformasikan bahwa Facebook kembali menghapus 78 akun, 11 laman, 29 grup. Penutupan itu dilakukan lantaran Facebook mengendus adanya aktivitas intelijen Rusia dan Iran pada jaringan media sosial yang dikelolanya.

Facebook, juga Instagram, sebenarnya sudah melakukan pemberangusan akun-akun sejak tahun 2020 baru memasuki minggu pertamanya. Akun-akun itu ditutup lantaran mengecam Amerika Serikat karena telah membunuh Komandan Islamic Revolutionary Guards Corps (IRGC) Mayjen Qassem Soleimani di Irak pada 3 Januari 2020. 

Amerika menganggap kecaman tersebut sebagai dukungan terhadap IRGC yang oleh Presiden AS Donald Trump distempel “Teroris”. Karena dinyatakan sebagai kelompok teroris, berdasarkan undang-undang yang berlaku di AS, Facebook wajib menutup akun-akun yang dianggap sebagai pendukung IRGC. 

Konten-konten bernarasi positif tentang Soleimani kembali meramaikan jagad media sosial jelang peringatan 40 hari gugurnya komandan pasukan elit Iran itu. Karenanya, patut diduga kuat, bila penutupan akun-akun pada Februari 2020 bukan karena terkait jaringan intelijen Iran dan Rusia, melainkan karena dukungannya pada Soleimani.

Lantaran itu, dengan diselingi guyon-guyon satire, sejumlah netijen menyarankan untuk mengganti “Qassem Soleimani” dengan “Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut”.


Kekalahan Amerika Serikat di Medan Tempur Media

Pasca operasi pembunuhan terhadap Soleimani, AS keteteran di medan media. Terbukti dari diberangusnya akun-akun medsos pengecam operasi AS dalam rentang waktu satu bulan. 

Dalam isu pembunuhan Soleimani, AS memang tidak mampu menghadapi konten-konten yang diunggah lawannya. Di sini AS tidak bisa melawan logika yang begitu sederhana: ISIS adalah teroris; Soleimani adalah komandan pasukan yang memerangi ISIS; AS adalah pembunuh Soleimani. Dengan demikian, maka AS berada di pihak ISIS atau bersekutu dengan teroris.

Kekalahan AS di medan tempur media, termasuk media sosial, berlanjut pasca dua basis militernya di Irak dibombardir rudal-rudal Iran pada 8 Januari 2020 atau 5 hari setelah pembunuhan terhadap “Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut”. 

Serangan Iran yang tidak diprediksi sebelumnya itu justru semakin menyudutkan Amerika Serikat (Gedung Putih baru mendapat informasi dari  “Squawk” hanya 3 jam sebelum serangan Iran). Tudingan sebagai pemicu meletusnya Perang Dunia Ketiga pun mengarah ke hidung Trump.

https://www.youtube.com/watch?v=QKIvOeKHpFE

Di sisi lain, serangan rudal Iran tersebut bukan saja diopinikan sebagai pembalasan atas kematian Soleimani, tetapi juga sebagai bukti ringkihnya pertahanan udara Amerika oleh serangan rudal lawan. 

Terus-terusan dihantam media, membuat AS semakin gusar. Pada 24 Januari 2020, domain FarsNews.com milik Fars News Agency. Dalam email yang dikirim oleh penyedia layanan internasional ke Fars News Agency, secara eksplisit dinyatakan bahwa pemblokiran ini atas instruksi yang dikeluarkan oleh Office of Foreign Assets Control (OFAC).

Respon AS dalam menyikapi media pengkritiknya, justru merontokkan kepercayaan publik pada pemerintah Trump. Salah satunya gegara Pentagon yang berulang kali menganulir jumlah tentara AS yang mengalami cedera akibat serangan Iran. Dari 11 tentara dianulir menjadi 33, kemudian menjadi 50, dianulir lagi menjadi 64, terakhir 109 tentara (angka ini pun hanya jumlah tentara As yang mengalami cedera otak berat). Sebaliknya, kepercayaan kepada Iran meningkat. 

Iran kembali mengukuhkan kemenangannya di medan tempur media setelah menginformasikan tewasnya pejabat CIA untuk Iran, Michael D’Andrea, dalam kecelakaan pesawat militer Bombardier E-11A milik AS di Ghazni, Afghanistan, 28 Januari 2020. 

Informasi tewasnya D’Andrea yang dijuluki “Dark Price” ini sebar Iran lewat TV Iran, dan dua media Inggris: Independent dan Daily Mail. Hanya dalam hitungan menit, informasi tentang tewasnya Andrea ini langsung memviral. Belum sempat AS mengklarifikasinya, sejumlah media mempublikasikan tentang sumber intelijen Rusia yang membenarkan tewasnya Andrea. 

Sebenarnya, Iran tidak memiliki bukti atas tewasnya D’Andrea. Bahkan, besar kemungkinan Michael D’Andrea hanyalah tokoh fiksi hasil rekaan Iran. Begitu juga dengan sumber intelijen Rusia yang membenarkannya. Sumber intelijen Rusia ini pun tidak jelas juntrungannya. Tetapi, lagi-lagi publik mempercayainya.

Jika dalam kasus jumlah tentara AS yang cedera akibat serangan rudal Iran, Pentagon berulang kali menganulir keterangannya sendiri, dalam kasus kecelakaan pesawat militer Bombardier E-11A, keterangan Pentagon berbeda dengan informasi yang didapat Kepala Kepolisian Ghazni, Khalid Wardak.

Kepada Reuter, Wardak mengatakan terdapat 4 jenazah dan 2 penumpang yang masih hidup dari pesawat itu. Namun, kedua penumpang yang masih hidup tersebut belum diketahui keberadaannya. Sementara, kepada media, Pentagon menyatakan hanya terdapat 2 penumpang yang tewas dalam kecelakaan tersebut.

Lagi-lagi, Iran kembali mendapat angin. Dan, sekali lagi, AS dipaksa keteteran di ranah media.

Kekalahan AS di medan tempur media ini membuat publik AS mendesak CIA kembali mengaktifkan Operasi Mockingbird yang sukses mengontrol media di era 1970-an. Namun belum diketahui strategi CIA untuk kembali mengontrol media di era internet ini, selain tentu saja dengan cara memblokir media dan memberangus akun-akun media sosial.

Kenapa AS Kalah di Medan Tempur Media?

Tidak ada yang salah dengan pemberitaan media massa terkait isu Iran Vs AS. Media sudah memberitakan informasi dengan benar karena telah sesuai fakta atau pernyataan pihak-pihak terkait. Terlepas dari pernyataan tersebut dianggap hoax atau sekadar klaim sepihak, sepanjang informasi tersebut disampaikan oleh narasumber yang berwenang, media dinilai telah menjalankan tugasnya dengan benar.

Begitu juga dengan netijen. Lewat akun-akun media sosial yang dimilikinya, netijen membagikan informasi-informasi yang disampaikan media online. Di antara netijen tersebut ada juga yang tidak sekadar membagikan tautan berita, tetapi juga mengunggah opininya. Benar ada sejumlah netijen yang menyebarkan kabar bohong, tetapi jumlahnya terbilang minor.

Bisa disimpulkan jika kekalahan AS dalam konflik Iran-AS tersebut bukan disebabkan keberpihakan media dan netijen.

Jika diperhatikan, salah satu kekalahan AS di ranah media lantaran keterlambatan pihak berwenang AS dalam memberikan keterangan resminya. Misalnya, keterangan mengenai korban serangan rudal Iran yang terjadi pada 8 Januari 2020 baru disampaikan pada 17 Januari 2020 atau 9 hari setelah peristiwa terjadi. 

Penyebab lainnya adalah keterangan AS yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Selain berubah-ubah, informasi yang disampaikan AS pun masih diduga masih menutupi informasi-informasi lainnya terkait jumlah korban. Dugaan ini muncul lantaran AS hanya menyebutkan jumlah tentara AS yang mengalami cedera otak berat. As tidak menyebutkan jumlah tentara AS yang mengalami cedera otak sedang, cedera otak ringan, patah kaki atau tangan, luka bakar, dan lainnya.

Berbeda lagi dalam kasus pemberitaan tewasnya Michael D’Andrea. Dalam kasus ini, AS tidak mungkin bisa membantah atau meluruskannya. Sekalipun jika AS memunculkan sosok yang diberitakan telah tewas itu di depan publik. Ini dikarenakan sosok D’Andrea sendiri tidak diketahui oleh publik. 

Bisa dikatakan, informasi kematian D’Andrea merupakan kecerdasan Iran dalam memainkan post-truth. Tentu saja kecerdasan Iran ini tidak mungkin berdampak tanpa adanya keterlibatan media, termasuk media sosial.  

Karenanya, sangat disayangkan jika Amerika Serikat melawan kecerdasan Iran tersebut dengan cara memblokir media dan memberangus akun-akun media sosial. Langkah AS ini bukan saja patut disebut sebagai sikap pengecut, tetapi juga melanggar asas-asas kebebasan pers dan kebebasan bersuara.

***