Dapat dipastikan bahwa kisah perjalanan epik Bertha Benz itu belum sampai di Pulau Jawa, pada saat Paku Buwono X memutuskan untuk berkendara di dalam Benz Victoria phaeton miliknya.
KEBERANIAN seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang benar-benar baru, yang sama sekali tidak pernah dilakukan orang sebelumnya, selalu memancing kekaguman.
Apa yang dilakukan oleh Susuhunan Solo Paku Buwono X (1866-1939) adalah satunya. Sebagai seorang pangeran, dan kemudian seorang raja, yang terbiasa berkendara dengan kereta kuda, tiba-tiba memutuskan untuk membeli mobil dan berkendara dengan mobil itu.
Bagi seseorang yang tinggal sangat berjauhan dari tempat asal lahirnya mobil, memutuskan untuk membeli mobil saja sudah merupakan suatu hal yang luar biasa, apalagi kemudian memutuskan untuk berkendara dengan mobil itu, itu lebih luar biasa lagi.
Paku Buwono X tercatat sebagai orang Indonesia pertama, dan sekaligus juga raja pertama yang memiliki mobil, dan berkendara dengan mobil itu. Mobil itu adalah sebuah Benz Victoria phaeton (1894).
Pada waktu masih banyak orang yang terheran-heran menyaksikan sesuatu benda yang mirip kereta kuda, bergerak sendiri tanpa dihela kuda, Paku Buwono X, yang kala itu berusia 28 tahun, berani duduk di dalamnya dan bepergian dengannya.
Padahal pada saat itu, mobil dijuluki kereta setan karena banyak orang menganggap kereta kuda tanpa dihela kuda itu digerakkan oleh setan, kekuatan gaib yang tidak kelihatan.
Memang ada penasihat berkebangsaan Belanda di belakangnya, yang mendorong dan membuka cakrawala pemikirannya, tetapi tetap saja, keputusan untuk membeli dan berkendara dengan mobil itu sepenuhnya berada di tangan Paku Buwono X. Ia kemudian gemar bepergian dengan mobil, dan di halaman keratonnya, terparkir mobil-mobil miliknya.
**
ENAM tahun sebelumnya, tahun 1888, di Jerman, ada pemberani lain. Luar biasanya, pemberani itu seorang perempuan, namanya adalah Bertha Ringer Benz. Ia dengan berani mengemudikan mobil pertama di dunia, Benz Patent Motorwagen, dari Mannheim ke Pforzheim sejauh lebih dari 100 km untuk mengunjungi ibunya.
Mobil itu dibuat oleh suaminya, Karl Friedrich Benz, dan mendapatkan surat patennya pada tahun 1886. Sayangnya, mobil itu hanya digunakan untuk berputar-putar di dalam lingkungan pabrik di Mannheim, tempat di mana mobil itu dibuat.
Namun, dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 5 Agustus 1888 pagi, keadaannya berbeda. Langit masih gelap, ketika Bertha Benz (39) dengan ditemani kedua anaknya, Eugene (15) dan Richard (14), secara diam-diam—tanpa sepengetahuan suaminya—mengeluarkan mobil itu dari pabriknya di Mannheim, menghidupkan mesinnya, dan mengemudikannya ke Pforzheim sejauh 104 km (pada saat itu, belum ada ruas jalannya sehingga jarak yang ditempuh lebih jauh daripada jarak saat ini yang hanya 88,2 km).
Untuk pertama kalinya, mobil yang berusia dua tahun tersebut dibawa sejauh itu. Perbuatan Bertha Benz sangat berani dan luar biasa karena pertama-tama, hal itu belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya. Boleh saja yang membuat mobil itu seorang laki-laki, tetapi tidak dapat dimungkiri yang mempopulerkannya adalah seorang perempuan.
Persoalan pertama yang dihadapi Bertha Benz adalah soal pengisian bensin, yang pada saat itu bernama ligroin. Pada saat itu, bensin, yang merupakan produk samping minyak bumi adalah cairan pembersih (seperti alkohol pada saat ini) dan dijual dalam botol secara terbatas di apotek. Stasiun pengisian bensin seperti yang kita kenal saat ini belum ada.
Dengan kapasitas tangki mobil itu 4,5 liter, ia harus sering berhenti di apotek untuk membeli 6 botol bensin. Selain itu, setiap 20 km ia harus berhenti untuk mengisi air yang berfungsi mendinginkan mesin mobil.
Dan, pengetahuan teknik tentang mesin yang dia miliki, menjadikan ia dapat memperbaiki sendiri beberapa masalah yang terjadi pada mesin mobil yang dikemudikannya.
Misalnya, ia menggunakan pita putih penahan stoking di paha (gatter), untuk menutup kebocoran di sambungan pipa, dan beberapa kali menggunakan tusuk rambutnya untuk membuka sumbatan pada katup yang terjadi di sepanjang perjalanan.
Ia sempat berhenti di sebuah toko pembuat sepatu setempat untuk melapisi sepatu rem yamg terbuat dari kayu dengan kulit. Sepatu remnya terkikis karena ia berulang kali mengerem dalam perjalanan itu. Setelah bermalam di Pforzheim, ia kembali ke Mannheim dengan mobil yang sama.Jika menghitung kecepatan maksimum mobil itu 17 km/jam, maka perjalanan non stop ke Pforzheim itu berlangsung minimum 6,2 jam. Namun, karena mobil itu beberapa kali berhenti untuk mengisi bahan bakar, perbaikan mobil, dan makan, maka perjalanan diperkirakan berlangsung 10-12 jam.
Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh kereta kuda, mengingat, pada masa itu, untuk mempertahankan kecepatan, kuda-kuda yang menghela (menarik) kereta kuda harus ditukar setelah menempuh jarak tertentu.
Perjalanan dari Mainnheim ke Pforzheim dan kembali ke Mannheim (208 km) itu epik karena setiap berhenti di suatu tempat, ia dan mobil itu menjadi pusat perhatian orang ramai.
Dan, melalui perjalanan itu pula ia menunjukkan bahwa mobil adalah kendaraan baru yang dapat diandalkan. Itu sebabnya, muncul ungkapan bahwa ia (Bertha Benz) mengendarai lebih dari sebuah kendaraan, ia mengendarai sebuah industri.
Oleh-oleh yang didapat dari perjalanan itu adalah daftar apotek yang menjual bensin di sepanjang jalan dari Mannheim ke Pforzheim, dan usul untuk memasang gigi persneling tambahan karena beberapa kali Benz Patent Motorwagen mengalami kesulitan ketika harus menaklukkan tanjakan sehingga harus didorong.
Namun, dapat dipastikan bahwa kisah perjalanan epik Bertha Benz itu belum sampai di Pulau Jawa, pada saat Paku Buwono X memutuskan untuk berkendara di dalam Benz Victoria phaeton miliknya.
(bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews