Identitas Dayak, dengan demikian, terbentuk berdasarkan label “penduduk asli pulau Borneo” yang ditengarai sebagai keturunan kelompok proto-Melayu yang masuk pulau Borneo melalui Semenanjung Melayu pada sekitar 4.000 tahun yang silam.
SIAPA manusia Dayak?
Mengajukan pertanyaan ini, seperti orang pandir. Mengapa? Sebab kita seperti dibimbing menerabas wilayah baru tak dikenal. Suatu terra incognita. Sebuah pencarian ada awal, namun tiada ujung. Pasti tidak pernah bersua jawaban yang purna. Hanya sebatas mendekati.
Terra incognita adalah istilah yang ditengarai pertamakali ditemukan Geografi Ptolemaeus. Sekitar tahun 150. Terra incognita, atau kerap terra ignota. Adalah terminologi yang digunakan dalam kartografi untuk menyebut suatu daerah yang belum dipetakan. Atau suatu lokus geografi yang belum didokumentasikan. Namun, begitu ada jejak langkah meski setapak saja di wilayah terra incognita, ia telah jadi tonggak sejarah. Kerapkali, penelitian selanjutnya meneruskan, atau menemukan novelty --bidang yang belum dijamah oleh tapak kaki peneliti pertama.
Demikianlah. Sejarah suku bangsa Dayak pun menemukan fitrahnya! Sekian abad telah lewat. Ribuan tahun berganti. Belum ada sejilid buku pun mengenai sejarah dan kisah penghuni asli bumi Borneo.
Memulai kata pembuka alinea pertama narasi ini, wajib diberi catatan awal: kita masuk wilayah terra incognita sejarah manusia Dayak. Suatu pekerjaaan yang tidak mudah dan memakan waktu serta menguras tenaga. Bahan-bahan dan pustaka telah dikumpulkan bukan tiba-tiba, melainkan sejak tahun 1984.
Beberapa artikel awal, sempat dimuat harian Kompas. Yang pertama berjudul "Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah" (Kompas, 11 Maret 1984).
Selanjutnya, beberapa artikel ilmiah dimuat di majalah kebudayaan Basis (Agustus 1987, 289-295 ). Kemudian di berbagai jurnal akademik terakreditasi. Lalu pada 2010, terbit sebuah monograf berjudul Dayak Djongkang yang memenangkan hibah buku teks perguruan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beperapa hasil penelitian dimuat dalam The Joshua Project. Demikian, sekadar menyebut beberapa cikal bakal awal yang menjadi narasi lengkap ini.
Merupakan pekerjaan raksasa suatu upaya yang berusaha untuk menggali dan mengumpulkan bahan-bahan yang bisa dipercaya, mengkategorikannya, menyusunnya sesuai dengan tempatnya, membandingkannya dengan teks lain yang terkait, kemudian menyajikannya secara utuh-menyeluruh menjadi sebuah narasi yang utuh. Belum ada sebuah monograf lengkap, belum ada pustaka tunggal selayang pandang Sejarah Dayak. Yang ada adalah potongan-potongannya saja. Misalnya, Dayak di suatu wilayah, pada kurun waktu tertentu. Sedemikian rupa, sehingga belum ada pustaka yang tunggal yang dapat menjelaskan "Siapa manusia Dayak?"
Jujur harus diakui bahwa pada awal mula tidak ada keberanian untuk memasuki terra incognita ini. Hal itu mengingat berbagai keterbatasan: begitu jauh apa yang disebut dengan jarak-hermenutika, hermeneutic cycle. Sedemikian panjang jenjang apa yang diketahui dan belum diketahui. Sebegitu lempang rentang antara dunia atas (tidak diketahui) dan fakta-data sejarah sebagai clue, vorurteil, sebagai tonggak awal di dalam mengetahui "siapa manusia Dayak" sesungguhnya.
Sedemikian rupa, sehingga dapat dipastikan, jawaban atas pertanyaan, "Siapa manusia Dayak?" tidak sesederhana seperti dibayangkan. Masuk wilayah itu, sesungguhnya kita memberanikan diri menginjak zona merah. Suatu ranah epistemologi.
Banyak pakar coba menjelaskan siapa manusia Dayak. Sekadar menyebut contoh, Riwut (1952), Ukur (1971), Lontaan (1975), Coomans (1987), Djuweng dan Krenak (1993), dan Masri (2010). Semua sepakat bahwa Dayak adalah nama kolektif untuk menyebut penduduk asli penghuni pulau Borneo yang belum dipengaruhi agama asing dan sentuhan unsur-unsur di luar dirinya.
Dayak dan bukan-Dayak secara otomatis terpilah berdasarkan label “keaslian” penduduk pulau Borneo.
Bahkan, secara jelas-tegas, beberapa pakar menyatakan bahwa keaslian Dayak dapat dilihat dari “sensus divinitas” atau agama asli suku Dayak yakni sifat lokal keagamaan yang berasal dari daerah itu sendiri, sejak awal mula ada di sini dan tidak diimpor dari luar. Sifat asli itu oleh Bakker (1972: 1) disebut “autochton”, sebagai lawan dari “allochton”. Apabila direntang jauh surut ke belakang lagi, pertengahan abad 17.
Sesungguhnya, penulis yang disebut di atas masih mengacu ke sumber lain, yang sekunder. Sumber primernya sendiri yang menohok langsung menyebut “Dayak”, sebenarnya dari karya Jan B. Ave dan V.T. King berjudul Borneo: Oerwoud in ondergang culturen op drift (1986, halaman 10) yang berikut ini:
“Naar ons weten was het woord ‘Dayak’ reeds in 1757 aan Nederlanders bekend, getuige het voorkomen van die term in de beschrijving van Banjarmasin door J.A. Hogendorf. Het woord betekent ‘binnenland”.
Jadi, terminologi “Dajak” diperkenalkan kepada orang Kolonial (Belanda) pada 1757. Artinya, seperti dicatat dalam monograf tentang Banjarmasin oleh J.A. Hogendorf “binnenland”, penduduk asli, sebagai lawan dari pendatang. Kemudian, disebutlah penduduk asli Borneo itu sebagai: binnenlander, mengacu ke pewaris sah suatu negeri, tanah tumpah darah, orang hulu, tinggal di daratan bukan pesisir, orang udik.
Itulah citarasa Dayak pada sense awal mula, sebuah askripsi, suatu labeling yang mengarah ke pemilahan.Sebenarnya para penulis di atas telah mengutip sumber-kedua seperti karya Van Enthoven, Nieuwenhuis, dan karya kontrolur Malinckrodt –seperti dikutip Ukur. Sebagai peneliti-penulis, kita wajib menelusuri –dari catatan kaki dan senarai pustaka—sumber primernya. Jadi, istilah “Dajak” itu ditemukan/ digunakan pertama kali dalam monograf tentang Banjarmasin bertahun 1757.
Kelak di kemudian hari, baru para pakar telah memilah-milah indigenous people Borneo terdiri atas setidaknya tujuh stammenras (rumpun besar suku) yang terdiri atas sekitar 450 subsuku. Pemilahan itu berdasarkan kesamaan bahasa, adat istiadat, tempat tinggal, ritus, upacara, kesamaan fisik, dan artefak. Tidak berhenti di situ.
Peneliti selanjutnya dapat meneruskan, menambah, atau meng-up date hasil penelitian yang telah ada. Sehingga, sebenarnya, subsuku Dayak bukan hanya 450; melainkan lebih. Bahkan, di Kalimantan Barat saja menurut para peneliti Institut Dayakologi (2008), terdapat : 151 subsuku Dayak. Belum subsuku Dayak lain, di sisa 4 provinsi lainnya dan yang bermukim di Malaysia dan negara lainnya.
Locus studiorum (wilayah penelitian) yang maha luas ini sudahlah tentu membutuhkan peneliti dari dalam, yang pengetahuan dan latar akademisnya memadai, agar hasilnya standar internasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Atas pemilahan dan penggolongan tersebut, maka yang disebut “manusia Dayak” hari ini tersebar di tiga negara (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam), meski tetap bermukim di pulau sama. Populasinya mencapai sekitar 7 juta, terdiri atas hampir 4 juta di Indonesia, 2,9 juta di Malaysia, dan 100.000 di Brunei.
Identitas Dayak, dengan demikian, terbentuk berdasarkan label “penduduk asli pulau Borneo” yang ditengarai sebagai keturunan kelompok proto-Melayu yang masuk pulau Borneo melalui Semenanjung Melayu pada sekitar 4.000 tahun yang silam.
Namun, tentang asal usul ini, masih suatu perdebatan. Sebagian ilmuwan, saya termasuk di dalam mazhab ini, tidak sepakat bahwa Dayak berasal dari mana pun. Artefak dan mitos di Krayan, misalnya. Adalah bukti-sejarah tak terbantah, bahwa nenek moyang Dayak telah ada di sini, di lokus ini, sejak zaman semula jadi. Dengan demikian, tidak berasal dari mana pun. Bukti tentang ini akan diajukan kemudian.
Saya, sebagai peneliti, memiliki sumber-primernya sebagai starting awal hipotesis. Setidaknya, ada dua sumber primer kuat dari sisi akademik. Diperkokoh oleh penelitian di locus peradaban batu suku Dayak di Krayan, saya semakin yakin bahwa asal mula Dayak tidak dari mana pun. Ia asli. Autokton.
***
(Bersambung)
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews