Suhardi Alius yang Sering Dikira Nasrani Itu Pengayom Mantan Teroris

Suhardi Alius mengungkapkan, sering sekali dirinya dikira Nasrani, "padahal Alhamdulillah sudah haji pada 1996, ketika masih kapten," katanya.

Kamis, 18 Juli 2019 | 20:59 WIB
0
929
Suhardi Alius yang Sering Dikira Nasrani Itu Pengayom Mantan Teroris
Suhardi Alius saat saya wawancara (Foto: Dok. pribadi)

Saya mengenal nama Suhardi Alius lewat Cak Sumarno, wartawan Harian Jayakarta. Tidak secara langsung tapi lewat buku. Mengubah Pelayanan Polri dari Pimpinan ke Bawahan, 2013 dan Masa Depan Hutan Indonesia, 2011, begitu judul dua buku yang dikirimkan ke redaksi Harian Detik.com, Maret 2013.

“Jat, sempatkan baca dan dibuatkan resensi. Buku apik!” Dia menyelipkan pesan di secarik kertas kuning.
Cak Marno tak membual. Karena tak terlalu tebal dan paling baru, saya sempatkan membaca “Mengubah Pelayanan Polri dari Pimpinan ke Bawahan”. Menarik dan mendapatkan momentum yang pas. Waktu itu, gaya blusukan Gubernur DKI Joko Widodo sedang menjadi perhatian masyarakat.

Lewat buku ini, Suhardi mengungkapkan pengalamannya selama menjadi Kapolres Jakarta Barat hingga Wakil Kepala Polda Metro Jaya. Cuma dia lebih suka menyebutnya keluyuran. Setiap malam dia biasa menyamar. Cuma mengenakan jaket kulit, jeans belel, dan sandal jepit dia menyambangi pos-pos polisi. Dari situ dia mengetahui persis kesiapsiagaan hingga gaya aparat di lapangan dalam melayani warga.

Nama Suhardi kembali menjadi perhatian saat menjadi Kepala Bareskrim. Lulusan Akpol 1985 itu melewati lima angkatan, 1980-1984 untuk menempati jabatan tersebut. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane menilai hal itu tak lepas dari rekam jejak dan kinerja Suhardi yang terbilang cemerlang.

Dia mencontohkan, saat menjadi Wakapolda Metro Jaya, Suhardi yang sering blusukan sukses meredam aksi-aksi demonstrasi dengan elegan. Mulai demonstrasi menentang kenaikan harga BBM di DPR maupun aksi bakar mobil polisi di depan kantor YLBHI.

“Waktu jadi Kapolda Jabar, dia juga cepat turun ke lapangan untuk mengendalikan konflik antar anggota Brimob dengan TNI di Karawang pertengahan November 2013,” ujarnya.

Selama 14 bulan memimpin Bareskrim, Suhardi menorehkan banyak jejak positif. Dia menjalin sinergi yang harmonis dengan KPK. Suhardi menyokong penuh kerja-kerja KPK. Terkait praktik pungutan liar di Bandara Soekarno-Hatta kepada para TKI, misalnya. Bersama Ketua KPK Abraham Samad dan tiga wakilnya dia terlibat langsung menertibkan praktik pemerasan di sana. Hasilnya, 6 petugas diamankan.

Suhardi juga menjalin sinergi dengan Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan, hingga Direktorat Jenderal Pajak. Para pengemplang pajak bisa langsung dipidanakan atau memilih bayar pajak. Efeknya, penerimaan pajak meningkat signifikan.

“Sebenarnya polisi jujur itu masih banyak, tidak seluruhnya sinisme Gus Dur tentang polisi mengandung kebenaran, salah satunya adalah Suhardi Alius,” puji mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Integritas di Tengah Kabut Idealisme”.

Kiprah Suhardi di Bareskrim terhenti sejak 16 Januari 2015. Lelaki kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 itu digeser ke Lemhanas sebagai Sekretaris Utama. Ia dituding memasok data ke KPK ikhwal rekening gendut milik Komjen Budi Gunawan yang menjadi calon tunggal Kapolri. Tak lama setelah dicalonkan Presiden Jokowi, KPK malah menetapkan Budi sebagai tersangka korupsi.

Saat kembali disinggung isu tersebut, Suhardi menggeleng. “Saya tidak pernah punya persoalan dengan Pak Budi,” ujarnya singkat.

Suhardi lebih bersemangat memaparkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diembannya sejak 20 Juli 2016. Konsep deradikalisasi dengan pendekatan humanis dalam kontra terorisme yang dijalankannya menuai banyak pujian.

Ia lebih suka merangkul para mantan narapidana terorisme ketimbang mengucilkannya. Hal itu antara lain ditujunjukkan saat menyambangi Desa Tenggulun di Lamongan, yang kerap distigma sebagai kampung para teroris.

Suhardi membantu pembangunan masjid dan pengelolaan yayasan yang dikelola mantan napi terorisme Bom Bali Ali Fauzi. Juga membangun Pondok Pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatra Utara asuhan mantan teroris Khairul Ghazali.

Selain itu, ia juga memprakarsasi pertemuan 100 mantan napi teroris dan keluarga korban dalam satu forum bertajuk 'Silaturahmi Kebangsaan'. Untuk meningkatkan ekonomi para mantan napi dan penyintas, dia juga membantu mendirikan “Pop Warung” di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Di sisi lain, untuk mendeteksi dan mengikis infiltrasi paham radikalisme, Suhardi rajin berkeliling kampus untuk berdialog dengan para rektor dan mahasiswa. Juga menggandeng sejumlah kementerian dan pemda untuk membangun infrastruktur di daerah miskin dan membuka lapangan pekerjaan.

Sejumlah negara pun berduyun-duyun datang untuk belajar tentang deradikalisasi kepada Indonesia. Perwakilan pejabat anti terror dari Jepang, Belanda, Yordania dan lainnya menyatakan salut dan siap meniru langkah BNPT. Wakil Presiden Bundeskriminalamt (Badan Antiteror Jerman) Michael Kretschmer saat bertamu awal Juli lalu juga meminta agar BNPT mengirimkan para ahlinya ke sana.

“Pekan depan saya juga diundang ke Amerika untuk berbicara soal deradikalisasi,” kata Suhardi saat ditemui di kantornya, Rabu (17/7).

Tak cuma jadi pembicara, suami dari dr Riri Nusrad Kanam itu juga cukup piawai menulis. Enam buku telah ditulisnya selama dia mengemban berbagai jabatan. Kemampuannya itu terpicu selama melayani empat Kapolri (Jenderal Surojo Bimantoro, Da’í Bachtiar, Sutanto, dan Bambang Hendarso Danuri). “Saya nyaris jadi sekretaris pribadi dan staf ahli abadi,” ia berseloroh.

Di balik ragam jabatan dan penugasan yang dilalui, Suhardi Alius rupanya pernah punya persoalan dengan nama pribadinya. Seorang habib tuna netra dari Jakarta Utara, kata dia, pernah memprotes Kapolri Jenderal Da’í Bachtiar karena dianggap tidak sensitif. Sebagai pejabat tinggi yang kerap berhubungan dengan kaum muslim, kok dia memilih sekretaris pribadi beragama Nasrani, Suhardi Alius.

Bertahun kemudian, ketika akan mengisi kuliah umum di salah satu universitas di Yogyakarta ada anggota panitia yang memprotes. Kehadirannya dipersoalkan juga karena dianggap sebagai orang Nasrani. Padahal acara itu digelar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia.

“Sering sekali saya dikira Nasrani, padahal Alhamdulillah sudah haji pada 1996, ketika masih kapten,” kata Suhardi tertawa.

Pada September 2018, Suhardi juga menunaikan umroh bersama sang ibu, Hj Alisma Kemudi, istri (dr Riri Nusrad Kanam, dan anaknya (Ahmad Bonadi). “Alius itu nama Bapak saya,” imbuhnya.

Sang ayah juga seorang polisi yang berasal dari Nagari Tanjungalai, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

***