Kesenian dengan Teori Algoritma

Meski acara ‘Rerinduan dan Ngomdo’ dengan Yudhistira ANM Massardi gagal, tetapi obrolan semalam di dua tempat itu menggairahkan.

Rabu, 26 Januari 2022 | 06:53 WIB
0
269
Kesenian dengan Teori Algoritma
Butet dan Yudhistira (Foto: dok. Pribadi)

Masa lalu adalah keberangkatan, masa kini adalah keberadaan. Begitu Sartre ketika ngomongin soal proses. Sesuatu yang sederhana, bahkan kadang tanpa proyeksi. Mengalir begitu saja. Ngglindhing wae, kata orang-orang Jerman yang fasih berbahasa Jawa.

Ketika mengetahui Yudhistira ANM Massardi hendak jalan-jalan berdua ke Yogya, dengan Siska Massardi, nekad saja saya menodong keduanya, untuk merelakan waktu ngobrol dengan teman lawasan dan anak-anak muda. Kebetulan, Mbak Ninis dari Cieriek Kopi di Menayu Lor sudi memfasilitasi.

Sayangnya malam itu, Yogya diguyur hujan abis-abisan. Mestinya jam 19.00 kami sudah ke lokasi, tapi dari sejak sore menjelang maghrib kami tertahan di rumah Butet Kartaredjasa. Sejak menjemput Mas Yudhis dan Mbak Siska di Prawirotaman, hujan sudah bergerilya dengan gerimis.

Saya memang bilang ke Mas Yudhis, sebelum acara, kita mampir ke rumah Butet. Menyambangi teman, mempertautkan energi. Ngrabuk nyawa. Merabuk jiwa. Senang melihat Butet yang mulai tampak segar dan bersemangat. 

Biasa, reriungan kanca lawasan, akan dipenuhi pula guyonan kere. Sedikit digesek gosip masa lalu yang jauh lebih lucu dibanding dagelan para pelawak.

Butet dan Yudhis, orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya, dalam pengertian sejarah panjang mereka menyeniman. Orang seperti itu, sebagaimana Basiyo, pelawak Dagelan Mataram (dekade70-80), mampu menertawai diri sendiri. Lebih arif dan kaya melihat segala hal.

Saya ingat pesan Mas Bambang Soebendo, marhum redaktur budaya koran sore Sinar Harapan, “Dik, coba amati kehidupan keseharian para seniman itu. Bukan untuk memahami karya-karyanya, tapi untuk memahami hidup yang sering absurd!”

Hingga saya paham, bagaimana seniman besar seperti Remy Sylado, bisa terbaring tak berdaya dengan rasa sakitnya. Di rumah, karena tak kuat dengan biaya rumah sakit. Sementara di medsos, beberapa teman mereposting kemarahan Bang Remy pada Denny JA. Teman yang lainnya lagi, yang dekat dengan kekuasaan, memunculkan nama Anies Baswedan, hingga Bang Remy bisa mendapat perlayanan kesehatan kelas premium secara Cuma-Cuma.

Butet dengan sederhana membeberkan kesenimanan mbelgedes, meski dengan cara ekstrim memposisikan ayah sendiri sebagai sansak tinju. Sparring partner dalam pertarungan bayangan.

Sebagaimana juga Yudhis, yang baru semalaman saya tahu, memulainya dari Yogya melalui Pelita Karya di barat Alun-alun Lor. Menantang Umbu Landu Paranggi, mahadewa sastra di Yogya waktu itu. Anti-mainstream itu bisa dilacak dari sajak ‘Biarin’, sebarisan novelnya seperti Joni Garang, atau yang dipuja-puji oleh Ben Anderson dalam ‘Arjuna Mencari Cinta’.

Tak enak dengan janji, meski hujan belum reda, kami menuju ke Menayu Lor karena sudah hampir jam 20.00. Tak terasa dua jam ngobrol di rumah Butet. Acara di Menayu dibatalkan, karena sikon tak memungkinkan. Café kopi yang menyediakan kopi saring Aceh yang lezat itu, karena tanah bekas usaha pembuatan batu-bata, berada dalam cerukan. Hujan belum juga mereda.

Dengan beberapa teman yang sudah menunggu, ya, kami pun melanjutkan ngobras, ngobam, dan ngomdo. Yang sebagiannya diisi dengan obrolan (lagi-lagi) masa lalu. Saya senang ketika seseorang yang membutuhkan waktu satu jam ke lokasi, menembus badai, bertanya soal gosip baru. Tentang puisi esai. Yudhis dengan kalem menanggapinya; Biarlah itu jadi mainan temen-temen. 

Mainan! Ada begitu banyak mainan dalam dunia kreasi, penciptaan, kesenian. Hingga dunia sastra pun kini perlu ilmu branding atau pun teori algoritma. Tidak sebagaimana dulu, ketika Butet dan Yudhis ‘masa muda’ berada dalam arus ‘hit and run’, sehingga bisa disalahi liyan, atau dianggap sesuatu yang harus dienyahkan. Padal, oleh si penganggap, yang seperti itu diam-diam dipakainya sebagai pansos semata. 

Saya ingat cerita seorang senior, ketika saya tanya kenapa susah amir Pramoedya Ananta Toer mendapatkan Nobel? Jawabnya membuat saya maklum; Ada pihak yang keberatan dan memberikan informasi untuk panitia Nobel, bahwa Pram pernah melakukan tindakan pelanggaran HAM. Pantesan penghadiahan Nobel bisa merangsang orang untuk merekayasanya.

Edunnya, di pendapa Cieriek Kopi itu, saya bertemu temen lawasnya Mas Yudhis, yang sudah setengah abad tak bersua. Kanca kampung di Jogoyudan. Di situ saya baru tahu, Mas Yudhis dulu tinggal di rumah Nyoman Anarti Panoshada marhum, mentor sketsa kami ketika sekolah di SSRI. Sebelum menyerahkan tugas sketsa sekolah, kami mesti meggelar karya di hadapan Mas Nyoman ini untuk dikritik. Juga baru tahu dulu ada ‘trio’ yang melibatkan Linus dan Emha dalam satu riungan. Dia cerita bagaimana perjalanan dari Kadipaten ke Kadisobo, hingga keduanya kemudian begini dan begitu Asudahlah!

Meski acara ‘Rerinduan dan Ngomdo’ dengan Yudhistira ANM Massardi gagal, tetapi obrolan semalam di dua tempat itu menggairahkan.

Di situ yang saya sebut di mana saya ingat pesan Mas Bendo, ada banyak misteri yang tertera di balik kata-kata. Sebagaimana judul tulisan Mas Yudhis puluhan tahun lampau, tentang bersibuk melawan angin, yang diciptakan dari gelembung-gelembung megalomania. 

Dan itu sekarang, yang sebetulnya sedang banyak dilakukan oleh mereka yang tega, melalui teori algoritma. Terimakasih untuk obrolan-obrolan yang keren. "Jangan lupa bercinta!" karena "Urip Mung Mampir Ngguyu". 

Sunardian Wirodono