Bapak

Banyak kenangan saya soal Bapak. Positif. Salah satu yang saya ingat, Bapak hampir selalu pulang ke rumah membawa oleh-oleh makanan ringan.

Jumat, 11 Februari 2022 | 08:37 WIB
0
171
Bapak
Bapak saya (Foto: dok. Pribadi)

Ini foto Bapak. Namanya singkat: Budiono. Lengkapnya, Budiono bin Siswodiharjo bin Khasan Mukmin bin Khasan Muhammad Sufi. Saat kecil dipanggil 'Kelik'. Jika masih ada, malam ini usia Bapak genap 80 tahun. Tapi Bapak 'pulang' pada usia muda. Sangat muda. Saya dan adik-adik masih sekolah.

Bapak lahir di Purworejo, 11 Februari 1942. Menurut mendiang Mbah Putri, Bapak lahir di dalam lubang persembunyian di halaman rumah. Sebab saat itu zaman pendudukan Jepang yang terkenal sadis. Mbah Kakung menggali lubang dengan cangkul, asal cukup untuk proses melahirkan Bapak. Lubang itu muat dua orang saja, Mbah Putri dan dukun beranak. Setelah lahiran, jadi berisi tiga orang, yakni plus jabang bayi. 

Bapak lahir dengan weton Rebo Pon. Kalau tak salah berarti neptu 14. Simbah bilang weton Rebo Pon punya karakter kalem, pendiam tapi cukup disegani orang di sekelilingnya. Weton ini luwes dan juga kerap dijadikan rujukan. Saya perhatikan itu cocok dengan karakter Bapak. Di rumah, di keluarga besar, di komplek dan di kantor Bapak sesuai dengan ciri-ciri Rebo Pon. Bagi yang tak percaya weton, ya, tak apa. Tak perlu menuding syirik atau apa. Anggap saja lucu-lucuan.

Bapak seorang PNS yang terpelajar. Dulu saat tinggal di Komplek PU Pusbinal, di Palembang, kerap para warga komplek membunuh waktu dengan bersama-sama mengisi teka-teki silang dari media massa. Saat mentok, tak bisa mengisi jawaban, mereka datang ke rumah untuk bertanya pada Bapak. Biasanya Bapak langsung bisa menjawab. Pernah juga terpaksa buka kamus tebal bahasa Inggris karya WJS Poerwadarminta.

Tapi masa kejayaan Bapak tak lama. Pada usia yang sangat muda Bapak terkena stroke berat. Langsung lumpuh. Saya masih kelas 1 SMP. Terus terang mental saya terjun bebas. Saya merasa kehilangan figur yang sangat dibanggakan.

Sebagai anak lelaki, ketika itu saya yang tiap hari mengantar Bapak fisioterapi di Rumah Sakit Abdul Muluk, Lampung. Saat Bapak menjalani fisioterapi, saya mengisi buku teka teki silang. Tapi saya tak berani bertanya jika tak bisa menjawab. Takut membebani pikiran Bapak.

Saat serangan stroke yang kedua, Bapak langsung masuk ICU. Saya yang bertugas menjaganya di malam hari. Bapak sudah tak sadar, koma. Tapi anehnya, tiap kali saya membaca Yaasin sampai pada ayat "salaamun qaulam mirrabbir rahiem", tangan Bapak pasti reflek memegang saya. Padahal sudah koma. Saya selalu ulang ayat itu, minimal tiga kali. Satu tarikan nafas.

Sekitar jam 4 subuh, perawat memanggil saya. Bapak sudah mau pergi. Saya tuntun kalimat Tauhid di telinganya. Air mata Bapak meleleh di kelopak mata. Bapak pulang dengan damai.

Saya tenang, tak menangis. Saya cuma bilang ke perawat agar Bapak tetap di sana. Tak saya ijinkan pindah ke kamar jenazah. Perawat setuju. Saya bergegas ke halaman rumah sakit, menelpon ke rumah dari bilik telpon umum koin. Saat itu nomor rumah masih yang lama: (0721)74789. Mamak dan adik-adik terdengar tabah. Tak ada tangisan berlebih.

Begitulah. Banyak kenangan saya soal Bapak. Positif. Salah satu yang saya ingat, Bapak hampir selalu pulang ke rumah membawa oleh-oleh makanan ringan.

Kami anak-anaknya menunggu itu. Dan kebiasaan itu kini saya tiru. Supaya anak-anak kelak mengingat saya sebagai sosok yang suka membawa pulang makanan.

***