Mengingati Berpulangnya Mbah Bilal

Mbah Bilal adalah potret khas kota ini, di mana banyak sekali golongan sepuh yang menolak menyerah dan berkompromi hingga ajal menjemput. Dia adalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh lain.

Kamis, 29 Juli 2021 | 08:10 WIB
0
271
Mengingati Berpulangnya Mbah Bilal
Ilustrasi becak (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Setiap kali, membaca berita seorang "kang becak" meninggal meringkuk di becaknya, memeluk dingin dalam balutan sarung lusuhnya. Rasanya kota ini, semakin meneguhkan dirinya sebagai "kota berhati nyaman". Nyaman sebagai padang kematian yang keji maksudnya. Manusia dengan legawa meregang nyawanya "penuh kenikmatan" dengan tidur dalam satu-satunya rumah hakikinya.....

Di kota Jogja tak sulit menemukan di sepanjang malam-malamnya. Para tukang becak yang tinggal, hidup, dan menghabiskan siang-malam di kendaraan sebagai alat menyambung hidupnya itu. Becak "asli Jogja" memang didesain sedemikian rupa untuk memungkinkan hal tersebut. Tidak sebagaimana becak dari kota lain, yang sedemikian "praktis dan tipis ".

Becak Jogja periode awal didesain dengan sangat niat, ia tidak pelit bahan. Gemuk terlihat dalam tebeng kedua bannya, ada tiang benderanya, memiliki atap terpal tebal dengan plastik penutup di depan, belakang, maupun samping kanan-kirinya. Mungkin karena ukurannya yang tinggi, menyebabkan pak becak selalu harus mengangkat becaknya "njengking" untuk menaik turunkan penumpang. Simbol kesopan-santunan dan rasa mongkog bahagia mereka menyambut datangnya rejeki.

Minimal saya mengingat ada tiga "tempat penyimpanan" yang bisa digunakan untuk menjadikan sebuah rumah. Pertama di bawah tempat duduk penumpang, yang digunakan untuk menyimpan pakaian. Kedua, di tempat sandaran penumpang, yang biasanya digunakan untuk menyimpan handuk dan sarung. Dan terakhir sebuah lemari dengan bentuk tutup setengah bulat di bawah tempat duduk pengendara, yang biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan mekanik. Seperti tang, obeng, palu atau pompa kecil.

Belakangan becak khas Jogja ini tergerus dan terpinggirkan oleh model becak yang katanya lebih aerodinamis buatan UGM, yang di mata saya sangat jelek! Jelek karena tanpa tebeng, terlalu praktis, dan kehilangan nilai-nilai keluhuran tradisi unggah-ungguh. Dan semakin jelek, ketika model belakangan ini ditambahi dengan mesin kanibalan motor yang menjadikannya "becak motor". Sejenis hama baru dan setan jalanan yang membuat lalu lintas Jogja makin tidak ramah dalam segala bentuknya: sosial, ekonomi, budaya, lingkungan.

Di luar ilegal, juga menunjukkan bahwa pemerintah kota ini tunduk pada "mafia transportasi" yang sesungguhnya menyaru sebagai SJW yang berlindung di balik kebebasan berusaha. Di Jogja kengawuran sejenis ini terserak nyaris di setiap pelosok kota yang selalu menganggap dirinya berbudaya ini.

Dua hari lalu, seorang pak becak kembali meninggal dengan cara yang sama. Bagian ironisnya ia adalah warga "Njeron Beteng", di jantung kekuasaan kultural dan politik kota ini. Konon ia telah 40 tahun menghabiskan hidupnya itu di atas becaknya. Ia tinggal di lingkungan Patehan dan sering mangkal di Magangan Kulon. Ia meninggal dengan "triple kapilaran", tiga penderitaan yang tak terperi.

Pertama, ia meninggal di becaknya. Tanpa ada orang menyadari bahwa ia terpapar Covid-19. Saya pun, nggak mengerti kenapa baru setelah dia meninggal, ia bisa divisum mengalami penderitaan tersebut. Di usianya 84 tahun, tentu bila melihat situasi kondisinya mestinya kematiannya adalah wajar saja. Tapi saat ia "dicovidkan", tentu kematiannya menjadi merepotkan!

Kedua, tak ada satu pun sanak keluarga yang memperdulikannya. Satu-satunya anaknya yang tinggal di Sewon tak hirau ketika dikabari ayahnya "sampun kapundut". Warga setempat yang peduli terhadap nasibnya, bingung bagaimana harus memperlakukannya. Dimakamkan di mana? Dengan cara apa? Padahal telah lama ia ber-KTP lingkungan setempat. Kebingungan khas apabila warga harus bereaksi kepada mereka yang nomaden, tak berumah, tak berkeluarga, tak memiliki apa pun...

Ketiga, puncaknya. Dan ini yang mengagetkan! Walau pemusalaraan ditanggung oleh Tim Covid Kecamatan Kraton. area di mana para bangsawan itu tinggal. Tapi tak ada biaya untuk pemakamannya. Saya kaget, bahwa ternyata biaya "bedah bumi" termurah di Jogja itu sudah mencapai 5 juta rupiah. Bukti bahwa memang benar bahwa di tengah kondisi darurat ini, banyak yang aji mumpung. Dan sebagaimana biasa, kebingungan melanda warga setempat yang kondisinya barangkali sama-sama kurang baiknya.

Keterlantaran tersebut, berlangsung selama dua hari, hingga muncul seorang baik hati bersedia membayar biaya tersebut dari kantung pribadinya. Matur sembah nuwun, priyayi agung...

Mbah Bilal adalah potret khas kota ini, dimana banyak sekali golongan sepuh yang menolak menyerah dan berkompromi hingga ajal menjemput. Dia adalah salah satu contoh, dari sekian banyak contoh lain. Dimana pilihan "hidup merdeka", tetap bersikap mandiri dan menolak berkompromi dengan prinsip2 baru yang memaksanya masuk dalam kotak-kotak tertentu.

Karena itu, di Jogja banyak sekali orang-orang tua (over manula, saking sepuhnya) yang tetap berkeliaran di jalan mengais rejeki. Atas nama tak mau merepotkan keluarganya. Mereka ini sebenarnya bisa saja dengan mudah "ambyuk", bersandar pada salah satu "agomo" tertentu. Tapi ia memilih tetap merdeka, hidup di lingkungan kraton yang dianggapnya tempat ngalap berkah. Apa yang secara melankolis mereka percaya sebagai "berkah dalem".

Bagi banyak orang seperti dirinya makna kemerdekaan juga dimaknai sebagai kesadaran akan keterbatasan. Mereka ikhlas menjalaninya, dari hari ke hari hingga usia tuanya. Ia adalah sedikit teladan orang yang abadi merindukan masa lalunya yang hilang. Sesuatu yang barangkali hanya bisa dijembatani dengan semangat pengabdiannya yang ditempuh pulang dengan kematiannya.

Sugeng tindak Mbah Bilal, jumangkah ing palereman lan kasedan jati. Berkah, berkah, berkah....

NB: Jogjakarta memang diberkahi dengan Danais yang bisa membuat banyak warganya yang berdaya itu melakukan ini itu, sesuai dengan selera dan aspirasinya masing-masing. Tapi di kota ini, masih ribuan orang kurang beruntung yang ndilalah-nya mereka "asli dan penghayat" kota ini yang tak pernah tersentuh gerak pembangunan apa pun. Sebagaimana, banyak pak becak, juga mbok gendong pasar yang tetap tidur di emperan pasar.

Dulu saya, mengusulkan bekas Bioskop Indra itu diubah untuk menjadi rumah singgah saja, yang bebas digunakan untuk warga kurang beruntung itu tinggal. Tapi Pemprov memilih digunakan tempat parkir untuk menunjang aktivitas pariwisata. Pun demikian ketika eks-Hotel Mutiara dibeli Pemprov, mereka lebih memilihnya untuk ruang pamer produk kerajinan lokal. Mereka lebih peduli kepada mereka yang berdaya...

Hari-hari ini, apa yang mereka belai itu sia-sia. Puluhan toko di sepanjang Malioboro, dan entah di jalan-jalan protokol bisnis lainnya bangkrut. Dijual hanya karena tak melihat satu titik terang apa pun di hari depan. Membuktikan bahwa yang abadi itu kita selalu lupa dan abai dengan akar rumput. Orang-orang papa yang dalam budaya Jawa justru adalah "suket godong sing ngrewangi".

Mereka yang sebenarnya tetap memungkinkan kita terus hidup berkembang, karena mereka adalah penolong sesungguhnya....

***